- Praktek baik pengelolaan perikanan gurita kini telah banyak dilakukan oleh nelayan melalui metode buka tutup sementara, di mana nelayan tradisional menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mengelola laut.
- Pengelolaan di tingkat tapak ini juga didukung melalui peraturan desa,
- DKP setempat juga membantu dengan memfasilitasi kartu Kusuka sampai akses ke pihak perbankan untuk modal usaha
- Japesda, LSM pendamping nelayan gurita mencatat adanya perbaikan ekosistem dan produksi tangkapan gurita dari hasil buka tutup sementara area tangkapan gurita
Di haluan perahu, Daeng Mappa memperhatikan sesuatu di kejauhan yang dekat dengan Pulau Torosiaje Besar. Di seberang, terlihat seorang nelayan menggunakan perahu tradisional tanpa cadik sedang memancing.
Ia meminta kepada motoris untuk mendekat. Daeng Mappa lalu mewawancarai nelayan tersebut, menanyakan jenis alat tangkapnya, serta mengecek isi dalam perahunya. Keduanya berinteraksi dalam bahasa Bajo.
“Nelayan itu tidak sedang menangkap gurita,” kata Abdul Halik Mappa, nama lengkap Daeng Mappa, seusai “menginterogasi” nelayan.
Daeng Mappa adalah Ketua Sipakullong, sebuah kelompok nelayan gurita di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Letak Torosiaje berada di pesisir Teluk Tomini, teluk terluas di Indonesia.
Hari itu, medio Oktober 2024, ia dan beberapa nelayan sedang berpatroli untuk mengawasi lokasi penutupan sementara wilayah tangkap gurita. Sebulan sebelumnya, nelayan di Torosiaje melakukan penutupan sementara selama tiga bulan, dimulai dari bulan September 2024 hingga Desember 2024.
Luas kawasan yang ditutup itu mencapai 282 hektar di lokasi tangkap yang mereka sebut Pulau Torosiaje Besar dan Pulau Torosiaje Kecil. Tujuannya untuk mengelola sumber daya laut dan perikanan, dengan cara memberikan kesempatan kepada spesies gurita agar bisa tumbuh dan berkembang. Nelayan memberi tanda lokasi yang ditutup dengan menggunakan buih dan bendera bergambar larangan penangkapan gurita.
“Setelah ditutup, tugas kami memastikan tidak terjadi pelanggaran di dalam kawasan yang ditutup melalui patroli dan pengawasan. Patroli dilakukan setiap hari secara bergantian oleh setiap anggota nelayan kelompok selama penutupan berlangsung,” ujar Daeng Mappa.
Baca : Suku Bajo Torosiaje Panen Hasil saat Punya Area Lindung Gurita
Ketika melakukan patroli, anggota nelayan yang tergabung dalam kelompok mencatat setiap temuan, baik pelanggaran atau hanya sekedar perjumpaan nelayan di dalam kawasan yang ditutup. Catatan ini untuk mendeteksi tingkat kepatuhan dan pelanggaran yang terjadi selama penutupan kawasan dilakukan. Hasil dari temuan patroli yang tercatat tersebut didiskusikan oleh nelayan pada saat pertemuan rutin yang mereka sebut “sesi umpan balik data”.
“Hasil patroli yang dicatat ini mempermudah anggota kelompok pengawas dalam mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi serta bisa menjadi acuan dalam pengambilan keputusan mengenai masalah yang diperoleh di lapangan selama patroli dan pengawasan dijalankan,” kata Daeng Mappa.
Menurutnya, pada saat wilayah tangkap ditutup, nelayan bukan berarti tidak lagi menangkap gurita. Nelayan-nelayan tersebut tetap menangkap gurita namun di luar lokasi yang sedang dikelola melalui jeda tangkap sementara.
Berdasarkan pendataan Japesda (Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam), lembaga non pemerintah yang mendampingi nelayan Torosiaje, terdapat 16 lokasi wilayah tangkap gurita yang sering dikunjungi oleh nelayan. Dengan demikian, jika 2 lokasi ditutup, maka nelayan masih bisa menangkap pada 14 lokasi lain.
