- Ancaman utama kelestarian kucing liar datang dari rusaknya sejumlah lanskap hutan lindung hingga konservasi yang menjadi habitat utama kucing di Sumatera Selatan.
- Lanskap yang dulunya terhubung, kini banyak terputus oleh permukiman dan perkebunan, sehingga sangat penting untuk mengintegrasikan pengetahuan terkait koridor satwa yang dipahami masyarakat lokal.
- Di sisi lain, aktivitas perburuan harus diwaspadai, mengingat masih mudahnya akses untuk membeli atau memperdagangkan sejumlah jenis kucing liar melalui media sosial.
- Untuk mendorong kemajuan konservasi jenis-jenis kucing liar atau kucing kecil ini, penting untuk semua stakeholder mendukung aktivitas penelitian, serta menguatkan berbagai pengetahuan masyarakat lokal sebagai partner konservasi.
Sejumlah kelompok masyarakat yang hidup di sekitar kantong habitat kucing liar di dataran tinggi Sumatera Selatan, memiliki pengetahuan atau kearifan untuk hidup berdampingan dengan satwa tersebut.
Ini terlihat dari adanya pemahaman terkait koridor satwa, larangan membunuh kucing liar karena bagian dari keluarga yang menjaga pangan [padi] dan air, hingga kewajiban untuk mengobati satwa yang terluka.
“Kami hidup harmonis dengan satwa khususnya kucing liar. Kami menjaga mereka dan mereka menjaga kami,” kata Malai Ibrahim, tokoh adat Suku Semende di Desa Cahaya Alam, Kabupaten Muara Enim, kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Oktober 2024.
“Kami juga tidak memiliki tradisi berburu kucing-kucing itu,” lanjut Malai Ibrahim.
Lalu, apa yang menjadi ancaman utama spesies tersebut?
“Untuk kucing kecil ini, kehilangan habitat yang menurut saya sangat dominan. Perburuan memang bukan faktor utama [penurunan populasi],” terang Erwin Wilianto, Founder Save Indonesian Nature & Thereatened Species /SINTAS Indonesia dan anggota Cat Specialist Group, awal November 2024.
Baca: Bakal Agung, Kearifan Suku Besemah Berbagi Ruang dengan Satwa
Ada lima jenis kucing liar yang hidup di dataran tinggi Sumatera Selatan, yakni harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] yang dikategorikan sebagai kucing besar. Dan empat jenis kucing kecil, yakni macan dahan [Neofelis diardi], kucing emas [Catopuma temminckii], kucing kuwuk atau macan akar [Prionailurus bengalensis], dan kucing batu [Pardofelis marmorata].
Habitat kucing liar tersebut tersebar di tiga lanskap hutan yang saling terhubung dan berstatus sebagai kawasan lindung hingga konservasi. Mulai dari lanskap hutan Suaka Margasatwa [SM] Gumay Pasemah [45.883 hektar], lanskap hutan SM Isau-Isau [16.742,92 hektar], dan lanskap hutan Jambul Nanti Patah [282.727 hektar] yang berstatus Hutan Lindung.
Dari pengamatan Mongabay Indonesia di tiga lanskap tersebut, kondisi hutan Jambul Nanti Patah [282.727 hektar] menjadi harapan bagi habitat kucing liar di Sumatera Selatan. Meskipun, pada 2016, kerusakan di kawasan ini hanya menyisakan 140.000 hektar hutan alam.
Sementara di lanskap hutan Suaka Margasatwa [SM] Gumay Pasemah [45.883 hektar], kondisinya tidak jauh berbeda dengan tahun 2015 lalu. Perkebunan kopi dan karet masih mendominasi wilayah perbukitan yang dulunya hijau. Pada 2009, kerusakan kawasan ini mencapai 20-30 persen dari total luasannya.
Kondisi serupa terjadi di kawasan SM Isau- Isau [16.742,92 hektar], yang pada 2019, kerusakannya mencapai 40 persen.
“Saat ini, kami belum mempunyai data-data perubahannya,” kata Yusmono, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Lahat, BKSDA Sumatera Selatan, Sabtu [12/10/2024].
Secara umum, lanskap hutan Jambul Nanti Patah menjadi rumah besar dan harapan bagi satwa di Sumatera Selatan.
“Kami berupaya untuk memperkuat kawasan dan menaikkan statusnya menjadi cagar biosfer.”
Di sisi lain, penting juga menjaga konektivitas antarlanskap, mengingat sejumlah jenis kucing liar memiliki wilayah jelajah yang luas. Misalnya, kawasan SM Gumay Pasemah yang terputus wilayah Desa Muara Payang dan Desa Jarai.
“Adanya pengetahuan masyarakat lokal seperti koridor satwa dan kearifan lain, harus diperkuat melalui peraturan pemerintah setempat.”
Baca: Kearifan Suku Semende: Menjaga Alam dan Bersahabat dengan Kucing Liar
Perburuan?
Dari semua jenis kucing liar yang hidup di lanskap hutan dataran tinggi Sumatera Selatan, yang sering dijumpai adalah macan akar.
