Rakernas AMAN: Setop Kriminalisasi, Sahkan UU Masyarakat Adat

1 week ago 18
  • Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) baru saja mengadakan Rapat Kerja Nasional VIII di Kedang Ipil, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Isu kriminalisasi masyarakat adat jadi salah satu bahasan dalam acara  bertema ‘Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak’ itu.
  • Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN, dalam dialog umum Rakernas menyebut satu dekade terakhir sebagai situasi buruk. Pasalnya, terjadi ribuan kasus kriminalisasi dan hilangnya 11,7 juta hektar wilayah adat.
  • Jhon Balla, Pengurus Dewan AMAN Nasional di Sikka, Nusa Tenggara Timur, jadi korban teranyar kriminalisasi. Keuskupan Maumere, melalui PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), melaporkannya atas tuduhan penyerobotan lahan tanpa izin.
  • Yance Arizona, Pakar Hukum Tata Negara UGM, yang hadir dalam kesempatan tersebut, menyatakan perlu ada perbaikan dari draft RUU MA saat ini. Yang beredar saat ini, katanya, hanya akan menyengsarakan masyarakat adat.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) baru saja mengadakan Rapat Kerja Nasional VIII di Kedang Ipil, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Isu kriminalisasi masyarakat adat jadi salah satu bahasan dalam acara bertema ‘Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak’ itu.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN, dalam dialog umum rakernas mengatakan, satu dekade terakhir sebagai situasi buruk. Pasalnya, terjadi ribuan kasus kriminalisasi dan hilangnya 11,7 juta hektar wilayah adat.

Tahun 2024, terjadi 121 kasus kriminalisasi dan perampasan 2,8 juta hektar wilayah adat yang menimpa 140 komunitas. AMAN memprediksi, kondisi tahun ini akan memburuk, karena tiga bulan pertama, Januari-Maret, sudah terjadi 113 kriminalisasi.

“Bahkan ada dua Dewan Nasional AMAN jadi korban kriminalisasi.”

Kondisi ini, katanya, merupakan pola sejak lama. Kriminalisasi pada masyarakat adat selalu menyasar kepala atau pemimpin gerakan. Tujuannya untuk menahan, melemahkan, bahkan menghilangkan perlawanan masyarakat adat yang mempertahankan wilayah adatnya. 

Rukka bilang, kriminalisasi terhadap masyarakat adat merupakan suatu kesengajaan. Ia sebagai langkah terakhir ketika upaya mereka merampas tanah adat selalu mendapat perlawanan.

Sebelumnya, perampas tanah adat melakukan beberapa cara untuk melanggengkan niat mereka. Pertama, menggunakan aktor lokal untuk memberi pengaruh.

Kedua, menggunakan aktor lokal itu untuk menyebarkan informasi yang misleading dan tidak lengkap. Menyampaikan informasi proyek yang datang ke kampung-kampung adat sebagai proyek yang mendatangkan keuntungan.

“Misalkan (proyek) geothermal. Mereka dijanjikan listrik gratis. Padahal, belum ada kasus masyarakat yang digusur itu mendapat listrik gratis. Juga (proyek) tebu. Dibilang harga gula nanti Rp500 sekilo [gram]. Mana ada. Itu adalah misleading.”

Iring-iringan masyarakat adat di Rakernas AMAN 2025. Foto: Richaldo Hariandja / Mongabay Indonesia

Ketika cara ini tidak berhasil, katanya, maka perusahaan akan mulai aktor-aktor perlawanan yang berpengaruh. Bisa kepala adat, saudara kepala adat, bupati, atau elit. 

Mereka akan mencari lawan sebanding para aktor yang berpengaruh itu untuk melakukan upaya pecah belah. Kalau ini tidak berhasil, maka mulailah cara yang lebih represif dan ujungnya kriminalisasi.

“Kalau situasinya sudah betul-betul tidak terkendali, barulah masuk pada aksi penculikan atau sesuatu yang menghilangkan nyawa. Jadi kriminalisasi tidak berdiri sendiri. Ia ada polanya.”

Jhon Balla, Pengurus Dewan AMAN Nasional di Sikka, Nusa Tenggara Timur, jadi korban teranyar kriminalisasi. Keuskupan Maumere, melalui PT Kristus Raja Maumere (Krisrama), melaporkannya atas tuduhan penyerobotan lahan tanpa izin

Dia menganggap laporan itu upaya pelemahan dalam perjuangan mendampingi masyarakat adat di Sikka yang berusaha mempertahankan tanah adat mereka yang tumpang tindih dengan hak guna usaha. Dia merupakan penasihat hukum masyarakat adat terdampak.

