- Para peneliti memaparkan berbagai pendekatan agar perkebunan sawit tak memandang orangutan sebagai hama, bahkan, perlu dorong ada koridor satwa, seperti orangutan hingga mereka bisa tertahan di tengah perubahan habitat. Demikian antara lain pemaparan dalam sejumlah sesi konferensi internasional tentang sawit dan lingkungan (ICOPE) di Sanur, Denpasar, Februari lalu.
- Marc Ancrenaz, Sabah Wildlife Departement dan Borneo Futures, mengatakan, lorong satwa ini bagus untuk orangutan karena kalau masuk kebun mereka perlu pohon. Mereka tak bisa bertahan lama kalau hanya ada sawit. Karena itu, harus mengalokasikan koridor yang menghubungkan dua kawasan lindung dan kebun.
- Dari sejumlah studi, orangutan bisa bertahan hidup ketika mulai bergerak di perkebunan. Ketika orangutan mulai bergerak ke perkebunan sawit, mereka jadi orang sawit. Perilaku inilah yang mereka teliti, bagaimana orangutan bergerak, apa yang dilakukan di perkebunan, dan apa yang harus disiapkan untuk memastikan orangutan tidak jadi hama.
- Backy Heath dari University of Cambridge meneliti, pengelolaan sistem sempadan sungai atau reparian. Alasannya, pada titik keanekaragaman hayati, ada banyak satwa bergantung pada sistem air karena itu perlu mempertahankan itu di kebun. Di pinggiran sungai ada habitat alami, namun sering hilang karena erosi. Ia juga koridor penyangga bagi satwa liar.
Para peneliti memaparkan berbagai pendekatan agar perkebunan sawit tak memandang orangutan sebagai hama, bahkan, perlu dorong ada koridor satwa, seperti orangutan hingga mereka bisa tertahan di tengah perubahan habitat. Demikian antara lain pemaparan dalam sejumlah sesi konferensi internasional tentang sawit dan lingkungan (ICOPE ) di Sanur, Denpasar, Februari lalu.
Marc Ancrenaz, Sabah Wildlife Departement dan Borneo Futures memaparkan beberapa hasil riset bagaimana orangutan bisa hidup di dalam kebun sawit. Perkebunan intensif dinilai berkontribusi pada penurunan spesies endemik.
Dia menjelaskan orangutan adalah spesies penting dalam lanskap sawit. Di Indonesia, ada tiga jenis orangutan, dua di Sumatera, dan satu Kalimantan dengan status terancam punah antara lain karena deforestasi.
“Saat ini, [habitat orangutan] terfegrementasi dan [orangutan] mengalami perburuan, jumlahnya menurun. Apakah spesies ini bisa beradaptasi di hutan terdegradasi atau hutan sekunder?” katanya.
Dari sejumlah studi, orangutan bisa bertahan hidup ketika mulai bergerak di perkebunan. Ketika orangutan mulai bergerak ke perkebunan sawit, kata Ancrenaz, mereka jadi orang sawit.
Perilaku inilah yang mereka teliti, bagaimana orangutan bergerak, apa yang dilakukan di perkebunan, dan apa yang harus disiapkan untuk memastikan orangutan tidak jadi hama.
“Kalau orangutan masuk kebun sawit satu ke kebun sawit lain, mereka lebih terestrial, kalau pasang kamera pengintai mereka terlihat menyeberangi perkebunan. Kalau lihat sawit mereka lihat makanan, makan pelepah muda.”
Padahal, katanya, gangguan orangutan minimum, kerusakan di kebun produktif sangat minimum. “Manusia malah merasa marah kalau perkebunan sawit muda seperti dirusak orangutan.”
Dia menunjukkan gambar kebun sawit muda berusia 1-2 tahun, walau disebut alami kerusakan karena orangutana namun mencapai volume produksi sama dengan kebun yang tidak ada orangutan. Perilaku satwa endemik Indonesia ini, katanya, di kebun, membangun sarang dari pelepah sawit. Hal ini makin banyak terlihat di Kalimantan.
Bahkan, katanya, saat satwa merasa aman, mereka bisa membangun sarang di tanah walau aslinya bersarang di atas pohon. “Mungkin di sawit kurang nyaman. Ini hal baru. Menariknya orangutan juga bisa berkembang biak di kebun sawit. Jantan yang bepergian menjelajah luas. Jika punya wilayah kebun, jika betina tidak dibunuh atau terusir, bisa berada di wilayah itu,” katanya.
Dari salah satu observasi menggunakan kamera drone, satu betina sudah tinggal tiga tahun di kebun kecil, dan punya anak. Jantan yang melakukan pergerakan ke lokasi betina. Karena itu, dia nilai sangat penting memastikan lorong satwa liar atau jalur pergerakan ini dilindungi.
Dia mengajak membayangkan kalau ada perkebunan berkelilingi hutan, maka orangutan di tepi kebun akan keluar hutan masuk kebun cari makan, buat sarang, dan kembali ke hutan.
Dari hasil observasi, pergerakan orangutan tak jauh hanya sekitar 5-10 meter. Hanya di tanaman sawit terluar dekat hutan agar betina dapat bergerak, jantan harus melakukan pergerakan, namun perlu tempat istirahat misal, di satu pohon di tengah kebun. Satu pohon pun dia yakini sangat penting bagi orangutan.
