Ekosistem Laut Tak Sehat, Ancam Mamalia Laut Terdampar ke Pesisir di NTT

2 days ago 14
  • Peristiwa terdamparnya puluhan paus pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) di wilayah pesisir Kecamatan Pureman, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi pelajaran penting tentang pentingnya menjaga wilayah perairan tetap sehat
  • Kawanan mamalia laut itu, diduga kuat terdampar karena terkena dampak dari penurunan ekosistem laut dan pesisir yang ada di perairan tersebut. Penyebabnya, kemungkinan karena faktor alamiah atau aktivitas manusia
  • Faktor antropogenik ditengarai menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya penurunan ekosistem laut, dan berwujud fenomena, zat, atau dampak yang muncul akibat aktivitas manusia. Antropogenik juga ikut mendorong terjadinya perubahan iklim
  • Menariknya, ada enam spesies yang mendominasi hewan laut terdampar di Indonesia. Keenamnya menyebar luar di seluruh perairan Indonesia, dan memiliki karakteristik masing-masing menyesuaikan kondisi alam dan waktu

Perairan laut Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu wilayah perairan penting di Indonesia. Lokasi tersebut menjadi tempat berkembangnya banyak banyak biota laut yang ada di Indonesia Timur, salah satunya duyung (Dugong dugong).

Menjaga wilayah perairan tersebut tetap sehat, berarti juga memastikan ekosistem laut dan pesisir di sekitarnya bisa tetap bagus. Gerakan yang sederhana, namun mengejarkannya bukanlah menjadi sesuatu yang mudah untuk dilakukan oleh siapapun.

Tanda bahwa ekosistem perairan mengalami degradasi atau ada gangguan, adalah munculnya fenomena alam yang melibatkan sumber daya yang ada di laut. Seperti terdamparnya puluhan paus pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) beberapa waktu lalu di pesisir Kecamatan Pureman, Kabupaten Alor, NTT.

Peneliti dari College of Science and Engineering James Cook University Australia Putu Liza Kusuma Mustika dalam Seminar BRIN ‘Fenomena Puluhan Ekor Paus Terdampar mati di Pantai Alor NTT’ yang diadakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa fenomena alam itu kemungkinan muncul karena disebabkan oleh faktor alamiah maupun faktor antropogenik.

Faktor tersebut biasanya muncul karena aktivitas manusia dan memengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya. Antropogenik bisa muncul berupa fenomena, zat, atau dampak yang muncul akibat aktivitas manusia.

Pada fenomena perubahan iklim, antropogenik sering diperdebatkan karena diyakini ikut memicu terjadinya kenaikan permukaan air laut. Faktor tersebut ikut mendorong perubahan iklim, karena berkontribusi dalam memproduksi karbon dioksida (CO2).

Faktor antropogenik diduga kuat menjadi penyebab terdamparnya paus di Alor, karena mamalia tersebut sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekitar perairan. Sebut saja, seperti penggunaan sonar di bawah laut, pencemaran air, dan kontaminasi sampah laut.

“Juga, badai matahari yang menyebabkan gangguan elektromagnetik pada kutub-kutub bumi,” ungkap peneliti cetacea yang fokus pada paus dan lumba-lumba itu.

Baca : Puluhan Paus Pilot Mati Terdampar di Perairan Alor, Mengapa?

Puluhan paus pilot mati terdampar di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], Jumat [6/9/2024]. Foto: Dok. Oktofina

Sensitivitas paus sangat kuat, karena hewan laut tersebut biasa menggunakan sonar sebagai sistem navigasi. Akibatnya, jika ada aktivitas manusia yang menggunakan perangkat dengan memancarkan gelombang elektromagnetik atau sonar di dalam laut seperti saat kegiatan eksplorasi minyak dan gas (migas), maka paus akan terganggu seketika.

Dia merinci, kegiatan manusia yang bisa mengancam paus adalah perubahan habitat, terutama pada lumba-lumba air tawar; sampah padat; polusi air; kegiatan migas dan pertahanan maritim; perburuan; jalur perkapalan; perikanan; dan kegiatan pariwisata.

Putu Liza menerangkan, penurunan kualitas air bisa memicu terjadinya penurunan imunitas pada paus. Kemudian, pencemaran laut akibat banyaknya sampah, terutama plastik, juga bisa memicu kematian pada paus, diakibatkan sampah dimakan.

“Fenomena terdamparnya paus, seperti pada paus sperma, dapat juga berkaitan dengan terjadinya badai matahari,” jelasnya.

Selain faktor antropogenik dan perubahan kualitas perairan laut, penyebab lain terdamparnya paus di Alor, juga bisa terjadi karena faktor alami lainnya. Sebut saja, penyakit atau usia tua yang dialami paus bisa membuat hewan laut itu lebih rentan untuk terdampar.

Saat paus sedang sakit atau usia yang semakin menua, sering kali hewan laut itu harus kehilangan kemampuan navigasinya di dalam air. Atau, saat paus harus terpisah dari kawanan, maka ancaman terdampar di pesisir juga menjadi lebih besar terjadi.