“Kriminalisasi sudah terjadi pada masyarakat. Sekarang aktor intelektualnya pun kena,” katanya saat ditemui di tengah rakernas.

Menurut dia, perkara yang menjadi laporan terjadi pada 2014, sementara SK HGU yang menjadi legal standing pelaporan baru terbit pada 28 Agustus 2023.  Hal ini, katanya, tidak masuk di akal.

“Pada waktu itu tanah yang dilaporkan statusnya masih tanah negara. Jadi, kami akan terus berjuang dan tidak takut akan kriminalisasi ini.”

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, memberikan kata sambutan dalam Rakernas ke-VIII AMAN. Foto: Richaldo Hariandja / Mongabay Indonesia

UU Masyarakat Adat

Rakernas juga menyinggung perlu segera pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat jadi UU. Saat ini, RUU masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).

Belum adanya payung hukum skala nasional kerap jadi landasan kesewenang-wenangan negara dan korporasi terhadap masyarakat adat.

Rukka bilang, pengesahan RUU MA mendesak. Selama ini,  regulasi yang mengatur masyarakat adat terpencar-pencar di kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah.

“Di negeri ini, yang mengatur kepala, perut, kaki, dan tangan masyarakat adat beda-beda.”

Masyarakat adat, katanya, seperti terpotong-potong. Sementara, regulasi yang merusak dan merampas wilayah adat terus bermunculan. 

“Sehingga perampasan wilayah adat yang dilakukan negara terkesan legal, but not legitimate.”

Dia contohkan, UU  Cipta Kerja, menyusul UU  Minerba yang revisi  tak sampai sebulan. Belum lagi dengan pelemahan lembaga negara yang harusnya mencegah kesewenang-wenangan negara, seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi.

Ratusan Masyarakat Adat dari seluruh Nusantara berkumpul di Kedang Ipil, Kalimantan Timur, mengikuti Rakernas AMAN 2025. Foto: Richaldo Hariandja / Mongabay Indonesia.

Dia bilang, ada sekitar 350 perda atau SK bupati yang mengatur dan mengakui masyarakat adat di daerah, tetapi terbelenggu oleh  UU Cipta Kerja. Sedang, penetapan hutan adat baru 332.105 hektar dari lebih 24 juta hektar.

“Lalu sekarang muncul UU Konservasi, dan Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang menyebut karbon itu milik negara. Sehingga hutan kita jaga, tapi karbon dinikmati orang lain,” kata Rukka.

Yurni Sadariah, Dewan AMAN Wilayah Kalimantan Timur juga cerita kondisi masyarakat adat di sana. Dia contohkan, tanah adat Adang di Rangan, Kabupaten Paser, terkena tambang batubara, serta stockpile dan dermaga di hutan mangrove. 

Sejak 2019, mereka sudah mengajukan pengakuan masyarakat adat termasuk wilayah adat di hutan mangrove sekitar 1400-an hektar. 

Sayangnya, proses itu masih belum terang hingga sekarang. Padahal, mereka sudah mengajukan semua persyaratan, mulai dari pemetaan wilayah adat, penyusunan dokumentasi, hingga sejarah kampung.

Sementara, pembabatan wilayah adat terus terjadi. Saat ini,  hutan adat di kawasan mangrove mereka tinggal 500 hektar, setelah terbabat untuk stockpile dan dermaga. 

“Sampai hari ini, kami tidak tahu proses pengajuan kami seperti apa.”

Upacara penyambutan tamu oleh Masyarakat Adat Kutai Lawas, di Rakernas AMAN 2025. Foto: Richaldo Hariandja / Mongabay Indonesia.

Resolusi

Selain dialog umum, Rakernas AMAN juga menghelat diskusi internal yang membahas masalah yang dihadapi dari pengurus wilayah dari Papua hingga Sumatera. Setidaknya, ada 18 poin resolusi yang mereka hasilkan.

Resolusi ini, menjadi pernyataan sikap AMAN terhadap situasi negara yang kerap mengebiri peran masyarakat adat. Tidak hanya desakan pengesahan RUU MA, isu penempatan TNI/Polri untuk eksploitasi wilayah adat pun jadi sorotan di dalam resolusi tersebut.

visualization

*****

Rakernas AMAN: Kuatkan Masyarakat Adat di Tengah Berbagai Ancaman

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|