“Gurita merupakan salah satu komoditi laut yang banyak ditangkap oleh nelayan Torosiaje karena harganya yang cukup menjanjikan dibandingkan jenis lain, apalagi pasar gurita adalah ekspor. Harganya berada pada kisaran Rp40.000 – Rp80.000/kilogram di tingkat nelayan,” lanjutnya.
Baca juga : Laut Rusak, Gurita Menghilang: Nestapa Nelayan Teluk Totikum di Ujung Tanduk
Perbaikan Ekosistem Laut
Namun karena penangkapan terus menerus tanpa memperhatikan aspek keberlanjutannya, ternyata memberikan dampak negatif bagi hasil tangkapan, harga dan juga pendapatan nelayan. Dalam tiga tahun terakhir, nelayan kesulitan mendapatkan tangkapan gurita yang besar dan juga jumlah tangkapan menurun. Akibatnya nelayan harus menangkap lebih jauh lagi, ke wilayah laut Provinsi Sulawesi Tengah.
“Sehingga pengelolaan perikanan gurita dengan model buka tutup, diharapkan mampu memperbaiki ekosistem serta meningkatkan pendapatan masyarakat,” ujarnya.
Menariknya, penutupan wilayah tangkap gurita dilakukan dengan ritual adat bajo bernama tiba kalongko, yakni sebuah ritual untuk menghormati para leluhur dan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap hasil laut dan rezeki yang diberikan serta keselamatan untuk para nelayan yang sedang melaut. Ritual seperti ini sering kali dilakukan oleh masyarakat Bajo Torosiaje ketika pelaksanaan penutupan maupun pembukaan area tangkap gurita.
“Hal ini menandakan bahwa masyarakat Desa Torosiaje memiliki hubungan yang erat dengan laut dan telah mengakar sejak turun temurun, yang terus dipertahankan oleh masyarakat bajo Torosiaje,” kata Jalipati Tuheteru, penanggung jawab lapangan Japesda di Torosiaje.
Japesda sendiri, telah memulai pendampingan khusus untuk perikanan gurita sejak bulan Mei 2021. Mereka memberikan penyadartahuan dan pemahaman kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga ekosistem laut sebagai habitat gurita dengan menerapkan metode buka tutup sementara. Proses pendampingan itu bertumpu pada pendataan perikanan gurita.
Berdasarkan catatan Japesda, mereka melakukan pendataan tangkapan nelayan gurita di Torosiaje sejak bulan Mei 2021. Jumlah nelayan yang tercatat sebanyak 272 orang dan 23 orang pengumpul atau pembeli di tingkat desa. Namun jumlah pembeli ini biasanya tergantung pada musim tangkapan melimpah atau tidak.
“Sejak kami melakukan pendataan perikanan gurita, dari tahun 2021 hingga Oktober 2024, total tangkapan gurita sebanyak 45,901 Kg yang didaratkan dengan presentase rata-rata gurita dewasa yang ditangkap 96 persen. Dari total tangkapan itu, tercatat pendapatan total dari awal pendataan sampai sekarang sebanyak Rp2,1 milyar dengan rata-rata tangkapan per trip sebesar Rp220.120,” ungkap Jalipati.
Baca juga : Kisah Nelayan Totikum Selatan Kembalikan Populasi Gurita yang Menurun Drastis
Penutupan Sementara di Tojo Una-una
Hal yang sama juga dilakukan di Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Nelayan melakukan penutupan sementara di mulai dari Agustus 2024 sampai dengan November 2024 mendatang di wilayah tangkap gurita seluas 90 hektar; di dua lokasi tangkap bernama Dambulalo dan Perairan Kadoda. Desa Kadoda berada dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean. Dalam zonasi taman nasional, wilayah tangkap nelayan di Desa Kadoda berada dalam zona tradisional.
Sementara, berdasarkan pendataan yang dilakukan Japesda sejak bulan Juni 2021 hingga Oktober 2024, total tangkapan gurita 18.116 Kg, dengan total pendapatan sebanyak Rp819 juta; dengan rata-rata pendapatan per trip Rp101.829. Kondisi ini berbeda dengan Torosiaje karena letak geografis Desa Kadoda berada di tengah Teluk Tomini, dengan akses transportasi yang cukup sulit serta fasilitas yang terbatas.
