Para Kartini Pejuang Pesisir Tolak Perampasan Ruang Hidup

1 week ago 18
  • Tiap 21 April, Indonesia peringati sebagai Hari Kartini. Kartini adalah sosok perempuan perjuang melawan tirani, pengekangan dan perampasan hak perempuan.  Semangat Kartini terus hidup dan menginspirasi para perempuan di nusantara ini. Di Rempang, Batam, Kepulauan Riau, para Kartini masa kini berjuang mempertahankan tanah leluhur dan ruang hidup dari upaya perampasan untuk proyek Rempang Eco City (REC).
  • Perjuangan perempuan untuk menolak segala bentuk ketidakadilan bukan hanya terjadi di pesisir Rempang. Di Surabaya, para ibu-ibu menolak rencana reklamasi pulau buatan karena ancam sumber penghidupan mereka. Sementara di Wonogiri, perempuan petani juga menolak rencana pabrik dan tambang semen karena kekhawatiran yang sama.
  • Masnu’ah, aktivis perempuan dan nelayan di Demak katakan, sangat penting bagi perempuan untuk memperkuat dan mengorganisasi diri untuk memastikan hak perempuan terpenuhi. Terlebih lagi, berbagai kebijakan dan program yang dibuat pemerintah acapkali mengabaikan hak perlindungan perempuan. 
  • Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Keadilan Perikanan untuk Rakyat (KIARA) katakan, kartini adalah simbol perlawanan perempuan terhadap patriarki dan ketimpangan yang terjadi. Apalagi, sampai sekarang, akses pada perempuan juga sangat terbatas. 

Tiap 21 April, Indonesia peringati sebagai Hari Kartini. Kartini adalah sosok perempuan perjuang melawan tirani  pengekangan dan perampasan hak perempuan.  Semangat Kartini terus hidup dan menginspirasi para perempuan di nusantara ini. Di Rempang, Batam, Kepulauan Riau, para Kartini masa kini berjuang mempertahankan tanah leluhur dan ruang hidup dari upaya perampasan untuk proyek Rempang Eco City (REC).

Siti Hawa, perempuan Rempang ini satu dari ratusan perempuan terdampak proyek.  Hari Kartini adalah memontum bagi para perempuan untuk makin tegak, menolak segala bentuk penindasan, kesewenang-wenangan dan segala bentuk ketidakadilan. Sepanjang nyawa masih di badan, katanya, perjuangan harus terus berlanjut.

“Perjuangkan Rempang, jangan sampai habis kampung kite sama orang lain. Kita harus bersatu untuk memperjuangkan Rempang,” teriak Nenek Awe, biasa dia disapa saat berorasi dalam acara halal bihalal di pesisir Kampung Pasir Merah, Pulau Rempang belum lama ini.

Bersama dua warga lain, Nenek Awe kini terjerat hukum setelah getol menolak proyek Rempang. 

Perjuangan perempuan  menolak segala bentuk ketidakadilan bukan hanya terjadi di pesisir Rempang. Di Surabaya, para ibu-ibu menolak rencana reklamasi pulau buatan karena ancam sumber penghidupan mereka.  Di Wonogiri, perempuan petani juga menolak rencana pabrik dan tambang semen karena kekhawatiran  sama.

Perempuan di Desa Timbul Seloko, Demak, Jateng membantu proyek bendungan permeable Foto : Een Irawan/Rekam Nusantara

Berorganisasi

Masnu’ah, aktivis perempuan dan nelayan pesisir Demak, Jawa Tengah mengatakan, di banyak tempat, perempuan acapkali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Padahal, mereka menjadi kelompok paling terdampak.  

Sistem patriarki yang begitu kuat di masyarakat menjadikan perempuan kian alami beban berat. Maka, menurut Masnu’ah, sangat penting bagi perempuan memperkuat dan mengorganisasi diri untuk memastikan hak perempuan terpenuhi.

“Kami merajut solidaritas membangun gerakan kolektif perempuan pesisir seluruh Indonesia,” kata perempuan yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) ini kepada Mongabay, Minggu (20/4/25). 

Di Demak, Masnuah intens melakukan kerja-kerja pemberdayaan untuk mempertahankan hak sosial, kesehatan, hingga perlindungan terhadap perempuan pesisir dan nelayan. Termasuk, kepada para perempuan korban kampung tenggelam oleh banjir rob di Kecamatan Sayung. 

Bersama kolega perempuannya, Masnuah  membentuk Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari sejak dua dekade lalu. Inisiatif ini sebagai bagian dari upaya memperkuat perempuan dalam  memperjuangkan hak mereka. Salah satunya, pengakuan perempuan nelayan oleh negara. 

Pelan tetapi pasti, menurut Masnuah, usaha itu mulai membuahkan hasil. Sekitar 31 perempuan nelayan di Demak, kini mendapat KTP dengan status perempuan nelayan. 

Meski status itu terkesan sepele, tetapi, pengakuan itu menjadi pintu masuk untuk menuntut kepada negara agar memberi perlindungan secara penuh kepada mereka. “Harapannya capaian sama juga terjadi untuk seluruh perempuan nelayan di Indonesia ini, butuh satu tahun memperjuangkan itu.”

Selama ini, katanya, berbicara nelayan, orientasi pemerintah lebih fokus pada laki-laki. Padahal, katanya, aktivitas itu tidak hanya  para lelaki,  juga perempuan. Cara pandang itu membuat  pemerintah tidak memiliki data otentik tentang jumlah nelayan perempuan. 

