- Perairan Teluk Balikpapan makin ramai dengan berbagai akvititas dan pembangunan di sekitarnya, dari kawasan industri sampai proyek Ibukota Negara Nusantara (IKN). Kondisi ini berdampak pada kehidupan nelayan yang menggantungkan hidup dari perairan sekitar.
- Nelayan kecil yang biasa menangkap ikan di perairan Teluk Balikpapan pun makin kesulitan mencari ikan. Sumber pencarian mereka terganggu. Sebagian terpaksa melaut sampai ke selat Makassar, tetapi sebagian lagi terpaksa menerima nasib karena kondisi kapal tak memungkinkan melaut lebih jauh.
- Muhammad Abduh, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Pantura Jenebora, mengatakan, tangkapan ikan dan udang di Teluk Balikpapan berkurang dari tahun ke tahun. Padahal, lokasi ini sejak dahulu jadi sumber penghidupan warga.
- Mappaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, mengatakan, persoalan di Teluk Balikpapan sejatinya berkelindan, bermula ketika perusahaan beroperasi di kawasan Teluk Balikpapan. Ketika proses pembangunan industri mulai, pembukaan lahan tak bisa terhindari. Kondisi ini, berdampak bagi ekosistem mangrove, fauna dan flora lain.
Mendung menggelayut di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, sejak pagi hari. Abdul Kadir bingung memutuskan pergi melaut atau tidak. Kalau pergi saat cuaca buruk, nyawa jadi taruhan. Sedang dapur harus terus mengepul.
Kapal berkekuatan satu gross tonage (GT/tonase kotor) miliknya, hanya bisa melaut di Teluk Balikpapan, bukan Selat Makassar.
“Situasi ini sering kami hadapi. Jadi kami bertahan apa adanya. Serba salah. Kami mau teriak susah, tidak didengar juga,” ujar Kadir kepada media ini akhir Juni lalu.
Dia merupakan nelayan dari Desa Jenebora, salah satu kelurahan yang masuk Penajam Paser Utara (PPU), masih masuk Kawasan Teluk Balikpapan.
Sejak berdiri 1935 hingga sekarang, penduduk desa ini sekitar 3.477 jiwa. Masyarakat beragam, mulai dari Bugis, Bajau hingga Jawa dengan penduduk asli Dayak Pesisir. Sebagian besar mereka nelayan dan bergantung dengan tangkapan laut.
“Kalau dulu, 90-an, masih gampang cari ikan dan udang. Sekarang harus ke luar. Jauh dari teluk,” katanya.
Dulu, nelayan di Jenebora bisa dapatkan 30-40 kilogram (kg) ikan dan udang dalam sehari. Puluhan kilogram ikan bila sekitar Rp4-6 juta, atau per kilogram ratusan ribu. Saat ini, hanya berharga puluhan ribu.
“Memang mengalami penyusutan dari tangkapan dan harga. Sekarang, dapat satu atau dua kilo[gram] sudah bersyukur,” kata Kadir yang sejak SD sudah jadi nelayan.
Penurunan tangkapan ikan, katanya, mulai terasa sejak pertengahan tahun 90-an atau tiga dekade lalu.
Tatkala sejumlah perusahaan mulai beraktivitas di Teluk Balikpapan, mulai dari perusahaan pengolahan kayu, sampai batubara. Kondisi ini, katanya, terus berlanjut dan makin memburuk sejak kehadiran Kawasan Industri Kariangau (KIK) di Balikpapan Barat, di seberang Desa Jenebora pada 2012.
Saat ini tambah sulit lagi setelah ada pembangunan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Iya sekarang makin banyak kapal yang lalu-lalang, melintasi kawasan Teluk Balikpapan,” katanya.
Sebenarnya dia tak mempermasalahkan kapal lalu-lalang. Walau terkadang udang atau ikan cenderung menyebar dan sulit terjala ketika terganggu getaran kapal-kapal besar tetapi masih bisa dimaklumi.
