- Berbagai kalangan mendorong dalam konferensi perubahan iklim (COP29) ini mampu menghasilkan keputusan progresif terkait pembiayaan transisi energi.
- Dalam laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) dan Climate Policy Initiative (CPI), mengatakan, nilai investasi global sektor energi terbarukan pada 2022 mencapai US$1,3 triliun. Kendati catatan itu sebagai rekor investasi tahunan tertinggi, rerapi belum cukup memastikan transisi energi global di jalur yang benar.
- Linda Rosalina, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, mengatakan, industri jasa keuangan belum banyak berperan dalam mendukung transformasi energi dari berbahan fosil ke energi terbarukan. Alih-alih, mereka justru berkontribusi besar sebagai penyokong utama meningkatnya emisi melalui perusakan hutan oleh industri ekstraktif.
- Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350 orang merepons positif desakan global agar industri jasa keuangan memberi porsi lebih pembiayaan untuk mendorong transisi energi berlangsung lebih cepat.
Berbagai kalangan mendorong dalam konferensi perubahan iklim (COP29) ini mampu menghasilkan keputusan progresif terkait pembiayaan transisi energi.
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), misal, berharap perwakilan negara membuat keputusan penting mendorong industri perbankan meminjamkan lebih banyak uang ke sektor energi terbarukan. Langkah ini untuk mensiasati kesenjangan investasi tahunan yang oleh Badan Energi Internasional diperkirakan mencapai US$400 miliar dari 2024-2030.
“Dengan hanya tersisa enam tahun, target energi terbarukan pada 2030 tampaknya terlalu jauh, namun peningkatan kerja sama antara negara maju dan berkembang serta kebijakan lokal yang kondusif dapat menjembatani kesenjangan itu,” kata Vibhuti Garg, Direktur Asia Selatan IEEFA dalam catatan tertulisnya.
Para negosiator COP29 di Baku, katanya, harus mendukung ambisi mereka melipatgandakan energi terbarukan dengan konsensus mengenai pendanaan iklim tambahan. Dengan dukungan negara-negara maju mengisi kesenjangan dana di negara-negara berkembang.
IEEFA nyatakan, tren investasi global energi terbarukan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Nilai investasi energi terbarukan berada di kisaran US$329 miliar-US$424 miliar pada 2019 jadi US$570 miliar – US$735 miliar pada 2023. Berarti terjadi lonjakan 73%-78% selama periode ini.
Namun, katanya, angka itu belum cukup untuk mengejar target pertumuhan energi terbarukan dua kali lipat. Lembaga yang berbasis di Amerika Serikat ini memperkirakan, perlu pendanaan antara US$1 triliun dan US$1,5 triliun dari 2024 hingga 2030. Rata-rata pendanaan kesenjangan antara 2024 dan 2030 mencapai US$400 miliar per tahun.
“Meskipun aliran kredit perbankan ke sektor bahan bakar fosil menurun, namun masih mencapai US$967 miliar pada 2022. Sisi lain, proyek pembangunan rendah karbon, termasuk energi terbarukan, menerima US$708 miliar pada tahun yang sama,” tulis Vibhuti.
Shafiqul Alam, analis utama energi Bangladesh IEEFA mengatakan, dengan reorientasi lebih banyak modal ke sektor energi terbarukan, bank dapat menjembatani kesenjangan investasi dimaksud.
Karena itu, penting mendorong industri perbankan mengubah paradigma agar memprioritaskan pinjaman untuk energi terbarukan, mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam kebijakan bank.
Labanya Prakash Jena, Konsultan Keuangan Berkelanjutan IEEFA, mengatakan, pemerintah, dapat menciptakan instrumen jaminan risiko kredit parsial untuk mengurangi risiko kredit, mendorong bank mempercepat aliran kredit ke sektor itu.
Bank Pembangunan Multilateral (MDB) dan lembaga keuangan bilateral, dengan dukungan dari pemerintah daerah, katanya, dapat menyediakan modal berisiko dan lunak kepada bank-bank lokal dan membantu menciptakan instrumen jaminan risiko parsial.
