Apakah Kelimpahan Tuna di Luar Meningkat dengan Adanya Kawasan Lindung Laut?

1 week ago 14
  • Sebuah studi terbaru menunjukkan MPA  atau Marine Protected Areas berskala besar yang melarang penangkapan ikan memberikan manfaat “spillover” (‘kelimpahan ikan keluar kawasan’).
  • Studi menunjukkan bahwa kapal pukat cincin (purse seiner) yang menangkap lebih banyak tuna per unit upaya penangkapan dalam jarak 100 mil laut di sekitar MPA dibandingkan jika MPA tersebut tidak ada.
  • Temuan ini dapat memperkuat argumen untuk membangun MPA skala besar, yang mungkin akan dibahas setelah perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Laut Lepas (High Seas Treaty), dalam beberapa tahun mendatang.
  • Meski demikian beberapa ahli ahli tetap memperdebatkan sejauh mana keefektifan MPA yang ditutup untuk industri penangkapan ikan dapat meningkatkan kelimpahan populasi ikan di luar batas wilayah itu.

Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Science menunjukkan bahwa kawasan laut yang dilindungi atau MPA (marine protected areas) skala besar telah berhasil meningkatkan ikan dan biota laut.

Kepadatan ikan yang berasal dari hasil berpijahnya, lalu menimbulkan fenomena kelimpahan keluar atau spillover membuat ikan dan biota berpindah dari MPA ke non MPA di sekitarnya.

Lalu bagaimana dengan tuna, — salah satu komoditas perikanan penting dunia, berapa banyak tuna yang “melimpah keluar” dari MPA sehingga dapat ditangkap di laut sekitarnya?

Studi ini menemukan bahwa kapal pukat cincin (purse seiner) bisa menangkap 12-18% lebih banyak tuna per unit upaya penangkapan (catch per unit of effort/CPUE) dalam jarak 100 mil laut (185 kilometer) di sekitar MPA besar, dibandingkan apabila area tersebut tidak ditutup untuk MPA.

“Ada argumen yang mengatakan [pembentukan] kawasan lindung kurang efektif dibandingkan bentuk pengelolaan perikanan lainnya,” kata John Lynham, ahli ekonomi kelautan di University of Hawai‘i di Mānoa yang ikut menulis studi tersebut, kepada Mongabay.

Dalam jurnal penelitian baru ini, Lynham dan Villaseñor-Derbez, yang sekarang berbasis di University of Miami, memperingatkan bahwa bukti spillover secara statistik berasal dari tiga MPA di Samudra Pasifik yang memiliki data CPUE yang kuat.

“Hasil temuan penelitian kami memberikan bukti yang mendukung agar suatu hari nanti kita bisa mengembangkan MPA besar di laut lepas.”

Negara-negara di dunia saat ini sedang mendorong perluasan MPA tidak hanya di perairan nasional masing-masing, tetapi juga di perairan internasional setelah Perjanjian Laut Lepas 2023 (High Seas Treaty) mulai berlaku.

Upaya ini didorong oleh perjanjian tahun 2022 yang berupaya meningkatkan cakupan MPA hingga 30% dari permukaan lautan pada tahun 2030 yang dikenal sebagai “30×30”.

Meski akan banyak ditentang oleh industri perikanan dalam jangka pendek, Lynham yakin bahwa hasil penelitian mereka akan membantu pelaku industri untuk mendapat situasi yang saling menguntungkan (win-win solustion), dalam jangka panjang dengan pengembangan MPA skala besar.

Kelimpahan Ikan di MPA dan Kawasan Sekitarnya

Beberapa dekade terakhir telah terjadi peningkatan pembentukan MPA di seluruh dunia, dengan beberapa diantaranya ditutup total untuk penangkapan ikan. Dampak penutupan tersebut terhadap kelimpahan spesies laut dan perikanan komersial di luar batas MPA kemudian lalu banyak dikaji oleh para peneliti.

Sebuah meta-analisis tahun 2016 dalam Journal for Nature Conservation menyimpulkan bahwa sebagian besar studi menunjukkan manfaat spillover. Meta-analisis lain tahun 2020 oleh beberapa penulis penelitian yang sama, yang diterbitkan dalam jurnal Fish and Fisheries, juga menemukan bukti spillover.

Pada tahun 2022, Lynham ikut menulis studi dalam Science yang menemukan manfaat spillover untuk tuna mata besar (bigeye) dan tuna sirip kuning (yellowfin) setelah perluasan Papahānaumokuākea Marine National Monument pada tahun 2016, di Hawai‘i, yang merupakan MPA terbesar di dunia. Luasnya lebih dari dua kali ukuran Pulau Sumatera dan Jawa jika digabungkan.