Faktor lain yang juga harus menjadi perhatian, adalah kegiatan perikanan di wilayah laut. Biasanya, kegiatan tersebut terjadi karena penangkapan yang tidak sengaja (by catch) dan kemungkinan besar itu tak hanya dilakukan oleh pelaku usaha bermodal besar, namun juga oleh nelayan kecil.

Baca juga : Refleksi Hasil Investigasi Kasus Terdampar Massal Paus Pilot

Puluhan paus pilot yang mati terdampar ini diduga akibat adanya perubahan suhu drastis di periaran Alor. Foto: Dok. Oktofina

Tantangan Jaringan Penanganan Mamalia Terdampar

Menurut dia, kejadian terdamparnya kawasan paus di Alor harus mendapat perhatian serius dari banyak pihak, karena mereka adalah spesies yang dilindungi. Untuk itu, penanganan yang tepat harus menjadi pemahaman bagi para pihak terkait, terutama para relawan dalam jejaring penanganan mamalia terdampar.

Saat ini, jejaring yang ada di Indonesia mencakup pegiat lingkungan, pemerintah pusat dan daerah, organisasi non-pemerintah, dan komunitas masyarakat di seluruh pesisir Indonesia. Mereka yang terlibat berusaha mengembalikan paus yang masih hidup ke laut, atau menguburkannya jika sudah mati.

“Upaya penyelidikan lebih lanjut mengenai penyebab spesifik terdamparnya paus juga perlu dilakukan melalui nekropsi atau bedah bangkai hewan,” tambahnya.

Lebih detail, Putu Liza menjelaskan tantangan saat melakukan penanganan hewan laut terdampar di Indonesia. Di antaranya adalah sumber daya manusia (SDM) yang meliputi terbatasnya jumlah dokter hewan (drh) yang paham cara melakukan nekropsi mamalia laut dan analisis hasil nekropsi.

Tantangan SDM juga mencakup perlunya diperbanyak lagi pelatihan untuk penanggap awal (first responder) kejadian terdampar. Cara tersebut diyakini akan memberikan kemampuan dan pemahaman lebih baik lagi kepara relawan yang menjadi penanggap awal.

Selanjutnya, pendanaan juga menjadi tantangan besar. Termasuk, pendanaan untuk menerbangkan drh dan para ahli lain yang bisa melakukan penanganan kejadian terdampar di pesisir; dan dana untuk pemeliharaan website database.

Berikutnya, adalah tantangan koordinasi, meliputi perlunya melakukan koordinasi antar instansi saat kejadian terdampar; dan koordinasi antar instansi untuk mengirimkan sampel yang bisa dilakukan analisis lebih lanjut.

“Mengelola pengetahuan juga menjadi tantangan. Misalnya, saat ada nekropsi, hasilnya sering kali tidak disebarluaskan ke para pihak,” terangnya.

Baca juga : Paus Sperma Mati Terdampar di Perairan Raja Ampat, Begini Penampakannya

Cuaca ekstrem diduga membuat puluhan paus pilot terdampar. Foto: Dok. Oktofina

Secara spesifik, Putu Liza menjelaskan tentang tantangan dalam melakukan nekropsi. Di antaranya adalah laboratorium mana saja yang bisa menjadi rujukan saat terjadi peristiwa terdampar; dan siap yang melakukan analisis hasil laboratorium dan tes.

“Siapa yang jadi data kustodiannya setelah hasil laboratorium dan analisis keluar, dan bagaimana komunikasi hasil analisis kepada policy maker, pemerhati, dan masyarakat,” ungkapnya.

Pola Sebaran Mamalia Laut Terdampar

Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Oseanografi BRIN Achmad Sahri menjelaskan bahwa paus yang terdampar di pesisir Alor bisa menjelaskan tentang pola distribusi hewan laut tersebut.

Penggambaran pola tersebut menjadi bagian dari hasil riset tentang ekologi paus dan kejadian terdampar yang dilakukan BRIN bersama James Cook University dan para pihak lainnya. Kerja sama menjadi bagian dari upaya pemahaman tentang biota laut tersebut agar bisa mencegah kejadian terdampar akan terulang lagi.

Adapun, riset yang dilakukan bersama itu menelaah data kejadian terdampar paus di Indonesia selama 26 tahun dari 1995 sampai 2021. Selama periode tersebut, setidaknya ada 26 spesies paus dan lumba-lumba yang terdampar di perairan Indonesia. Satu dari enam spesies yang paling sering terdampar adalah paus pemandu sirip pendek.

Pengumpulan data tersebut dilakukan oleh Whale Stranding Indonesia (WSI) yang melibatkan para ahli di bidangnya. Sepanjang 26 tahun tersebut, total WSI merekam 568 kejadian cetacean terdampar di perairan Indonesia, dengan 92,4 persen adalah terdampar tunggal.

“Lebih dari 52 persen dari jumlah individu pada kejadian terdampar massal akhirnya mati selama proses penyelamatan,” terangnya.

Menariknya, Achmad Sahri menyebut kalau pelaporan mamalia laut terdampar lebih banyak muncul setelah 2012 ke atas. Sebaliknya, sebelum 2012 ke bawah jumlah pelaporan masih sedikit, dengan laporan terbanyak biasanya terjadi pada Maret dan Agustus, serta terendah pada Desember.