Dalam laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) dan Climate Policy Initiative (CPI), mengatakan, nilai investasi global sektor energi terbarukan pada 2022 mencapai US$1,3 triliun. Kendati catatan itu sebagai rekor investasi tahunan tertinggi, rerapi belum cukup memastikan transisi energi global di jalur yang benar.
“Laju investasi (energi terbarukan) belum cukup untuk menempatkan dunia pada jalur tepat mencapai tujuan iklim atau pembangunan sosial ekonomi,” tulis dalam laporan yang rilis 2023 itu.
IRENA menyebutkan tren investasi energi terbarukan tidaklah memadai, hingga perlu ditingkatkan setidaknya empat kali lipat atau setara US$5 triliun antara 2023-2030. Hal itu perlu untuk menjaga dunia berada di jalur yang tepat mencapai transisi energi sesuai scenario 1,5° celcius.
Selama ini, tren pendanaan global masih banyak untuk membiayai ladang minyak dan gas baru, yang bukan bagian dari energi terbarukan. Bahkan, setiap tahun, sekitar US$570 miliar dana keluar hanya untuk pengembangan dan eksplorasi sumur minyak dan gas baru di seluruh dunia.
“Sebanyak 60 bank komersil terbesar di dunia menginvestasikan sekitar US$4,6 triliun di sektor bahan bakar folis antara 2015-2021. Lebih dari seperempatnya dari bank-bank Amerika Serikat,” tulis Irena, mengutip laporan Environemntal Finance, 2022.
Bagaimana Indonesia?
Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350 orang merepons positif desakan global agar industri jasa keuangan memberi porsi lebih pembiayaan untuk mendorong transisi energi berlangsung lebih cepat.
Desakan itu, katanya, sangat relevan di tengah upaya pengurangan emisi global yang terasa jalan di tempat.
Perjanjian Paris menyepakati menahan suhu global tidak lebih dari 1,5° celcius pada 2050. Sayangnya, kesepakatan itu tidak diimbangi ambisi dan komitmen kuat dari kalangan investor, pemerintah dan industri perbankan yang masih memberi dukungan pembiayaan pada energi fosil.
Buntut dari situasi itu, katanya, transisi energi di Indonesia berjalan lambat. Bahkan, target bauran energi pada 2025 awalnya 23%, kini jadi 17-18%.
“Ini seperti pepesan kosong. Pemerintah menginginkan transisi energi tumbuh massif, tetapi dalam waktu sama, pemerintah juga tetap menempatkan kebijakannya pada energi berbahan fosil.”
Menurut Sisilia, ada banyak faktor yang menjadikan sektor ini tidak berjalan sesuai harapan. Salah satunya, komitmen pemerintah masih setengah hati mendorong sektor energi terbarukan bergerak cepat.
Alih-alih berupaya memenuhi target bauran energi, kata Sisil, sejumlah proyek energi berbahan fosil seperti PLTU batubara justru terus terbangun.
Situasi itu diperparah dengan kecenderungan industri keuangan (perbankan) yang memilih memberikan dukungan pembiayaan kepada proyek-proyek energi berbahan fosil. Padahal, kalau dukungan itu pindah ke energi terbarukan, dia yakin progres bauran energi bisa berlangsung lebih cepat.
Transisi energi, katanya, memerlukan biaya dan dukungan besar. Karena itu, peran industri jasa keuangan sangat penting dalam mendukung proses ini.
“Ada banyak inisiatif baik, termasuk dari komunitas bagaimana menjalankan transisi energi ini. Ini yang seharusnya terus didorong dan mendapat kemudahan dukungan pembiayaan.”
Selama ini, ada anggapan proyek-proyek energi terbarukan berbasis masyarakat cenderung tinggi risiko menurut kaca mata perbankan. Tak pelak, proyek ini tidak layak mendapat dukungan pembiayaan.