Yang paling jadi masalah nelayan, katanya, kapal-kapal yang parkir sembarangan, bahkan di titik-titik dia mencari ikan. Belum lagi, larangan mendekati area perusahaan, hanya boleh 500 meter. Padahal, katanya, hanya di situlah nelayan bisa mendapat ikan atau udang. Daerah itu biasa mereka sebut Karang Solet.
Kadir pernah mengajukan masalah ini saat diseminasi Peraturan Daerah (Perda) Kaltim No 2/2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) pada 2021. Sayangnya, hingga kini keluhan warga belum mendapat tanggapan signifikan.
Tak hanya di Jenebora, nelayan sukar menangkap ikan atau udang, juga terjadi di Desa Pantai Lango, berjarak tiga kilometer sebelah utara Desa Jenebora.
“Saya pernah dari pagi hingga siang, hanya dapat satu ekor. Belum lagi kendala cuaca. Kami harap segera ada solusi terbaik,” katanya.
Muhammad Abduh, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Pantura Jenebora, mengatakan, tangkapan ikan dan udang di Teluk Balikpapan berkurang dari tahun ke tahun. Padahal, lokasi ini sejak dahulu jadi sumber penghidupan warga.
Ketika area tangkapan makin berkurang, terpaksa masyarakat pindah lokasi mencari ikan ke luar Teluk Balikpapan. Nyaris mendekati Selat Makassar atau 12.000 kilometer dari Jenebora.
“Kalau kami bertahan di sini (Teluk Balikpapan) sudah pasti susah dapat ikan dan berhadapan dengan tanker-tanker ini,” katanya.
Bila dibandingkan dengan satu dekade lalu arus lalu lintas kapal di Teluk Balikpapan, makin ramai. Terlebih lima tahun terakhir kian padat dengan ada IKN. Padahal, Abduh menilai, antara nelayan dan perusahaan bisa saling berdampingan dengan damai bila mengerti posisi masing-masing. Saat ini, tidak begitu, perusahaan seolah tak mengerti nelayan.
“Sampai saat ini kami tak mendapat solusi,” katanya.
Akar masalah
Mappaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, mengatakan, persoalan di Teluk Balikpapan sejatinya berkelindan, bermula ketika perusahaan beroperasi di kawasan Teluk Balikpapan.
Ketika proses pembangunan industri mulai, katanya, pembukaan lahan tak bisa terhindari. Kondisi ini, berdampak bagi ekosistem mangrove, fauna dan flora lain.
Ketika habitat terbabat, akan mempengaruhi kelangsungan hidup organik lain.
“Semua terhubung. Pada akhirnya akan memengaruhi ikan atau udang di sekitar Teluk Balikpapan.”
Kawasan Industri Kariangau (KIK) saja, katanya, luas lebih 3.500 hektar. Kawasan itu menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur.
Selain batubara, ada industri minyak dan gas serta sawit. Setidaknya, ada 20 pabrik beroperasi di KIK. Kondisi itu ikut menyumbang sedimentasi hingga limbah di Teluk Balikpapan.
Ketika sedimentasi sudah akut, katanya, yang terdampak adalah padang lamun. Kekeruhan tinggi itu bakal membuat padang lamun tak bisa berfotosintesis.
“Saat itu terjadi, ekosistem sekitar perlahan akan mati. Padang lamun ini juga menjadi rumah dugong.”
Sedimentasi di Teluk Balikpapan, katanya, wajib mendapatkan perhatian lantaran perairan di kawasan ini relatif tertutup. Karena tak ada sungai besar mengalir dari hulu hingga pola arus air Teluk Balikpapan tak keluar ke perairan Selat Makassar.
Ia hanya bergerak dari hulu ke hilir dan kembali dengan pasang surut.
Dengan kata lain, sebagian besar sedimentasi menetap di teluk termasuk limbah.
