- Bagi nelayan kecil, hutan mangrove menjadi “brankas” yang menyediakan tangkapan laut yang berperan penting dalam menopang ketahanan pangan mereka.
- Hutan mangrove memungkinkan nelayan untuk tetap mencari penghasilan meski kondisi laut sedang kurang baik, dengan tangkapan yang cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
- Aktivitas tambang pasir dan konversi lahan mangrove menjadi tambak dan perkebunan sawit menjadikan hutan mangrove rusak, mengancam kelestarian dan hasil tangkapan nelayan.
- Pemerintah dan organisasi lingkungan sedang menjalankan program rehabilitasi, termasuk proyek Mangrove for Coastal Resilience.
Bagi nelayan kecil, keberadaan hutan mangrove ibarat ‘brankas’ yang menyimpan harta untuk keberlangsungan hidupnya.
Sebab, ekosistem hutan di pesisir laut ini menjadi rumah berbagai spesies seperti ikan, udang, kepiting, maupun kerang. Spesies-spesies protein dari laut itu merupakan aset penting sebagai penopang ketahanan pangan mereka.
Hal itu dirasakan Ahmad Abdullah (22), nelayan asal Desa Sidogedungbatu, Kecamatan Sangkapura, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Selagi hutan mangrove di tempatnya masih lebat, Ahmad tidak pusing untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Saat musim angin yang membuatnya tidak bisa melaut, ketersediaan tangkapan di area mangrove menjadi pilihan terbaik. Menurutnya, keberadaan hutan mangrove memberikan alternatif penghasilan yang cukup, berkat kelimpahan kepiting, kerang dan biota lain yang bisa ia tangkap tanpa harus jauh melaut.
Selain itu, hasil tangkapan di kawasan pesisir dekat dengan mangrove juga membantu biaya kuliah Ahmad tanpa membebani orang tuanya.
“Adanya mangrove ini sangatlah berjasa,” ujarnya yang ditemui belum lama ini.
Hutan Mangrove Sebagai Penghidupan Nelayan
Tak jauh beda, Eko Sanjaya (22), nelayan asal Dusun Mengkubung, Desa Riding Panjang, Kecamatan Belibyu, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung juga merasakan pentingnya keberadaan mangrove sebagai tempat berkembangbiakan ikan maupun biota lain yang menjadi area tangkapnya.
Hampir saban hari ia mencari ikan kerapu muara, ikan belanak, dan ikan baronang yang tinggal diantara pohon bakau.
Baca : Tolak Hutan Mangrove jadi Sawit, PN Stabat Vonis Ilham dan Taufik Bersalah
Eko menangkap ikan di kawasan mangrove itu menyesuaikan pasang surutnya air laut. Bila pasangnya di malam hari, maka ia berangkat sebelum maghrib dan kembali esok paginya. Sebaliknya, bila air laut pasangnya di siang hari, maka ia berangkat melautnya sebelum atau sesudah subuh, dan kembali pada sore hari.
Pemilihan waktu saat mulai pasang bukanlah tanpa alasan, menurut Eko saat itu ikan-ikan ini banyak yang masuk ke hutan mangrove untuk mencari makanan.
Berkat keberadaan mangrove yang sehat ini menjamin pendapatan Eko. Sekali trip ia mengaku bisa membawa pulang uang Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta. Pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Disamping itu bisa untuk biaya sekolah dan menabung.
“Untuk memenuhi protein hewani dari laut ini kami juga tidak pernah beli. Bahkan, kondisi lauknya masih segar. Itu keuntungan kita jadi nelayan,” ucap pemuda yang menjabat sebagai Sekretaris Nelayan Cahaya Samudra Berjaya ini.
Eko bilang, keberadaan mangrove juga bisa menjadi alternatif nelayan lain di kampungnya ketika tidak bisa melaut karena gelombang tinggi. Nelayan setempat biasa mencari kepitingnya pada malam tanpa bulan.
Namun sayangnya, , hutan mangrove di daerahnya mengalami ancaman kerusakan serius akibat penampangan pasir dan timah ilegal. Dampaknya, selain mengancam kelestarian mangrove juga mengurangi hasil tangkapan ikan hingga pendapatan para nelayan berkurang drastis.