“Jenis ini juga sering menjadi korban perdagangan ilegal, karena sering terlihat di sekitar desa dan kebun warga,” kata Yusmono.
Meski demikian, spesies ini sebenarnya tidak menjadi target utama perburuan.
“Terkadang, jerat rusa atau kijang mengenainya. Perdagangan kucing liar terjadi karena adanya permintaan pasar, melalui media sosial dan sebagainya,” katanya.
Perdagangan liar juga terjadi di lapak pasar hewan di Palembang, sebagaimana Mongabay kunjungi akhir September 2024. Seorang penjual mengaku bisa menyediakan jenis kucing liar jika ada yang menginginkan.
“Kucing emas sudah sulit didapat, tapi kalau mau, macan akar lebih mudah didapat,” jelasnya.
Baca: Mengapa Anak Kucing Hutan Sering Berkeliaran Tanpa Induk?
Jejak jual beli kucing liar, masih terjadi di Sumatera Selatan dalam empat tahun terakhir. Pada 2021, seorang penjual satwa yang ditangkap Polresta Palembang, mengaku sudah melakukan aktivitas terlarang itu sejak 2018.
Terdakwa mengaku pernah menjual owa ungko [Hylobates agilis], siamang [Symphalangus syndactylus], kukang [Nycticebus], dan empat individu kucing kuwuk atau macan akar [Prionailurus bengalensis].
Maret 2023, upaya penyelundupan dua anak macan akar dari Sumatera Selatan menuju Kepulauan Bangka Belitung, digagalkan jajaran Polda Bangka Belitung.
Sebelumnya, pada Februari 2023, upaya penyelundupan dua individu macan akar dari Sumatera Selatan, digagalkan Polres Lampung Barat.
Kepala Satreskrim Polres Lampung Barat AKP Ari Satriawan, dikutip dari kompas.com mengatakan, dari hasil pemeriksaan, kucing hutan itu ditangkap dari habitatnya dan hendak dijual di Lampung.
Saat dikonfirmasi kepada Yusmono perihal fenomena ini, ia mengatakan bahwa asal usul kucing tersebut belum tentu berasal dari Sumatera Selatan, mengingat sebarannya merata di Pulau Sumatera.
“Jaringan perdagangan itu ada dan tetap menjadi ancaman yang harus diwaspadai. Kami secara rutin melakukan sosialiasi kepada masyarakat tapak, terkait aturan dan hukuman memperdagangkan jenis-jenis satwa dilindungi,” katanya.
Baca: Kucing Batu, Jenis Kucing Liar yang Mirip Macan Dahan
Penguatan Pengetahuan Masyarakat
Erwin Wilianto menambahkan, aktivitas konservasi jenis-jenis kucing liar, khusunya kucing kecil harus dimulai dari dukungan terhadap berbagai kegiatan riset. Selain itu, kegiatan memperkuat pengetahuan di tingkat masyarakat, dan menjadikan masyarakat sebagai partner konservasi harus dilakukan.
“Saat ini, masih banyak hal yang belum diketahui terkait ekologi maupun bioekologi kucing kecil. Padahal, mereka punya peran penting dalam ekosistem, seperti halnya harimau sumatera.”
Banyak kasus masyarakat ‘merasa’ menemukan anakan kucing liar di pinggiran hutan, yang mereka kira [benar-benar] ditinggal induknya selamanya, dan kemudian mereka “rescue.”
“Padahal, kecenderungan pada masa bunting dan pengasuhan anak, sang induk akan banyak menempati area pinggir hutan yang secara kelimpahan pakan lebih banyak. Juga, menghindari jantan dewasa yang bisa saja membunuh anak mereka.”
Baca juga: Studi: Rusaknya Hutan Berdampak Buruk pada Kehidupan Kucing Batu
Pada prosesnya, sang induk pasti akan meninggalkan anaknya untuk mencari makan, yang terkadang hingga berjam.
“Di momen itulah masyarakat tidak sengaja bertemu atau mendengar suara anakan yang pastinya cerewet sekali memanggil induknya. Dan terjadilah kasus salah kaprah itu,” lanjutnya.
Erwin berharap, kedepannya semua stakeholder dapat memperluas fokus konservasi. Jangan hanya pada satu spesies kunci atau spesies payung.
“Karena pada dasarnya, semua satwa memiliki peran masing-masing dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Ada banyak spesies yang belum diketahui secara mendalam, namun sudah menghadapi ancaman kepunahan seperti layaknya jenis-jenis kucing kecil ini,” tegasnya.
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, terdapat jenis-jenis kucing liar yang dilindungi di Indonesia. Ada kucing merah [Catopuma badia], kucing emas [Catopuma temminckii], macan dahan [Neofelis diardi], macan tutul [Panthera pardus melas], harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], kucing batu [Pardofelis marmorata], kucing kuwuk atau kucing hutan [Prionailurus bengalensis], kucing tandang [Prionailurus planiceps], dan kucing bakau [Prionailurus viverrinus].
Tumutan Tujuh, Tradisi Suku Semende Menjaga Sumber Air dan Kehidupan Kucing Liar