Peristiwa Pluvial Karnia: Bumi Diguyur Hujan Tanpa Henti selama 1 Juta Tahun

5 days ago 21
  • Periode di zaman Trias Akhir (sekitar 232 juta tahun lalu) yang ditandai dengan curah hujan ekstrem selama lebih dari 1 juta tahun.  
  • Dipicu oleh aktivitas vulkanik masif dari Central Atlantic Magmatic Province (CAMP) yang melepaskan gas rumah kaca, diperkuat oleh kondisi iklim unik dari superkontinen Pangea.  
  • Pluvial Karnia berdampak mengubah bentang alam Bumi, membentuk sungai dan danau baru, memicu kepunahan massal, dan mendorong diversifikasi spesies, termasuk kebangkitan dinosaurus.  

Bayangkan dunia yang basah kuyup, di mana hujan turun tanpa henti selama 1 juta tahun. Daratan kering berubah menjadi rawa, sungai-sungai baru terbentuk, dan kehidupan di Bumi dipaksa untuk beradaptasi dengan kondisi yang benar-benar baru. Fenomena luar biasa ini dikenal sebagai Peristiwa Pluvial Karnia, yang terjadi sekitar 232 juta tahun lalu pada periode Trias Akhir. Bukan hanya menjadi salah satu peristiwa perubahan iklim terbesar dalam sejarah planet ini, tetapi juga menjadi titik balik bagi evolusi kehidupan, membuka jalan bagi munculnya dinosaurus sebagai penguasa daratan.

Hujan Tanpa Henti dan Transformasi Planet Bumi

Selama lebih dari 1 juta tahun, curah hujan yang tinggi mengguyur hampir seluruh bagian planet bumi. Hujan deras ini bukan hanya peristiwa singkat, tetapi menjadi bagian dari siklus iklim global. Daerah-daerah yang sebelumnya kering berubah menjadi basah, menciptakan rawa, sungai, dan danau baru yang mendukung ekosistem baru.

Hujan yang tanpa henti ini juga menyebabkan banjir besar dan erosi tanah secara masif. Sungai-sungai mengalir dengan volume air yang jauh lebih besar, membawa sedimen yang menyuburkan wilayah pesisir dan lautan. Kondisi basah ini menciptakan habitat-habitat baru bagi berbagai spesies, tetapi juga menjadi tantangan bagi spesies yang sebelumnya bergantung pada kondisi kering.

Baca juga: Mengenal Supervolcano di Dunia, dan yang Paling Berbahaya Saat Ini

Letusan Gunung Berapi dan Kiamat Iklim

Para ilmuwan sepakat bahwa penyebab utama Peristiwa Pluvial Karnia adalah aktivitas vulkanik yang luar biasa, terutama yang terkait dengan Central Atlantic magmatic province (CAMP). CAMP adalah salah satu provinsi magmatik terbesar yang pernah diketahui di Bumi, terbentuk sekitar 201 juta tahun yang lalu ketika benua-benua masih tergabung dalam superkontinen Pangea. CAMP terbentuk akibat aktivitas vulkanik yang sangat intens dan meluas. Diduga kuat bahwa mantel plume, yaitu gumpalan batuan panas yang naik dari mantel Bumi, mencapai kerak bumi dan menyebabkan pelepasan magma dalam skala besar. Magma ini kemudian menyebar ke permukaan melalui retakan dan celah di kerak bumi, menghasilkan letusan gunung berapi yang dahsyat dan aliran lava yang luas.

Letusan gunung berapi yang dahsyat ini, termasuk yang terjadi di Wrangellia Terrane (kini berada di wilayah barat laut Amerika Utara, antara Alaska dan British Columbia), melepaskan volume besar gas-gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO₂) dan metana (CH₄), ke atmosfer. Akibatnya, terjadi efek rumah kaca yang sangat kuat, memicu pemanasan global.

Lokasi CAMP | Sumber Williamborg CC BY-SA 3.0

Peningkatan suhu global memicu penguapan besar-besaran air dari laut dan menyebabkan peningkatan kelembapan di atmosfer. Hal ini menghasilkan pola cuaca yang mendukung curah hujan ekstrem dalam jangka panjang. Aktivitas vulkanik juga menciptakan awan vulkanik yang dapat memengaruhi pola aliran atmosfer, semakin memperparah siklus hujan deras.

Namun, letusan gunung berapi CAMP bukan satu-satunya faktor penyebab. Superkontinen Pangea, dengan daratannya yang sangat luas, menciptakan kondisi iklim yang unik dan rentan. Interior benua yang kering, sirkulasi atmosfer terbatas, dan pola arus laut yang berbeda memperkuat efek pemanasan global dari aktivitas vulkanik. Di saat yang sama, pergeseran lempeng tektonik yang terus berlangsung menyebabkan aktivitas vulkanik lebih lanjut, perubahan bentang alam, dan ketidakstabilan iklim global. Faktor-faktor ini bersama-sama menciptakan kondisi ideal bagi terjadinya Peristiwa Pluvial Karnia, dengan hujan tanpa henti yang mengubah wajah planet.

