- Gurita merupakan komoditas ekspor perikanan penting Indonesia yang penangkapannya didominasi oleh nelayan skala kecil dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
- Tetapi nelayan penangkap gurita di Sulawesi termasuk di Kepulauan Togean menghadapi masih banyak tantangan. Mulai dari isu perubahan iklim, kondisi habitat terumbu karang, potensi konflik, hingga rantai pasok perikanan gurita yang panjang.
- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong lahirnya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Gurita untuk pengelolaan yang lebih baik dan berkelanjutan dengan menggandeng beberapa LSM
- Beberapa lembaga non pemerintah di Sulawesi mendorong konsorsium Fishery Improvement Project atau FIP Gurita Sulawesi, yang bertujuan agar perikanan gurita semakin lestari dan di saat bersamaan nelayan berdaya serta berkeadilan.
- Artikel ini merupakan bagian kedua dari dua tulisan tentang kondisi nelayan perikanan gurita di Sulawesi. Artikel pertama bisa dibaca ditautan ini.
Siang di akhir Agustus 2024, Nursia Nuntu bersama dua orang perempuan lainnya sibuk menangkap gurita. Ketiganya adalah nelayan perempuan yang menangkap gurita di perairan dangkal di Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Tojo Una-una, Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.
Bagi kaum perempuan, mereka akan menunggu air surut ketika menangkap gurita di lubang-lubang terumbu karang. Hari itu, cuaca yang cerah tiba-tiba berganti hujan. Namun pantang bagi mereka untuk pulang. Sayang, hari itu Nursia hanya mendapatkan satu ekor gurita berukuran sedang.
“Ukuran gurita ini sudah sudah cukup untuk membeli beras,” katanya.
Lokasi tangkap mereka berada di luar kawasan yang ditutup sementara dari penangkapan gurita. Saat itu air laut sedang surut, dan ini adalah momen yang tepat untuk berenang mencari gurita. Kondisi inilah yang membuat banyak nelayan tradisional menangkap gurita, termasuk nelayan perempuan.
Mereka menggunakan alat tangkap sederhana yang umumnya sangat selektif. Seperti besi kecil menyerupai tombak yang digunakan Nursia, dan ada juga umpan buatan yang menyerupai kepiting. Dengan alat tangkap sederhana, sedikit sekali tangkapan sampingan (by catch) yang ikut tertangkap saat mencari gurita.
Namun berbagai tantangan dihadapi oleh nelayan gurita. Saat ini, isu perubahan iklim semakin dirasakan oleh nelayan. Cuaca yang tidak menentu membuat mereka kesulitan melaut. Apalagi seperti Desa Kadoda yang hanya berupa pulau kecil dan berada di tengah Teluk Tomini. Angin kencang, badai, dan juga gelombang tinggi mulai sering terjadi, bahkan tak mengenal bulan. Kalender musim tangkapan nelayan semakin tidak jelas.
“Kalau cuaca buruk, tidak ada yang berani turun mencari gurita. Kalau sudah begitu, kami tidak bisa melakukan apa-apa. Dulu, hanya di bulan-bulan tertentu, sekarang sepertinya setiap bulan ada saja cuaca buruk,” kata Nursia.
Baca : Pengelolaan Gurita Berkelanjutan: Kisah Sukses Nelayan di Sulawesi (1)
Persoalan lainnya, di wilayah tangkap nelayan gurita seringkali bersinggungan dengan aktifitas destruktif nelayan lainnya yang menggunakan bom atau potassium. Kondisi tersebut berdampak buruk pada habitat terumbu karang. Selain itu, potensi konflik antar nelayan bisa saja terjadi, karena kecenderungan nelayan beranggapan bahwa laut adalah open access; milik semua orang.
Di saat bersamaan, ketika gurita berhasil ditangkap, harga gurita di tingkat pengepul seringkali tidak menentu. Rantai pasok yang begitu jauh, karena komoditas ekspor, menjadi persoalan tersendiri. Sedangkan penanganan hasil tangkapan oleh nelayan yang tidak sesuai dengan standart, ikut memengaruhi kualitas gurita.
Kondisi ini diperburuk dengan minimnya ketersediaan es dan fasilitas pendingin masih terbatas; terutama bagi nelayan-nelayan di desa pesisir atau pulau kecil, seperti halnya Desa Kadoda, yang tidak memiliki fasilitas listrik yang memadai.
“Tantangan inilah yang membuat posisi tawar nelayan cenderung lemah, karena rantai pemasaran perikanan gurita yang begitu panjang dan belum ada jaminan pasar terhadap harga gurita,” kata Jalipati dari Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda).
Japesda merupakan lembaga non pemerintah yang mendampingi nelayan gurita di berbagai wilayah di Sulawesi termasuk di Desa Kadoda.
Rencana Pengelolaan Gurita
Perikanan gurita adalah perikanan dekat pantai dan didominasi oleh nelayan skala kecil dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Gurita juga merupakan perikanan tangkap yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga menjadikannya sebagai salah satu komoditas ekspor penting dari Indonesia.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kini mulai memberikan perhatian terhadap pengelolan perikanan gurita, dengan mendorong lahirnya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Gurita.