Studi terbaru Lynham dan Juan Carlos Villaseñor-Derbez, seorang ilmuwan kelautan yang saat itu berada di Stanford University, menganalisis cakupan yang lebih luas dibandingkan studi tahun 2022 sebelumnya. Kajiannya membahas spillover di enam MPA besar yang memiliki zona larang tangkap (no-fishing zones) berkelanjutan dengan luas lebih dari 100.000 km2.

Para penulis menggunakan data tangkapan, untuk membandingkan CPUE selama sepuluh tahun sebelum dan setelah pembentukan MPA larang tangkap di dua zona yang berbeda: area “dekat” 0-100 mil laut (0-185 km) dari batas MPA dan area “jauh” 100-200 mil laut (185-370 km).

Hasilnya penulis menemukan peningkatan rata-rata 12% dalam CPUE, dibandingkan jika MPA tidak ada, dalam satu dekade pertama setelah penutupan. Mereka memperkirakan peningkatan 18% dalam observasi lanjutan untuk MPA akan terjadi setelah lebih dari satu dekade.

Statistik ini mencakup tangkapan tuna mata besar (Thunnus obesus), tuna sirip kuning (Thunnus albacares), dan cakalang (Katsuwonus pelamis). Dampak terbesar dijumpai untuk tuna mata besar. “Kemungkinan karena spesies itu sebelumnya telah dieksploitasi secara berlebihan dan MPA membantu pemulihannya,” jelas Lynham.

Kapal pukat cincin (purse seiner) yang beroperasi di perairan wilayah NTT. Foto : Wham Wahid Nurdin/ HNSI NTT.

Perdebatan tentang spillover karena MPA

Meskipun temuan Lynham dan Villaseñor-Derbez menyimpulkan manfaat spillover karena MPA, ide larangan total penangkapan ikan di MPA masih menjadi perdebatan sengit.

Sejumlah ilmuwan perikanan lain, seperti Ray Hilborn dari University of Washington, telah meragukan gagasan tersebut, bahkan sebelum studi Lynham dan Villaseñor-Derbez terbit pada bulan Desember.

Hilborn dan rekan penulisnya berargumen dalam sebuah makalah penelitian di jurnal Theoretical Ecology bahwa studi tahun 2022 oleh Lynham dan rekan-rekannya memiliki kelemahan metodologis.

Demikian pula Alexander Caveen, ahli manajemen sumber daya laut di University of Hull di Inggris yang juga turut mengkaji bukti ilmiah tentang MPA dalam risetnya, mengatakan dia menjumpai bahwa studi Lynham tidak membahas faktor alat pengumpul ikan (fish aggregating devices/FADs).

Alat FADs biasa digunakan oleh kapal pukat cincin yang menggunakan struktur terapung untuk menarik ikan tuna agar lebih mudah ditangkap. Alat ini mungkin ditempatkan di luar MPA, sehingga bisa jadi menghasilkan nilai CPUE yang lebih jauh dibandingkan area yang lebih jauh. Hal ini juga turut diungkap oleh Hilborn.

Untuk krtik oleh Hilborn dan rekan penulisnya, Lynham membantah keras alasan ini. Dia menyebut bantahan mereka tidak memiliki dasar yang kuat. Sedangkan untuk FDA, dia dan Villaseñor-Derbez saat ini sedang mempelajari hal ini. Meski demikian dia sebut meski FADs yang berada di luar MPA menarik perhatian para peneliti lain, faktor ini tidak terjadi dalam skala besar.

Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 3 Maret 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

Referensi

Di Lorenzo, M., Claudet, J., & Guidetti, P. (2016). Spillover from marine protected areas to adjacent fisheries has an ecological and a fishery component. Journal for Nature Conservation, 32, 62-66. doi:10.1016/j.jnc.2016.04.004

Di Lorenzo, M., Guidetti, P., Di Franco, A., Calò, A., & Claudet, J. (2020). Assessing spillover from marine protected areas and its drivers: A meta‐analytical approach. Fish and Fisheries, 21(5), 906-915. doi:10.1111/faf.12469

Lynham, J., & Villaseñor-Derbez, J. C. (2024). Evidence of spillover benefits from large-scale marine protected areas to purse Seine fisheries. Science, 386(6727), 1276-1281. doi:10.1126/science.adn1146

Medoff, S., Lynham, J., & Raynor, J. (2022). Spillover benefits from the world’s largest fully protected MPA. Science, 378(6617), 313-316. doi:10.1126/science.abn0098

***

Foto utama: Ikan tuna tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Cerita Kearifan Nelayan Tradisional Morotai Tangkap Tuna

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|