Kalau jantan bertemu betina kemungkinan akan kawin. Namun, kalau betina hilang ini akan mengurangi insentif jantan menyeberangi lanskap kebun. Tujuan pergerakan di berbagai lanskap ini dia simpulkan membantu perkembangan genetik orangutan.
“Jika hanya di satu daerah itu saja, tak ada aliran genetik, perlu kantong-kantong betina lain. Kawasan lindung saat ini terfragmentasi, mamalia bisa keluar dari kawasan dilindungi dan masuk perkebunan. Mereka butuh lanskap agar bisa melakukan pergerakan lintas lanskap. Kita juga bisa mempelajari satwa liar lain,” sebut Ancrenaz.
Dia memperkirakan, ada 15% orangutan Kalimantan di kebun sawit, Walau jumlah kecil, mereka bagian penting dari orangutan di alam liar, dengan nilai konservasi sangat penting.
Tantangan lain, katanya, relokasi. Dia menyebut, di Indonesia dalam 20 tahun terakhir lebih 1.000 satwa pindah atau relokasi. Kondisi ini walau niat baik tetapi bukan ide baik karena sebagian besar sehat tidak perlu relokasi. Kalau satwa ditangkap bisa stres, kena penyakit, dan belum tentu selamat pasca translokasi.

Koridor satwa
Untuk itu perlu sistem perlindungan satwa liar dengan koridor satwa. Hal ini, katanya bisa segera terlaksana ketika kebun sawit masuk siklus penanaman baru. Untuk itu, tiap 25 tahun harus penanaman kembali hingga jadi peluang membangun ekosistem lebih tangguh.
“Dalam beberapa tahun ke depan di Kalimantan lebih 300.000 hektar akan replanting, bisa membuat kebun lebih resiliens dan bantu spesies seperti orangutan. Kuncinya buat lanskap yang lebih tangguh.”
Dia contohkan di Malaysia, ada 8 juta hektar kebun mengalokasikan lebih 5% untuk konservasi dengan menanam pohon untuk koridor satwa liar. Difersikasi perkebunan dengan mengintegrasikan tanaman lain.
Menurut Ancrenaz, lorong satwa ini bagus untuk orangutan karena kalau masuk kebun mereka perlu pohon. Mereka tak bisa bertahan lama kalau hanya ada sawit. Karena itu, harus mengalokasikan koridor yang menghubungkan dua kawasan lindung dan kebun.
Dia contohkan, Koridor Keruak tak hanya orangutan, juga gajah, macan tutul, dan primata lain. Menyiapkan jembatan alami juga penting karena orangutan tak bisa berenang.
Ancrenaz menyimpulkan, untuk hidup berdampingan harus memberi pemahaman ke pekerja kebun, anak-anak, dan warga lain sekitar perkebunan.
Kalau satwa merasa aman, katanya, maka agresif berkurang, hingga bisa hidup berdampingan dengan manusia.
“Kita harus melakukan monitoring seperti camera trap, drone thermal untuk memetakan pergerakannya. Menggunakan metode citizen science untuk monitoring, mengelola satwa liar. Tak perlu peralatan canggih, kerja sama dengan pekerja.”
Orangutan, katanya, merupakan satwa tangguh dan tidak berbahaya. “Kalau perusahaan bisa membantu satwa liar, bisa mengubah persepsi. Orangutan harus dianggap aset bukan hama.”

Kelola area penyangga dan sempadan sungai
Strategi konservasi lain, juga Backy Heath dari University of Cambridge paparkan. Eksperimen ini sudah mulai di Sumatera. Menurut dia, perlu lahan luas untuk memenuhi target produksi tetapi ada keterbatasan kalau mendorong sawit sebagai solusi, karena terjadi kompetisi dengan hutan alami dan masuknya bahan kimia ke tanah.
Kondisi ini, katanya, berbahaya untuk satwa. Jadi, harus mencari keseimbangan agar ekosistem berfungsi.
Dia meneliti, pengelolaan sistem sempadan sungai atau reparian. Alasannya, pada titik keanekaragaman hayati, ada banyak satwa bergantung pada sistem air karena itu perlu mempertahankan itu di kebun. Di pinggiran sungai ada habitat alami, namun sering hilang karena erosi. Ia juga koridor penyangga bagi satwa liar.
Heath menjelaskan, ada empat metode berbeda untuk restorasi penyangga. Pertama, biarkan saja sawit lalu menanam spesies tanaman endemik. Kedua, mencabut semua sawit. Ketiga, tidak menanam sama sekali atau restorasi pasif. Keempat, biarkan penyangga.
Karakter yang diukur dari riset ini untuk mengetahui pentingnya daerah penyangga adalah suhu, biomassa, sisa kimia di tanah, serangga, fungsi ekosistem, hasil panen, dan kerusakan pada tanaman.
Dia bilang, proyek percontohan yang sedang berjalan dengan merestorasi kawasan penyangga selebar 50 meter di sepanjang sungai, kerja sama jangka panjang banyak peneliti lintas negara. Hasil sementara, penyangga ini membuat perubahan fisik.
Sebelum pemeliharaan, tak banyak pohon selain sawit. Setelah ada pohon penyangga, ternyata ada pertumbuhan pohon lain.
******