Pendataaan, katanya, juga tidak pernah jlan. Akibatnya, beberapa program  acapkali bias gender dan mengabaikan hak-hak perempuan. “Negara masih absen mendata dan melindungi perempuan nelayan.”  

Dalam konteks perubahan iklim yang berdampak pada sektor kelautan,  misal, tidak ada perspektif untuk melindungi perempuan nelayan. Padahal, ada ribuan perempuan terlibat aktif dalam rantai pasok sektor ini. 

Begitu juga ketika pemerintah memutuskan kembali untuk membuka kran ekspor pasir laut. 

Menurut Masnu’ah, kebijakan itu bisa memicu ekstraktivisme di laut secara massif yang ujungnya menimbulkan kerusakan. “Padahal, ketika laut rusak, dampak itu dirasakan langsung keluarga nelayan, ketika mangrove rusak dan ikan menghilang. Ujungnya, perempuan juga jadi korban.”

Di tengah berbagai dampak itu, Masnu’ah terus mendorong ekonomi nelayan lebih mandiri, sembari tuntutan perlindungan kepada negara tak pernah padam. “Jadi perempuan nelayan juga tidak bergantung kepada program dan fasilitas pemerintah yang sulit didapatkan mereka.”

 Yogi Eka Sahputra/ Mongabay IndonesiaSpanduk protes penolakan pembangunan perumahan rumah contoh untuk warga relokasi yang terdampak proyek Rempang Eco-City di Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

Banyak stigma

Sampai saat ini, banyak stigma perempuan nelayan itu  hanya di dapur, hingga bantuan pun seperti alat memasak dan kompor. Padahal,  perempuan nelayan perlu alat tangkap, asuransi melaut dan lain-lain. “Bayangkan ketika cuaca ekstrem, bantuan sosial pangan saja tidak didapatkan mereka dari pemerintah,” katanya.

Belum lagi bicara perjuangan pendampingan kepada perempuan nelayan yang mendapatkan kekerasan rumah tangga. Hal itu juga dampak dari krisis iklim dan pembangunan ekstraktif. Kurangnya pendapatan para nelayan memicu perempuan nelayan menjadi korban kekerasan rumah tangga.

Setidaknya data  yang mereka himpun,  ada 4.000 perempuan nelayan di Indonesia. Semua, perlu perlindungan karena  kondisi rentan dari berbagai hal.

“Kami juga sudah intervensi KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) agar bisa mendata perempuan nelayan di seluruh Indonesia, dari 2018 sampai sekarang belum ada kabar baik,”katanya.

Sejak itu ke 31 perempuan nelayan itu  sudah mendapatkan asuransi melaut tetapi  hanya bertahan sampai  2021. Ketika COVID  asuransi  berhenti sampai sekarang.

“Untuk fasilitas lain belum sepenuhnya didapatkan perempuan nelayan. Jadi,  masih ada PR (pekerjaan rumah)  besar negara. Melakukan mandat perlindungan nelayan perempuan,” katanya.

Apalagi,  tantangan saat ini, perempuan nelayan menjadi korban konflik antar komunitas, akibat maraknya alat tangkap tidak ramah lingkungan, seperti cantrang.

Begitu juga dampak krisis iklim, perempuan beralih profesi menjadi nelayan karena suami mereka tidak sanggup lagi membayar anak buah kapal. Ssisi lain,  ada juga para petani yang beralih  menjadi nelayan. “Sedangkan di laut krisis iklim membuat hasil tangkapan nelayan jauh berkurang dari 10 tahun lalu.” 

Momentum Hari Kartini ini, Masnu’ah pun mengajak para perempuan di pesisir untuk tidak berdiam diri. Perempuan, katanya, harus terus bergandengan tangan, terus bersuara tatkala ruang hidup dan sumber penghidupan mereka terganggu. 

Ubah cara pikir

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Keadilan Perikanan untuk Rakyat (Kiara) mengatakan, Kartini adalah simbol perlawanan perempuan terhadap patriarki dan ketimpangan. “Bahkan sampai sekarang, akses perempuan terhadap dukungan negara belum menyeluruh,” katanya.

Sedangkan ruang hidup pesisir mereka rusak untuk pembangunan ekstraktif. “Kalau pesisir rusak, perempuan akan menanggung beban berlipat ganda,” katanya.

Susan mengatakan, pembangunan sekarang masih maskulin terhadap perempuan. “Jadi jangan dimaknai Hari Kartini ini hanya dalam bentuk sebatas anak-anak pawai berpakaian kebaya, ada hal lain yang mesti didorong, yaitu ruang hidup yang aman untuk perempuan.”

Apalagi,  sekarang negara tidak terlihat melindungi perempuan nelayan, buktinya sampai sekarang tidak ada data negara soal perempuan nelayan. Padahal,   data itu menjadi awal perlindungan kepada mereka.

“Sekalipun pemimpin berganti. Negara harus berganti pula cara berpikir terhadap perempuan pesisir yang hidup di laut.” 

Sekarang,  perempuan menjadi baris paling depan perjuangan. Karena mereka paling rentan dan berpikir untuk masa depan anak cucu. “Yang paling menanggung dampak mereka. Semua yg menanggung perempuan ada relasi holistik, sehingga perempuan yang mendorong mereka paling depan,” katanya.

*****

Masnuah, Pejuang Perempuan Nelayan dari Demak

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|