“Jumlah nelayan tercatat 75 orang, termasuk di antaranya nelayan perempuan yang menangkap gurita di perairan dangkal. Rata-rata tangkapan gurita dewasa yakni 85 persen dewasa, sementara jumlah pembeli di desa sebanyak 7 orang,” kata Titania Aminullah, penanggung jawab lapangan Japesda di Desa Kadoda.
Baca juga : Nelayan Gurita Samajatem: Tabung Dahulu, Panen Hasil Kemudian
Dukungan Pemerintah
Pengelolaan perikanan gurita yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kadoda dan Desa Torosiaje ini mendapatkan dukungan dari pemerintah desa dengan terbitnya Peraturan Desa mengenai pengelolaan perikanan skala kecil, di mana nelayan tradisional menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mengelola laut.
Sebagai contoh di Torosiaje, pengelolaan itu didukung oleh pemerintah desa dengan terbitnya Perdes (Peraturan Desa) Torosiaje No.2/2022 tentang Pengelolaan Perikanan Gurita Berbasis Masyarakat. Dengan adanya peraturan desa ini, maka upaya pengelolaan yang dilakukan oleh nelayan telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah desa.
Dalam Perdes tersebut, beberapa point yang diatur di antaranya larangan menangkap gurita dengan ukuran maksimal 0,3 kg, serta larangan menangkap gurita dengan menggunakan alat tangkap yang merusak seperti linggis, potasium, dan juga detergen.
Perdes ini juga mengatur tentang pengelolaan melalui jeda tangkap sementara, di mana yang melanggar ketentuan dalam buka tutup, akan mendapatkan surat teguran dari Babinsa dan Babinkantibmas, pemerintah desa dan juga kelompok Sipakullong. Bahkan jika melakukan pelanggaran berulang, akan dikenakan denda sebesar Rp1.250.000 dan dilarang menangkap gurita di lokasi penutupan selama 1 musim gurita.
“Kegiatan pengelolaan perikanan gurita melalui penutupan sementara di Desa Torosiaje didukung sepenuhnya oleh pemerintah desa, pemerintah Kabupaten Pohuwato, serta pemerintah Provinsi Gorontalo. Pendataan yang kami lakukan di Torosiaje, berkontribusi terhadap pendataan perikanan di tingkat kabupaten maupun provinsi, bahkan nasional,” ungkap Jalipati.
Baca juga : Cipo dan Si Manis: Harapan Baru Alat Tangkap Gurita Ramah Lingkungan
Lukman, Penyuluh Perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kecamatan Popayato, mengaku kegiatan pengelolaan perikanan skala kecil seperti gurita, sangat membantu pemerintah, termasuk dinas kelautan dan perikanan (DKP) baik di level provinsi dan kabupaten serta para penyuluh. Dengan adanya pendampingan kepada masyarakat pesisir, khususnya pengelolaan dengan metode buka tutup di wilayah tangkap nelayan, telah membantu kerja-kerja DKP dalam membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga sumber daya pesisir dan laut.
Untuk itu, Lukman mengaku bahwa pemerintah ikut mendukung kegiatan pengelolaan perikanan skala kecil seperti nelayan gurita. Bentuk dukungan tersebut, salah satunya misalkan, dengan memfasilitasi nelayan untuk bisa mengakses dan mendapatkan kartu Kusuka (Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan). Kartu ini sangat berguna bagi nelayan gurita untuk mendapatkan semacam subsidi BBM atau mengakses bantuan dari pemerintah.
“Kami mendukung praktek baik yang dilakukan oleh nelayan gurita. Kami juga memberikan dukungan dengan cara memfasilitasi kebutuhan nelayan dengan menghubungkan mereka ke DKP Provinsi atau DKP Kabupaten, untuk mendapatkan informasi dan mengakses bantuan, seperti perahu atau mesin. Termasuk juga memfasilitasi nelayan ke pihak perbankan untuk modal usaha,” pungkas Lukman. (***)
(bersambung ke artikel kedua)