“Saya berharap pemerintah memperkuat perlindungan mangrove sebagai upaya menjaga ketahanan pangan dan keberlanjutan hidup nelayan seperti kami,” ucapnya.
Data menunjukkan, selama 20 tahun terakhir, sekitar 240.467,98 hektare mangrove di Kepulauan Bangka Belitung mengalami kerusakan, atau tersisa 33.244,83 hektare yang kondisinya baik.
Semula, mangrove di provinsi yang mempunyai 470 pulau ini seluas 273.692,81 hektare, yang tersebar di Kabupaten Bangka (38.957,14 hektare), Kabupaten Bangka Barat (48.529,43 hektare), Bangka Selatan (58.165,04 hektare), Bangka Tengah (19.150,86 hektare), Belitung (65.658,06 hektare), dan Belitung Timur (43.232,28 hektare).
Baca juga : Ketegaran Syafi’i: Rajungan Menghilang, Berganti Kerang dan Dipenjara karena Mangrove di Langkat
Tantangan Besar Konservasi Mangrove
Yaya Ihya Ulumuddin, Peneliti Ahli Madya Bidang Ekologi Mangrove di Pusat Riset Oseanografi Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan, pentingnya ekosistem mangrove bagi kelestarian biota laut dan perikanan tradisional.
Menurutnya, hutan mangrove yang luas dan rapat menyediakan tempat berlindung bagi berbagai spesies laut dan daratan, dari akar hingga kanopi “Hutan mangrove yang kompleks memberikan ruang hidup bagi berbagai biota, dari ikan hingga burung,” ujarnya, Kamis (14/11/2024)
Namun, Yaya menyebut konversi lahan mangrove menjadi tambak dan perkebunan sawit sebagai faktor utama kerusakan di Indonesia.
Diperkirakan 631.802 hektare hutan mangrove telah berfungsi menjadi tambak, 62 persen dari lahan yang rusak ini berada di area penggunaan lain (APL), sementara 38 persen berada dalam kawasan hutan.
Disusul pembangunan pemukiman, pelabuhan maupun ekspansi lahan mangrove untuk keperluan ekonomi lainnya. Sehingga memperparah kerusakan ini, berpotensi mendorong deforestasi hingga 600 ribu hektare di tahun-tahun berikutnya.
Ia juga menyoroti kasus spesifik, seperti penambangan pasir, yang di beberapa wilayah menyebabkan perubahan arus laut dan merusak hutan mangrove. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia menjadi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2023 menyebutkan, kerusakan mangrove yang mencapai 600 ribu hektare berdampak signifikan terhadap ekosistem laut dan mata pencaharian nelayan.
Meski demikian, pemerintah bersama dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tetap melanjutkan upaya rehabilitasi untuk menjaga fungsi ekologis mangrove, yang penting bagi mitigasi perubahan iklim.
Baca juga : Kebun Raya Mangrove Surabaya ini Satu-satunya di Indonesia
Meskipun luas rehabilitasi menurun menjadi 6.010 hektare pada 2023, program skala besar yang didukung oleh Bank Dunia sedang dijalankan.
Program Mangrove for Coastal Resilience (M4CR), misalnya, menargetkan perbaikan ekosistem seluas 600 hektare di wilayah seperti Riau, Sumatra Utara, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur, sekaligus mendukung ekonomi masyarakat pesisir.
Yaya menekankan, perlunya kajian mendalam dan langkah-langkah ilmiah dalam memulihkan ekosistem mangrove, serta kepastian hukum untuk mencegah konflik pemanfaatan lahan.
“Menetapkan lahan konservasi yang disepakati oleh masyarakat, swasta, dan pemerintah, dengan manfaat yang adil bagi semua pihak, adalah langkah kunci,” katanya.
Ia contohkan, program rehabilitasi mangrove di Hainan, China, pemerintah memberikan insentif pada pihak swasta yang beralih dari tambak ke konservasi. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi model untuk memastikan bahwa konservasi memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, termasuk nelayan. (***)
Benarkah Indonesia Alami Kemunduran dalam Tata Kelola Mangrove?