Seruan Keadilan Iklim Tokoh Lintas Agama untuk Dunia

3 days ago 20

Pertemuan iklim (Conference of the Parties on Climate Change/COP29) di Baku, Ajerbaizan, sedang berlangsung. Ia harus jadi momentum melihat sekaligus mengoreksi kembali aksi manusia untuk masa depan bumi.

Planet, rumah bagi beragam makhluk makin berada dalam keterancaman serius. Sejak 2000, United Nations Environment Programme (UNEP) memprediksi, krisis lingkungan terus memburuk. UNEP menyebut ,  pada 2025 seperempat dari 4.630 mamalia di dunia dan 11% dari 9.675 spesies burung berada pada risiko kepunahan serius.  Lebih dari setengah terumbu karang dunia terancam pengerukan dan pemanasan global, 80% hutan ditebangi.

Pemanasan global pun akan menaikkan suhu hingga 3,6 °C yang bisa memicu kenaikan ‘dahsyat’ di permukaan laut dan bencana alam lebih parah.

Laporan terbaru International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan Botanic Gardens Conservation International (BGCI) di forum Konferensi Tingkat Tinggi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), COP16 di Bogota Kolumbia, menegaskan, satu dari tiga spesies pohon di dunia saat ini berisiko punah.

Berdasarkan riset lebih 1.000 ilmuwan ini menjelaskan, sedikitnya 16.425 dari 47.282 spesies berisiko punah. Spesies pohon yang terancam punah tersebar di 192 negara di seluruh dunia.[1]

Di Indonesia, industri ekstraktif ditandai dengan ekspansi pertambangan batubara, pertambangan nikel, dan deforestasi tak henti, serta mengancam keanekaragaman hayati.

Pemberian izin batubara, misal, memporakporandakan kehidupan generasi saat ini sekaligus tak menyisakan buat generasi mendatang.

Kalimantan Selatan,  merupakan satu provinsi dengan pertambangan batubara sangat luas. Berdasarkan data Walhi Kalimantan Selatan sampai 2024, luas provinsi ini 3,7 juta hektar dengan 50% terbebani izin tambang.

Di Kalimantan Selatan tercatat sebanyak 814 lubang tambang tersebar di delapan kabupaten, dari Banjar  (117), Tanah Bumbu (264); dan Tanah Laut (223). Lubang-lubang itu ada di dalam ataupun luar konsesi.

Setidaknya, ada 638 lubang berada di 123 konsesi. Ada 176 lubang di luar konsesi yang diduga pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin.

Tambang batubara dari Kalimantan Selatan ini ternyata ekspor ke sejumlah negara,  seperti Jepang, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Batubara Kalimantan Selatan tereksploitasi dan dijual untuk memenuhi kepentinngan perdagangan global.

Namun, kehancuran kehidupan adalah keniscayaan dari pertambangan batubara. Pada 2021,  Kalimantan Selatan mengalami banjir besar yang merugikan kehidupan masyarakat.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kalimantan Selatan,  penah menyebut kerugian ekonomi dampak bencana banjir Kalimantan Selatan sekitar Rp1349 triliun.

Tak hanya itu, pertambangan batubara terbukti menjadi penyumbang utama pendidihan global (global boiling) karena emisi sangat besar.

Akumulasi emisi inilah yang memicu krisis iklim makin memburuk dan memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat di berbagai tempat di dunia.

Kabar buruk selanjutnya, berdasarkan laporan Ember, lembaga penelitian sektor energi pada 2023, emisi batubara per kapita dari negara-negara ekomomi besar anggota G20 terus meningkat. Indonesia termasuk yang mengalami lonjakan emisi batubara per kapita tertinggi di antara blok negara-negara G20.

Laporan ini menyebutkan, emisi tenaga batubara per kapita di Indonesia melonjak 56% dari tahun 2015 hingga 2022.[2]

Anak-anak bermain perahu rakitan dari pelepah pisang saat banjir di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Secara kasat mata, perubahan iklim yang memicu meningkatnya bencana berpengaruh pada kerusakan infrastruktur pendidikan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Seruan lintas agama

Menyikapi beragam krisis yang menghancurleburkan sendi-sendi kehidupan, Green Faith hadir bersama dengan tokoh lintas agama di Kalimantan Selatan dalam forum tokoh lintas agama 28 Oktober lalu.

Pertemuan ini merupakan upaya serius untuk menyusun call to action guna merespon krisis iklim. Temperatur planet bumi sudah naik lebih dari 1,5 derajat celcius. Ini sangat berbahaya.

