Menyoal Perdagangan Karbon, Tekan Emisi atau Sebaliknya?

1 week ago 18
  • Langkah pemerintah meluncurkan perdagangan internasional unit karbon Indonesia mendapat kritik organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai,  program ini ssebagai olusi palsu dan jauh dari komitmen iklim pengurangan emisi karbon  (dekarbonisasi).
  • Aktivitas perdagangan internasional itu saat peresmian, Senin (20/1/2025), tercatat di angka 48.788 ton CO2e, dengan harga Rp96 ribu untuk Indonesia Technology Based Solution Authorizes (IDTBSA) dan Rp144 ribu untuk Indonesia Technology Based Solution Authorized Renewable Energy (IDTBSA-RE). Namun, hingga 24 Februari 2025, aktivitas perdagangan karbon internasional bergerak lambat, yakni baru di angka 49.545 ton CO2e.
  • Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai, perdagangan karbon sebagai solusi palsu. Menurutnya, aktivitas perdagangan yang rendah menunjukkan minat investor dan perusahaan minim.
  • Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai perdagangan karbon harusnya jadi pilihan terakhir. Yang utama, ialah menurunkan emisi karbon.

Langkah pemerintah meluncurkan perdagangan internasional unit karbon Indonesia mendapat kritik organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai, program ini sebagai solusi palsu dan jauh dari komitmen iklim pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi).

Perdagangan internasional melalui bursa karbon Indonesia (IDXCarbon) ini merupakan turunan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98/2021. Serta, pelaksanaan artikel 6 Perjanjian Paris yang mengatur tentang mekanisme kredit karbon.

Sebanyak 1,78juta ton CO2e unit karbon telah diotorisasi berasal dari pembangkit listrik baru berbahan bakar gas bumi PLTGU Priok blok 4 (595.000  ton CO2e), PLTA Minihidro Gunung Wugul (5.000  ton CO2e), PLTGU PJB Muara Karang blok 3 (750.000 ton CO2e) dan Konversi blok 2 PLN Nusantara Power UP Muara Tawar menjadi Combined Cycle (30.000  ton CO2e).

Aktivitas perdagangan internasional ini saat peresmian, Senin (20/1/25), tercatat di angka 48.788 ton CO2e, dengan harga Rp96.000 untuk Indonesia Technology Based Solution Authorizes (IDTBSA) dan Rp144.000  untuk Indonesia Technology Based Solution Authorized Renewable Energy (IDTBSA-RE). Pemantauan sampai 24 Februari 2025, aktivitas bergerak lambat, baru di angka 49.545 ton CO2e.

Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai, aktivitas perdagangan rendah menunjukkan minat investor dan perusahaan minim.

Sistem perdagangan karbon di Indonesia dengan luar negeri pun berbeda. Misal, sistem perdagangan emisi Uni Eropa (European Union Trading System/ EU ETS), berdasarkan pada prinsip cap and trade, mengacu batas emisi dari total gas rumah kaca (GRK) yang bisa terlihat dari  instansi atau perusahaan. Batasan itu  dalam alokasi emisi yang dapat diperdagangkan atau simpan untuk masa mendatang.

Sedangkan di Indonesia, dagang karbon sebagai aset, sesuai kriteria proyek yang pemerintah tetapkan. Konsep ini disebut spekulatif karena nilai tidak mencerminkan unit perdagangan karbon, dan berpotensi terjadi penggelembungan nilai.

“Beberapa skandal pasar karbon di negara lain menunjukkan bahwa perusahaan membeli unit ini sekadar greenwashing. Dan ‘koboi’ karbon mendapat manfaat paling banyak dengan sertifikasi unit di lahan yang fiktif,” katanya.

Perbedaan sistem itu, akan memengaruhi minat perusahaan-perusahaan luar negeri. Karena, unit karbon yang mereka bayarkan di Indonesia tidak akan tercatat, terutama di Eropa.

Belum lagi, EU ETS telah menjangkau 27 sektor industri, sedang Indonesia baru fokus pada sektor energi. Kemudian, sejak 2021, Uni Eropa telah membatasi perdagangan karbon di luar kawasan, termasuk Indonesia.

Bhima bilang, daya tarik pasar rendah juga terpengaruh karena belum ada pajak karbon sebagai komitmen dekarbonisasi di dalam negeri. “Pemberlakuan pajak karbon mendesak sebagai bentuk kebijakan fiskal yang menjamin percepatan dekarbonisasi sektor ekonomi.”

Pemerintah, harus fokus meningkatkan bauran energi terbarukan. Sementara, perusahaan-perusahaan penghasil emisi diminta untuk lebih cepat dan konsisten mengurangi emisi karbon.