Dampak Lingkungan: Lanskap Bumi yang Berubah

  • Transformasi Ekosistem Daratan

Hujan yang berlangsung selama 1 juta tahun ini mengubah lanskap Bumi secara drastis. Padang kering berubah menjadi rawa-rawa subur, dan terbentuknya sungai dan danau baru menciptakan habitat yang mendukung kehidupan baru. Banyak spesies tumbuhan dan hewan beradaptasi dengan cepat terhadap kondisi basah ini, sementara spesies lain yang tidak mampu beradaptasi menghadapi kepunahan.

Kondisi basah yang terus-menerus juga membawa tantangan. Banjir yang meluas dan erosi tanah menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem lama. Beberapa spesies tumbuhan mengalami kesulitan bertahan di tanah yang terlalu jenuh air, sementara predator darat harus beradaptasi dengan lanskap yang berubah menjadi lahan basah. Perubahan vegetasi juga berdampak pada herbivora dan seluruh rantai makanan.

  • Perubahan Ekosistem Laut

Perubahan besar juga terjadi di lautan. Aliran air tawar yang besar dari daratan ke lautan menyebabkan penurunan salinitas di beberapa wilayah. Selain itu, peningkatan CO₂ di atmosfer menyebabkan asidifikasi laut. Kondisi ini memengaruhi kehidupan laut, terutama bagi spesies yang bergantung pada tingkat salinitas dan pH tertentu, seperti karang dan moluska. Di sisi lain, kondisi ini menciptakan peluang bagi spesies baru untuk berkembang, menciptakan dinamika baru dalam rantai makanan laut.

  • Pola Hidrologi yang Berubah

Curah hujan tinggi dalam jangka panjang membentuk pola hidrologi baru yang bertahan selama jutaan tahun. Sungai besar terbentuk, membawa sedimen yang menyuburkan delta dan pesisir. Danau-danau besar muncul di wilayah yang sebelumnya kering. Kondisi ini memicu diversifikasi spesies air tawar, karena organisme beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda, mendorong evolusi dan meningkatkan keanekaragaman hayati.

Baca juga: Bumi Pernah ‘Menelan’ Seluruh Samudranya di Masa lalu. Akankah Terulang Lagi?

Evolusi Kehidupan: Kepunahan dan Kebangkitan

Peristiwa Pluvial Karnia memainkan peran penting dalam mendorong evolusi kehidupan. Perubahan lingkungan yang drastis memicu kepunahan massal, menyebabkan hilangnya banyak spesies laut dan darat, termasuk beberapa kelompok reptil. Namun, di tengah kehancuran, tercipta pula peluang baru.

Dengan terciptanya habitat baru, banyak spesies mulai beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Salah satu kelompok yang mendapatkan keuntungan besar dari peristiwa ini adalah dinosaurus. Meskipun dinosaurus sudah ada sebelum Peristiwa Pluvial Karnia, perubahan lingkungan memberikan mereka peluang untuk berdiversifikasi dan berkembang pesat. Dalam beberapa juta tahun setelah peristiwa ini, dinosaurus menjadi kelompok hewan yang semakin mendominasi ekosistem daratan, meskipun dominasi penuh mereka baru terjadi pada periode Jura.

Hujan 1 juta tahun, pemicu munculnya dinosaurus? | Sumber Nature.com

Peristiwa Pluvial Karnia tidak hanya membuka jalan bagi dinosaurus, tetapi juga bagi berbagai kelompok hewan lain yang mampu beradaptasi dengan lingkungan basah yang baru. Amfibi raksasa, seperti Mastodonsaurus yang mencapai ukuran mobil, menjelajahi rawa-rawa dan danau yang luas. Kondisi lembap sangat ideal bagi amfibi, yang membutuhkan air untuk berkembang biak dan menjaga kelembapan kulit mereka. Kelimpahan makanan dan habitat yang sesuai memungkinkan amfibi raksasa untuk tumbuh dan berkembang biak, mendominasi ekosistem air tawar.

Di lautan, reptil laut seperti ichthyosaurus dan plesiosaurus juga mengalami diversifikasi. Meskipun perubahan salinitas dan asidifikasi laut menyebabkan kepunahan bagi beberapa spesies laut, reptil laut yang adaptif mampu mengeksploitasi niche ekologis yang baru. Mereka berkembang menjadi predator puncak di lautan, memburu ikan, cephalopoda, dan mungkin bahkan reptil laut lainnya. Peristiwa Pluvial Karnia, dengan segala perubahan dramatisnya, menciptakan peluang evolusi bagi berbagai kelompok hewan, menghasilkan keanekaragaman hayati yang menakjubkan di darat dan di laut. 

Studi ini dipublikasikan dalam jurnal Nature

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|