Baca juga : Kisah Nelayan Totikum Selatan Kembalikan Populasi Gurita yang Menurun Drastis
Proses penyusunan RPP Gurita telah dimulai sejak bulan Maret 2023 yang diawali dengan pembahasan status perikanan gurita terkini di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Lalu pada bulan November 2023, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, menggandeng Yayasan Pesisir Lestari (YPL) dengan dukungan Marine Stewardship Council (MSC) dan Sustainable Fisheries Partnership (SFP), serta mitra-mitra dari lembaga non pemerintah lainnya yang bekerja melakukan pendampingan nelayan gurita; menyusun isu prioritas, tujuan dan sasaran RPP Gurita.
“Kami berharap dari dokumen RPP Gurita ini dapat mempertahankan dan memastikan keberlanjutan usaha perikanan gurita, baik dari segi sumber daya, ekologi, dan sosial-ekonomi, dan dapat merintis langkah-langkah positif untuk pengelolaan perikanan gurita yang lebih baik di masa mendatang,” kata Aris Budiarto, Kapokja Pemantauan dan Analisis Pengelolaan dan Alokasi SDI (Sumber Daya Ikan), mewakili Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP.
FIP Gurita Sulawesi
Informasi mengenai data perikanan gurita relatif sedikit dibandingkan jenis perikanan tangkap lainnya. Namun nilai ekonomis yang tinggi ini telah mendorong peningkatan upaya tangkapan. Sementara perhatian konsumen global terhadap ketersediaan produk makanan laut yang berkelanjutan, telah mendorong perlu adanya praktik perbaikan pengelolaan perikanan melalui Fishery Improvement Project (FIP).
Saat ini FIP Gurita Sulawesi didorong oleh konsorsium yang terdiri dari lembaga-lembaga yang bekerja di tingkat masyarakat, mereka adalah YPL, SFP, Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI), Japesda, Yapeka, Forkani, Foneb, Komanangi, dan didukung oleh Blue Ventures.
Baca juga : Suku Bajo Torosiaje Panen Hasil saat Punya Area Lindung Gurita
FIP Gurita Sulawesi ini terbilang unik dan pertama kali di Indonesia karena bottom up; didorong dari bawah dan melibatkan partisipasi nelayan. Berbeda dengan FIP lainnya yang top down dan diinisiasi oleh industri.
“FIP Gurita ini dibutuhkan karena praktek-praktek perikanan gurita berbasis masyarakat di tingkat tapak sudah banyak dan semakin meluas, melibatkan partisipasi masyarakat dan juga pemerintah. Serta potensinya engage dengan rantai pasok, dalam hal ini industri,” ungkap Faridz Rizal Fachri, Sustainable Fisheries Coordinator dari Yayasan Pesisir Lestari, yang tergabung dalam konsorsium FIP Gurita Sulawesi.
FIP Gurita Sulawesi kini telah dirilis ke dalam platform fisheryprogress.org, yang merupakan wadah informasi mengenai FIP di seluruh dunia, yang dibuat lebih efisien, konsisten dan terpercaya untuk para pebisnis yang mendukung proyek perbaikan dan peningkatan perikanan. Dengan adanya FIP Gurita Sulawesi, Faridz berharap ada kolaborasi dengan private sector dan berkontribusi pada perbaikan perikanan gurita.
“Selain praktek pengelolaan perikanan, di tingkat tapak, konsorsium FIP Gurita Sulawesi telah melakukan berbagai kegiatan inklusi sosial, misalkan pelatihan hak asasi dan tanggung jawab sosial HRSR (Human Rights and Social Responsibility), yang membahas mengenai hak-hak dasar nelayan. Kegiatan ini untuk mendukung FIP Gurita di Sulawesi,” katanya.
FIP Gurita Sulawesi menurutnya bukan menjadikan MSC Certification sebagai tujuan utama, karena itu hanyalah bonus. Tujuan utamanya adalah menunjukan pada publik bahwa inisasi perbaikan itu sudah muncul di masyarakat yang dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif. Sehingga ketika seluruh stakeholder-nya sudah lengkap, mulai dari pemerintah, masyarakat, NGO/CSO, UPI (Unit Pengolahan Ikan) atau private sector, maka tujuan akhirnya adalah gurita yang lestari.
“Jadi dalam jangka panjang, FIP Gurita Sulawesi bertujuan agar perikanan gurita semakin lestari dan di saat bersamaan nelayan berdaya serta berkeadilan,” tegas Faridz.
Baca juga : Cipo dan Si Manis: Harapan Baru Alat Tangkap Gurita Ramah Lingkungan
Sejauh ini, menurutnya konsorsium FIP Gurita Sulawesi telah berjalan dengan baik, hanya saja secara eksternal saat ini belum terhubung dengan pihak industri. Terlebih secara global kondisi pasar kurang bagus yang berdampak pada dinamika permintaan gurita yang naik turun.
Secara umum di desa-desa pesisir dan pulau kecil yang didampingi oleh organisasi non pemerintah, telah berhasil meningkatkan kesadaran dan pemahaman warga terhadap pentingnya konservasi, terutama pada habitat terumbu karang. Melalui kegiatan sosialisasi dan diskusi secara intensif serta proses pendampingan nelayan, kegiatan merusak ekosistem terumbu karang dapat ditekan.
Namun jalan panjang pengelolaan yang berkelanjutan ini, perlu mendapatkan dukungan dari aspek kebijakan yang mampu mengakui dan melindungi wilayah kelola nelayan, serta bisa menghubungkan nelayan dengan sektor swasta untuk memutus rantai pasok perikanan gurita yang begitu panjang. (***)