“Perlu dicatat, observasi dan upaya respon terhadap kejadian cetacean terdampar tidak merata sebarannya,” tuturnya.

Baca juga : Mengapa Hiu Paus Kerap Terdampar di Pantai? Begini Penyebab dan Upaya Meminimalisasi

Sejumlah paus pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) yang mati terdampar di pantai Desa Patereman, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, Jatim pada Februari 2021. Foto : BPSPL Denpasar

Menurutnya, memahami pola sebaran spasial dan temporal dari kejadian mamalia laut terdampar di Indonesia maka itu bisa mendukung upaya penyelamatan biota tersebut. Informasi tersebut menjadi sangat penting bagi penanganan kejadian terdampar, terutama berguna untuk pengalokasian personil atau kemungkinan mendatangkan alat berat.

“Identifikasi area rawan tersebut juga dapat meningkatkan kesempatan bagi keberlangsungan hidup biota yang terdampar,” ungkapnya.

Enam Spesies Dominan Terdampar

Berdasarkan hasil pengumpulan data selama 26 tahun, enam spesies mendominasi kejadian terdampar, yaitu

  1. Pesut mahakam (irrawaddy dolphin) banyak terjadi di sepanjang sungai Mahakam di Kalimantan Timur dan wilayah pesisir selatan Kaltim.
  2. Paus sperma,
  3. Paus pilot sirip pendek yang tersebar merata di seluruh Indonesia.
  4. Gondal nirsirip indo-pasifik (Neophocaena phocaenoides) yang terjadi di bagian barat Indonesia seperti pesisir timur Sumatra dan pesisir barat Kalimantan, serta Madura.
  5. Paus bryde (Balaenoptera brydei) yang terjadi di bagian timur Indonesia, terutama Papua Barat dan Papua.
  6. Paus paruh angsa (Ziphius cavirostris) yang tidak ditemukan di Kalimantan namun ditemukan di pantai barat Aceh, Bali, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.

Achmad Sahri mengatakan, informasi pola spasial kejadian terdampar pada mamalia laut sangat bermanfaat menjadi masukan untuk implementasi rencana konservasi cetacea/mamalia laut, dan kebijakan tata ruang laut dan kawasan konservasi perairan yang menyoroti area yang rawan kejadian terdampar, sehingga perlu perhatian/zona khusus.

Selain enam spesies, ada fakta menarik lainnya yang diungkapkannya. Menurutnya, pesut mahakam, paus sperma, dan paus pilot sirip pendek diketahui mengalami kejadian terdampar di wilayah pesisir laut sepanjang tahun.

Sementara, gondal nirsirip indo-pasifik diketahui mengalami kejadian terdampar pada semua waktu atau musim, dengan musim panas diketahui paling banyak terjadi. Kemudian, paus paruh angsa dan paus bryde mengalami kejadian terdampar hanya pada bulan atau waktu tertentu saja.

Baca juga : Dalam Seminggu, Tiga Ekor Paus Terdampar Mati di Pesisir Bali, Ada Apa?

Seekor pesut mahakam (Orcaella brevirostris), ditemukan mati di perairan Sungai Pela, Desa Sangkuliman, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim), Jumat (28/5/2021). Foto : Alimin Azarbaijan/Pokdarwis Pela

Di sisi lain, dia menyebut ada bias pelaporan dalam kejadian terdamparnya hewan laut di wilayah pesisir Indonesia. Seharusnya, data umum pelaporan yang menjadi dasar penindakan berasal dari oberserver yang secara rutin menyusuri pantai untuk mencari biota terdampar.

Mengingat dampaknya sangat besar, Sahri mengimbau kepada masyarakat untuk segera melaporkan jika ada kejadian hewan laut terdampar di wilayah pesisir. Selain melaporkan kepada pihak berwenang, warga diimbau untuk tidak melakukan tindakan yang bisa membahayakan paus.

Contoh tindakan yang membahayakan itu, adalah tidak mengganggu/menaiki tubuh paus yang terdampar, karena hewan laut itu pasti dalam kondisi lemah dan perlu penanganan yang tepat. Untuk itu, langkah terbaik adalah segera melaporkan kepada pihak berwenang untuk penanganan lebih lanjut.

Di atas segalanya, baik Putu Liza Kusuma atau Achmad Sahri sama-sama mengimbau agar semua pihak bisa ikut menjaga ekosistem perairan di manapun berada, termasuk NTT.  Dengan menjaga ekosistem laut tetap sehat dan stabil, maka itu menjaga kualitas air dan mengurangi gangguan manusia.

Itu berarti, perlindungan ekosistem laut akan bisa mewujudkan perlindungan terhadap spesies laut seperti paus dari ancaman eksternal yang berpotensi fatal. Dengan demikian, kejadian terdamparnya paus atau hewan laut lain ke pesisir yang terjadi berkali-kali, diharapkan bisa terus berkurang. (***)

Mencari Strategi Tepat untuk Pengelolaan Satwa Laut Terdampar

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|