Krisis iklim berakar pada keserakahan (greed) sekelompok orang yang tidak mengindahkan nilai-nilai luhur dan moral.

Pada titik ini, ajaran agama sangat relevan untuk mendorong perubahan yang sangat mendasar.

Green faith membangun kerja sama dengan berbagai agama, termasuk sekolah tinggi di Jakarta guna mengarusutamakan isu keadilan iklim dan transisi energi berkeadilan.

Kerja tokoh lintas agama di Kalimantan Selatan akan menjadi contoh baik bagi provinsi lain karena sikap yang sangat pro aktif melawan krisis.

Dari pertemuan ini, Green Faith mendorong gerakan lebih besar pada masa mendatang, antara lain, penyelenggaraan konferensi nasional maupun internasional. Juga, membuat buku saku untuk menyelamatkan lingkungan, serta menyusun gerakan sampai ke akar rumput dalam mendorong gerakan lingkungan.

Wahyudin,  Ketua LHKP PW Muhammadiyah Kalimantan Selatan, menyebut,  pertambangan batubara di Kalsel memaksa para perempuan kehilangan air bersih. Banyak sungai hancur dan tercemar, padahal merupakan identitas budaya masyarakat Kalimantan.

Dia mendorong memperluas pendidikan kritis di masyarakat, termasuk generasi muda supaya memahami arti penting keadilan lingkungan.  Dia juga menekankan aspek hifzhul bi’ah (keadilan lingkungan) dalam memahami ajaran agama.

Pendeta James Damanik, Sekrertaris PGI Kalimantan Selatan, menyatakan, pertemuan ini sangat penting karena tokoh agama punya tanggung jawab besar memastikan keselamatan planet bumi.

Ekosistem laut rusak. Laut yang menjadi ruang hidup bagi masyarakat pesisir berubah jadi lautan lumpur merah (limparan tanah dari aktivitas tambang nikel) di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.

Persoalan lingkungan,  akan dibahas dalam satu pertemuan penting PGI November ini di Toraja, Sulawesi Selatan.

PGI mendorong jemaat ikut bertanggung jawab dalam melestarikan lingkungan. Salah satu bentuk tanggung jawab lain dari PGI untuk menyelamatkan lingkungan, kata James, adalah menolak tegas terlibat dalam pertambangan batubara.

Pastor Albert Jamlean,  Pengurus Keuskupan Kalimantan Selatan, mengatakan, Kalimantan memiliki hutan luas dan kaya keanekaragaman hayati. Namun, alam Kalimantan terus menerus tergerus terutama untuk pertambangan.

Sementara Walubi menegaskan, krisis iklim harus dilawan dengan menghentikan konsumsi berlebihan, hidup sederhana dan menghormati keseimbangan. Juga, tidak membunuh makhluk hidup. Ajaran Buddha sangat dekat dengan alam. Karena itu, diajarkan hidup harmoni dengan alam, bukan menaklukkannya.

Para tokoh lintas agama ini menyampaikan seruan keadilan iklim, yang mendesak berbagai pihak agar melihat krisis iklim sebagai masalah genting. Juga, mendorong penghentian energi kotor beralih kepada sumbers-sumber bersih,  adil dan terbarukan.

Forum ini meminta pemerintah mengevaluasi dan menghentikan izin industri ekstraktif yang selama ini menjadi predator kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup.

Selanjutnya, forum ini mendesak pengarusutamaan isu keadilan iklim dan transisi energi yang berkeadilan dalam pendidikan. Hal ini penting guna membangun kesadaran anak didik terkait keselamatan bumi.

Seruan Kalimantan Selatan, dari tokoh lintas agama bersama Green Faith Indonesia ini demi dunia lebih bersih, adil, dan berkelanjutan.

Rujukan sumber:

[1] Mutilasi Pohon Kehidupan: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/10/29/mutilasi-pohon-kehidupan

[2] Emisi Batubara G20 Terus Meningkat Indonesia Tertinggi Lonjakannya, https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/09/05/emisi-batubara-g20-terus-meningkat-indonesia-tertinggi-lonjakannya

*Penulis: Hening Parlan adalah Direktur Green Faith Indonesia dan Parid Ridwanuddin sebagai pegiat Green Faith Indonesia.  Tulisan ini adalah opini penulis.

Batubara di Kalimantan Selatan, yang diangkut dengan tongkang. Foto: Parid Ridwanuddin

*******

Penyumbang Krisis Iklim: dari Lumpur Lapindo sampai Nikel Halmahera

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|