- Masyarakat Kasepuhan Jamrut, Desa Wangunjaya, Kecamatan Cigemblong, Kabupaten Lebak, Banten, tetap mempertahankan kearifan bertani mereka dengan menggunakan padi lokal.
- Masyarakat Jamrut masih memegang teguh sistem kasepuhan bertani, menjalankan ritual adat seperti asup leuweng, mapag pare beukah, dan seren taun.
- Di Kabupaten Lebak terdapat sembilan varietas benih padi lokal bersertifikat nasional, yang diterbitkan Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP). Varietas ini meliputi pare bunar, padi caok, padi gadok, padi beureum batu, padi sengkeu, padi konjal, padi tambleng, padi sereh kanekes, dan padi sereh kerta.
- Sebagai upaya konservasi, AB2TI telah mengumpulkan dan mengidentifikasi sekitar 600 varietas benih lokal, yang 500 jenis adalah padi.
Sayunah tengah merapikan bulir-bulir padi yang telah diikat di rumahnya. Gabah kering yang masih menempel di tangkai itu, bukan hanya dijadikan sebagai persediaan pangan tetapi juga sebagai bibit.
“Kalau sudah waktunya akan ditanam di ladang,” ucap perempuan yang bermukim di Kasepuhan Jamrut, Desa Wangunjaya, Kecamatan Cigemblong, Kabupaten Lebak, Banten, pertengahan Maret 2025 lalu.
Perempuan 55 tahun ini selalu mengandalkan bibit padi hasil panen, praktik yang telah dijalankan turun-temurun. Dia juga bertani alami, tidak bergantung pupuk kimia, yang diyakini hasilnya lebih dari cukup untuk kebutuhan keluarga.
“Saya tidak pernah beli dari luar, hasil tanam sendiri.”
Ramedi, petani setempat juga mengatakan, dirinya tetap mempertahankan bibit padi lokal warisan leluhurnya. Dia tidak tergoda menggunakan benih hasil persilangan atau hibrida.
Bibit lokal tahan penyakit dan tidak mudah tumbang. Tidak hanya di sawah, padi lokal juga adaptif ditanam di sela tanaman keras dan sesuai konturnya di pegunungan.
“Satu ikat bibit padi bisa hasilkan sekitar satu karung pare (gabah),” ujarnya.
Baca: Ngelaboh Pun, Kearifan Masyarakat Dayak Iban Melestarikan Varietas Padi Lokal

Keragaman varietas padi lokal
Mayoritas masyarakat Kasepuhan Jamrut berprofesi sebagai petani dengan total lahan garapan 60 hektar. Dulman, mantri tani setempat, mengatakan masyarakat tetap mempertahankan benih lokal seperti padi ungu, cere belut, dan merah putih.
“Kami ingin memperbanyak bibit lokal,” katanya.
Di Kabupaten Lebak terdapat sembilan varietas benih padi lokal bersertifikat nasional, yang diterbitkan Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP). Varietas ini meliputi pare bunar, padi caok, padi gadok, padi beureum batu, padi sengkeu, padi konjal, padi tambleng, padi sereh kanekes, dan padi sereh kerta.
Dwi Andreas Santoso, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), menjelaskan Indonesia sebagai negara agraris mempunyai kekayaan varietas benih lokal yang selalu diwariskan. Namun, moderenisasi pertanian telah menyebabkan banyak varietas lokal terpinggirkan.
“Sayangnya, upaya sistematis pemerintah menjaga genetik ini masih minim, sehingga ribuan varietas benih lokal lenyap,” ungkap Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Senin (17/3/2025).
Sebagai upaya konservasi, AB2TI telah mengumpulkan dan mengidentifikasi sekitar 600 varietas benih lokal, yang 500 jenis adalah padi.
Program ini dilakukan dengan mengembangkan bank benih komunitas, mendampingi petani dalam pembiakan benih mandiri, serta mengadvokasi kebijakan agar benih lokal tetap diakui dan didukung pemerintah.
“Di komunitas adat seperti Kasepuhan Banten dan Sedulur Sikep di Pati, benih lokal menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bertani.”
Satu keunggulan benih lokal yang sering diabaikan adalah ketahanannya terhadap perubahan iklim. Ini dikarenakan telah beradaptasi dengan lingkungan setempat selama ratusan tahun, sehingga lebih tahan terhadap kondisi ekstrem dibandingkan varietas unggul baru.
“Dalam beberapa uji coba di lahan food estate, varietas baru sering gagal,” jelasnya.
Baca juga: Kedaulatan Pangan, Misi yang Belum Menyentuh Harkat Petani

Menjaga tradisi adat
Dulman menambahkan, dalam tradisi kasepuhan, padi merupakan hasil bumi terpenting, sehingga perlakuannya sangat dimuliakan.
“Setiap tahun masih diadakan rangkaian proses bertani,”
Kegiatan dimulai dari tradisi asup leuweng atau memohon kepada pencipta agar padi tidak diganggu hal gaib. Lalu melak pare (setelah padi ditanam), ngubaran pare (mengobati padi), mapag pare beukah (padi mulai berbunga), rasul mapit (memasukkan padi ke lumbung), nganyaran, dan seren taun (bentuk rasa syukur).
Setiap panen setahun sekali, mereka juga wajib menyimpan gabah di rumah-rumah leuit atau lumbung padi untuk cadangan keluarga. Di kampung ini, tercatat sebanyak 174 unit rumah leuit, yang masing-masing mempunyai kapasitas penyimpanan gabah 2 ton.
Leuit, yang terbuat dari bambu dan kayu, tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan, tetapi menjadi simbol kedauatan pangan masyarakat.
Selain itu, masih terdapat gabah yang dijadikan cadangan pangan.
“Bahkan ada yang sudah berusia lebih 30 tahun,” jelasnya.

Jaro Maman, Kepala Desa Wangunjaya, sebelumnya mengungkapkan bahwa ada beberapa wilayah yang dianggap sakral dan memiliki nilai budaya tinggi oleh masyarakat Kasepuhan Jamrut. Sebut saja, hutan Pondok Tondo, Gunung Batu Putih, dan Gunung Rahong.
Luas Wangunjaya sendiri sekitar 2.800 hektar. Dari luas tersebut, sekitar 733 hektar dikelola Perum Perhutani, 356 hektar PT Pertiwi Lestari, dan sisanya kawasan TNGHS.
“Rata-rata masyarakat Wangunjaya termasuk Kasepuhan Jamrut, bekerja sebagai petani. Persentasenya sekitar 80 persen, dengan produk utama beras dan gula aren. Selebihnya adalah pedagang,” paparnya.
Akses Terbatas, Masyarakat Kasepuhan Jamrut Tuntut Pengakuan Wilayah Adat