Sisilia pun mendorong, pemerintah membentuk instrumen baru demi mendukung berbagai inisiatif agar transisi energi berjalan lebih massif. Kehadiran instrumen baru ini akan memudahkan kelompok masyarakat mengakses pendanaan, sekaligus jaminan bagi industri jasa keuangan.
“Ini karena persyaratan bank ability-nya, mereka pengennya yang risiko kecil. Energi terbarukan, terutama berbasis masyarakat itu risk-nya tinggi, kuatir gagal bayar. Ini perlu ada support system yang baik dengan membuat instrumen baru itu,” kata Sisil,
Data databoks, bisa menjadi cerminan bagaimana kucuran dana dari industri perbankan sepanjang 2016-Juni 2022 mengalir deras ke energi fosil ketimbang energi terbarukan. Bank Mandiri, misal, total dana ngalir mencapai US$11,09 juta, sementara energi terbarukan ‘hanya’ US$583.850.”
Begitu juga dengan BRI, mengucurkan US$6,7 juta untuk energi fosil dibanding energi terbarukan US$582.320. Ada juga BNI yang menggelontorkan dana US$2,96 juta untuk energi fosil, hanya US$403.320 untuk energi terbarukan.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, mengatakan, industri jasa keuangan belum banyak berperan dalam mendukung transformasi energi dari berbahan fosil ke energi terbarukan. Alih-alih, mereka justru berkontribusi besar sebagai penyokong utama meningkatnya emisi melalui perusakan hutan oleh industri ekstraktif.
Sejak Perjanjian Paris, TuK Indonesia bersama sejumlah elemen rajin meng-collect aliran pembiayaan pada sektor-sektor yang berpotensi merusak hutan di Indonesia. Hasilnya, dalam kuruan 2016 hingga Juli 2024, lebih Rp1300 triliun mengalir pada sektor fosil.
Menurut Linda, sektor energi berkontribusi besar terhadap emisi. Ada pula sektor lain yang berkontribusi terhadap emisi yakni, pertanian dan alih fungsi tanah lainnya.
Hasil riset TuK bersama jaringannya terungkap bahwa ada dua sektor potensial meningkatkan risiko kerusakan hutan dan mendapat kucuran dana dalam jumlah besar, yakni, industri pulp and paper, dan sawit.
Dukungan pembiayaan oleh industri keuangan ini, kata Linda, menjadikan perusakan hutan korporasi besar terus berlanjut. Bahkan, perusahaan di Indonesia bisa mengusai 4 juta hektar lahan
Pemerintah, sejatinya memiliki kebijakan cukup progressif mendorong upaya transisi energi. Salah satunya, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan.
Salah satu poin penting dalam beleid itu adalah kewajiban bagi lembaga jasa keuangan di Indonesia membiayai akivitas ekonomia yang ramah lingkungan dan sosial. Sayangnya, aturan ini tak lebih dari catatan di atas kertas. Faktanya, dana masih dominan pada sektor-sektor yang berisiko.
Pemerintah melalui POJK juga menyusun yang namanya taksonomi hijau 2022, belakangan sedang revisi menjadi taksonomi untuk keuangan berkelajutan.
Dokumen ini mengklasifikaian aktivitas ekonomi ke dalam kelompok hijau, kuning dan merah. Akan tetapi, hasil revisi justru menjadikan upaya tata kelola sektor ini berjalan mundur.
Pada POJK sebelumnya, ada klasifikasi perusahaan perusak, seperti merah, kuning dan hijau. Dalam reivisi ada usulan menjadi dua kelompok: hijau dan transisi.
Dengan begitu, katanya, perusahaan yang semula masuk dalam kelompok merah, kini bisa berlindung ke dalam kelompok transisi.
“Konsekuensinya, aktivtas bisnis yang sebelumnya masuk kategori merah, akan terakomodir dalam kelompok transisi. Mereka akan bebas mengakses sumber pendanaan dari perbankan. Ini kan makin mengaburkan.”
*******