“Bursa karbon merupakan solusi palsu, karena menganggap emisi karbon yang dikeluarkan perusahaan, khususnya PLTU batubara dan migas, sama dengan unit karbon yang dibeli di bursa.”

Perdagangan Karbon Internasional pada 20 Januari 2025. Foto Themmy Doaly / Mongabay Indonesia

Masalah tata kelola

Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai perdagangan karbon harusnya jadi pilihan terakhir. Paling utama, katanya, menurunkan emisi karbon.

Semestinya, pemerintah terlebih dahulu membuat target penurunan emisi  pada pihak-pihak penghasil emisi. Makin ambisius target dan upaya dekarbonisasi, katanya, akan makin meningkatkan minat pasar. 

“Saran saya, lakukan penurunan emisi dengan ambisius. Itu yang  dilakukan EU ETS. Jadi yang dijual adalah ekses setelah penurunan emisi dilakukan.”

Dia menilai, sertifikat penurunan emisi yang tidak sinkron dengan ketentuan internasional membuat perdagangan lesu. Hal ini makin kuat  dengan masalah tata kelola perdagangan karbon di Indonesia.

Tawaran proyek di bursa ini, katanya, banyak dari pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU)  bersumber dari energi fosil. Belum lagi, tidak ada additionality (proyek lain untuk kurangi emisi), membuat sertifikat penurunan emisi gas rumah kaca (SPE-GRK) jadi tidak menarik bagi pembeli internasional.

“Keraguan pasar juga karena keterlibatan PLN, sebagai penjual terbesar di bursa karbon yang masih punya tanggung jawab untuk turunkan emisi.”

Pasar karbon di Indonesia, katanya, tidak terhubung dengan target penurunan emisi GRK di NDC. Selain itu, sampai saat ini tidak ada ketentuan yang mengharuskan pelaku perdagangan karbon di Indonesia untuk kurangi emisi.

“Sekarang siapa perusahaan yang diminta atau wajib turunkan emisi pada tenggat tertentu? PLN, Pertamina, perusahaan pembangkit swasta, industri, tidak ada kewajiban (turunkan emisi). Kalau begitu gimana terbentuk pasarnya?”

Rere Christanto, Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), mengatakan, tidak adanya tekanan pada perusahaan penghasil emisi jadi problem serius. Hal ini akan memicu proyek-proyek energi fosil terus berlangsung atas nama perdagangan karbon.

Pasalnya, mekanisme offset memungkinkan perusahaan-perusahaan penyebab krisis iklim ‘menukar’ aktivitas destruktif mereka dengan pembiayaan lingkungan. Sedangkan, tidak ada jaminan proyek-proyek itu mampu bertahan lama dan menyerap emisi seperti yang dijanjikan.

“Semua itu akrobat dari upaya untuk selesaikan problem sesungguhnya. Harusnya perusahaan-perusahaan ini tidak lagi keluarkan emisi, tidak ekstraksi sumber daya alam yang hasilkan emisi.” 

Baginya, perdagangan karbon jadi semacam upaya menghindari penurunan emisi yang jadi problem utama krisis iklim. Juga, tindakan mengalihkan tanggung jawab negara-negara maju pada negara-negara berkembang.

“Kemudian dipaksa transisi, tapi pendanaan tidak memadai. Negara berkembang disuruh jaga hutan supaya lestari, tetapi dalam sisi lain dipaksa untuk kembangkan ekonomi ekstraktif.”

Menurut dia, alih-alih perdagangan karbon, para pihak harusnya memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang berkonflik dengan industri ekstraktif atau yang terdampak krisis iklim. Caranya, memaksa negara-negara maju menurunkan emisinya.

Langkah penting?

Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup, dalam peluncuran perdagangan karbon internasional, berharap,  sektor penyebab emisi segera selesaikan kewajiban menetapkan batas emisi dan berupaya signifikan menurunkan emisi. Dia juga mendesak, sektor-sektor yang menjadi melepas emisi, berhati-hati dalam pelaksanaan di lapangan. 

Dia akan dorong Menteri Keuangan cermati dan pertimbangkan pengenaan pajak karbon, yang penting dalam membangun kepercayaan pasar. Soalnya, di Indonesia investasi dominan internasional.

“Pajak ini penting untuk mengingatkan bahwa mereka (perusahaan-perusahaan internasional) harus jadi salah satu pengakselerasi perdagangan karbon kita.”

PLTU di kawasan industri nikel di Halmahera, Maluku Utara. Foto: Rabul Sawal/Mongabay Indonesia

*****

Koalisi Masyarakat Sipil Ragukan Inisiatif Dekarbonisasi AZEC

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|