“Pada akhirnya, bila dibiarkan berlanjut memupuk bencana krisis ekologi yang tak bisa dihindari di kemudian hari.”
Teluk Balikpapan, katanya, juga sumber kehidupan bagi nelayan Jenebora, dan empat desa dari PPU yakni Pantai Lango, Maridan, Pamaluan dan Mentawir.
Merujuk data Badan Pusat Statistik Kaltim, ada 4.126 keluarga nelayan di PPU dan 6.118 orang di Balikpapan. Mereka ini menggantungkan hidup pada sumber ikan di Teluk Balikpapan. Sayangnya, Perda Kaltim No 2/2021 tentang RZWP3K tak mengakomodasi para nelayan. Dokumen ini justru mengalokasikan Teluk Balikpapan sebagai zona pelabuhan.
“Sampai hari ini kami masih terus berusaha agar para nelayan bisa mendapatkan ruang untuk menangkap hasil laut,” katanya.
Ruang hidup nelayan di Teluk Balikpapan, katanya, bakal makin terkikis mengingat mega proyek IKN.
Dalam lampiran II UU No 3/2022 tentang IKN menyebut ada dua pelabuhan utama di Teluk Balikpapan. Pertama, Pelabuhan Semayang, untuk umum dengan jalur internasional. Kedua, Terminal Kariangau sebagai pelabuhan kargo internasional.
Dua pelabuhan ini, katanya, akan memicu aktivitas tinggi di Teluk Balikpapan.
Imam Syafi’i, Peneliti Pusat Riset Politik (PRP) BRIN, mengatakan, konsep kota hutan yang jadi dasar IKN bias daratan. Teluk Balikpapan, katanya, tak masuk dalam wilayah perairan IKN kalau melihat peta pembagian wilayahnya.
Padahal, kawasan ini merupakan pintu gerbang utama IKN melalui Pelabuhan Semayang dan Terminal Kariangau, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari zona inti.
Dengan berbagai aktivitas pembangunan, katanya, Teluk Balikpapan tidak lagi berfungsi sebagai area penangkapan ikan nelayan pesisir karena saat ini harus melaut ke Selat Makassar.
“Konsep Kota Hutan IKN ini mengasingkan Teluk Balikpapan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan wilayah hijau,” katanya dalam Webinar Series #5 IKN berjudul Teluk Balikpapan dalam Lanskap Pembangunan IKN Nusantara.
Apa kata pemerintah?
Dari Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) menyebutkan, akan menjaga ekosistem organik termasuk mangrove di Teluk Balikpapan. Mereka akan jadikan mangrove Teluk Balikpapan sebagai kawasan lindung.
Sodikin Asisten l Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat PPU, tak menampik bila tangkapan nelayan di Teluk Balikpapan berkurang.
“Tapi susah ‘kan tidak,” katanya.
Mengenai ikan berkurang, katanya, merupakan persoalan habitat, sedang akses menuju lokasi tangkap tak ada masalah.
“Aktivitas di Teluk Balikpapan ini memang kian ramai dengan ada IKN. Nelayan harus keluar.”
Mengenai mangrove dari sisi PPU, kata Sodikin, pemerintah akan menjaga secara maksimal. Pembukaan lahan mangrove tak bisa sembarang, harus melalui kajian. Demikan pula pengawasan, tak hanya pemerintah, juga masyarakat.
Dia akui mobilisasi penduduk tak bisa terhindari, terlebih dengan ada IKN.
“Nah, itu tidak bisa dipisahkan. Bagaimana mau membangun kota kemudian tidak boleh di apa-apakan?” katanya bertanya.
Meskipun begitu, dia mengklaim pembangunan mengarah ke ramah lingkungan dan menekan risiko sekecil mungkin. “Bila ada pembabatan (mangrove di PPU) akan meminta mengganti ke pihak terkait.”
********
Bagaimana Nasib Kawasan Mangrove Teluk Balikpapan Kala Ada IKN Nusantara?