- Di Kota Ambon, Ibu Kota Maluku, dan Kota Ternate, Maluku Utara, kue asida menjadi primadona takjil atau makanan berbuka puasa setiap tahunnya.
- Meski banyak digemari di Maluku dan Maluku Utara, namun kue asida ditemukan juga di daerah lain Indonesia, terutama yang bersentuhan dengan kebudayaan Arab dan Melayu.
- Asida diyakini berasal dari Timur Tengah, dengan nama asli “Asidah” dalam Bahasa Arab. Hidangan ini dibawa para saudagar Arab yang berlayar ke Nusantara dalam rangka berdagang sekaligus menyebarkan Islam.
- Keberadaan asida di wilayah pesisir seperti Maluku, Maluku Utara, dan Riau menunjukkan betapa pentingnya peran jalur laut dalam penyebaran budaya dan tradisi. Peradaban maritim yang kuat di Nusantara memungkinkan terjadinya pertukaran budaya yang luas, termasuk hal kuliner.
Bulan Ramadan selalu menghadirkan keistimewaan, termasuk dalam hal kuliner. Di Kota Ambon, Ibu Kota Maluku, dan Kota Ternate, Maluku Utara, kue asida menjadi primadona takjil atau makanan berbuka puasa setiap tahunnya.
Di pekan pertama Ramadan 1446 Hijriah di Kota Ambon, misalkan, para pedagang takjil mengakui kue bertekstur lembut dan manis ini paling banyak diminati warga.
“Persediaan 80 bungkus habis terjual,” kata Suhessy Salman, pedagang takjil di Kota Ambon, dikutip dari Tribun Ambon, awal Maret 2025.
Meski banyak digemari di Maluku dan Maluku Utara, asida ditemukan juga di berbagai daerah Indonesia. Terutama, wilayah yang bersentuhan dengan kebudayaan Arab dan Melayu.
Bahkan pada 2023, Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, bersama masyarakat menyajikan 5.403 kue asida sebagai hidangan berbuka puasa sunah 10 Muharam. Jumlah ini masuk rekor MURI.
Dalam sejarahnya, asida memang disuguhkan untuk para raja di Indragiri, serta hanya muncul pada momen tertentu. Sebut saja kenduri adat, tunangan, hari raya keagamaan, syukuran, hingga prosesi mengantarkan kue ketika sepasang masyarakat Riau hendak menikah.
Baca: Kebun Cengkih dan Jalur Rempah Nusantara di Pulau Nangka

Jejak peradaban maritim
Keberadaan asida di wilayah pesisir seperti Maluku, Maluku Utara, dan Riau menunjukkan betapa pentingnya peran jalur laut dalam penyebaran budaya dan tradisi. Peradaban maritim yang kuat di Nusantara, memungkinkan terjadinya pertukaran budaya yang luas, termasuk kuliner.
Asida diyakini berasal dari Timur Tengah, dengan nama asli “Asidah” dari Bahasa Arab. Hidangan ini dibawa para saudagar Arab yang berlayar ke Nusantara dalam rangka berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Melalui interaksi intensif, terjadi akulturasi budaya yang menghasilkan variasi asida sesuai cita rasa dan bahan-bahan lokal.
Hal ini juga dijelaskan dalam buku “Seri Pusaka Cita Rasa Indonesia: Ragam Kudapan Maluku, Sulawesi, Kalimantan” yang ditulis Murdjiati-Gardjito, Umar Santoso, Eni Harmayani (2023). Jejaknya sampai di Ambon sekitar abad ke-14, dibawa para saudagar Arab yang berlayar mengikuti jalur perdagangan rempah. Saat itu, Maluku dikenal dengan sebutan Jazirata Al Mulk, atau Negeri Para Raja, yang menjadi pusat perdagangan rempah dunia.
Di negara asalnya, asida biasanya disantap dengan dicocol madu atau minyak samin. Namun, masyarakat Ambon telah mengadaptasi resep ini dengan mengganti samin dengan mentega, menciptakan cita rasa khas. Sebagai pelengkap rasa, asida ditaburi gula halus yang dicampur bubuk kayu manis dan kapulaga.
Kini, variasi asida berkembang. Ada asida kentang, terbuat dari kentang rebus yang dihaluskan. Hidangan ini disajikan dengan minyak samin dan air gula sebagai pendamping, serta secangkir teh hangat untuk menambah kenikmatan.
“Asal usul asida dapat ditelusuri hingga ke Arab. Kudapan ini sering dikonsumsi sebagai sarapan atau makan malam. Pembuatannya sederhana, hanya dari adonan tepung terigu dan gula, membuatnya populer di kalangan warga Arab dan Afrika Utara,” ungkap para penulis.
Baca: Mengingat Kejayaan Maritim Nusantara dari Jejak Perdagangan Rempah Global

Sejarawan makanan Mediterania, Clifford Wright, menulis tentang catatan awal proses pembuatan asida di wilayah Maghrib. Menurutnya, asida dikenal di Rif, wilayah pegunungan di sepanjang pantai Mediterania Maroko, selama abad ke-13 dan 14. Pada masa itu, asida dibuat menggunakan tepung jelai yang dipanggang ringan.
Penjelajah Arab terkenal, Hasan al-Wazan (Leo Africanus), memberikan resep pembuatan asida yang menggunakan rebusan air dalam panci besar dan tepung jelai. Bubur yang dihasilkan itu dituangkan ke piring, dan bagian tengahnya dibuat cekungan kecil untuk diisi minyak biji argan.
Beberapa catatan sejarah menunjukkan, asida berasal dari suku-suku Badui di Afrika Utara, sekitar tahun 1465-1550 Masehi. Resepnya dilaporkan dalam buku abad ke-10, Kitab al-Ṭabīḫ yang ditulis Ibnu Sayyar al Warraq. Warraq, yang berasal dari Bagdad, telah menyusun sebuah buku masak yang berisi lebih dari 600 resep.
Baca: Mengapa Kapulaga Dijuluki Ratunya Rempah?

Ragam asida di Timur Tengah
Asida berbeda di setiap negara, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Timur Tengah yang memiliki banyak bentuk dan variasi. Kesamaannya adalah bahan dasarnya, hidangan yang terbuat dari tepung dan air, dan secara tradisional dimakan dengan dua jari. Asida disuguhkan sebagai hidangan di momen-momen seperti Ramadan, Idul Fitri, hingga Maulid Nabi.
Di Arab Saudi, asida disebut sebagai hidangan penutup Lebaran Idul Fitri. Di Uni Emirat Arab (UEA), asida bukan sekadar hidangan manisan, tetapi juga simbol kehangatan dan kebersamaan, terutama saat Ramadan. Sentuhan kurma atau madu sering ditambahkan, yang memberikan nuansa manis alami asida.
Di Sudan, Afrika Utara, yang sering disebut bagian timur tengah, asida menjadi bagian hidangan tradisional mereka. Asida sering dimakan bersama mullah, yaitu hidangan berkuah seperti semur tagalia sehingga disebut asida khas Sudan. Pada dasarnya resep asida mirip dengan hidangan adonan kental lainnya di seluruh Afrika. Namun di Sudan, Asida biasanya dibuat menggunakan tepung sorgum atau tepung millet.
Bagi mereka, asida berfungsi sebagai sumber karbohidrat mengenyangkan, yang disajikan bersama hidangan berkuah kaya nutrisi.