- Pemerintah menetapkan tujuh lokasi penambangan pasir laut berkedok pengelolaan sedimentasi, sebagaimana Kepmen KP No 16/2024. Kawasan di pesisir utara pulau Jawa yang trkena penetapan ini meliputi Demak, Jepara dan Pati. Dalam beleid itu, luas pesisir yang akan kena tambang mencapai 574 juta meter persegi dengan potensi volume 1,7 miliar meter kubik. Keputusan itu memantik protes sejumlah pihak.
- Tri Ismuyati dari Komunitas Nelayan Bandungharjo Jepara, Jawa Tengah mengatakan, kondisi pesisir Jepara saat ini belum ada tambang pasir saja sudah memperihatinkan. Dampak ekspoitasi pasir laut sebelumnya belum pulih, nelayan terpaksa beralih kerja, tak sedikit kerja ke luar daerah hingga keluar negeri.
- Masnuah dari Komunitas Perempuan Nelayan Demak mengatakan, kalau pengerukan itu lanjut, air laut kian merangsek lagi ke daratan dan menghancurkan lahan-lahan pertanian warga.
- Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai, dalih pemerintah bahwa pengerukan sedimentasi untuk menanggulangi masalah pelayaran hanya tameng melegalkan ekspor pasir laut.
Pemerintah menetapkan tujuh lokasi penambangan pasir laut berkedok pengelolaan sedimentasi, sebagaimana Kepmen KP No 16/2024. Kawasan di pesisir utara pulau Jawa yang terkena penetapan ini meliputi Demak, Jepara dan Pati. Dalam beleid itu, luas pesisir yang akan kena tambang mencapai 574 juta meter persegi dengan potensi volume 1,7 miliar meter kubik. Keputusan itu memantik protes berbagai kalangan. Mereka khawatir, tambang pasir laut makin memperparah abrasi pesisir Pantura Jawa ini.
Tri Ismuyati dari Komunitas Nelayan Bandungharjo Jepara merasa kehabisan kata-kata melihat kebijakan ini. Pada 2012, dia bersama warga menolak tambang pasir besi CV Guci Mas Nusantara.
“Kayak trauma gitu ya karena kejadian 2012 rasanya masih begitu teringat. Merinding, kayak kesambar petir, ngeri,” katanya belum lama ini.
Saat ini, katanya, kondisi pesisir Jepara sangat memperihatinkan. Sejak 2012, hasil tangkapan ikan nelayan terus turun karena kerusakan ekosistem. Garis pantai juga makin mundur karena abrasi.
Untuk membuktikan, Tri sempat mencatat pendapatan sebagai nelayan perempuan selama sebulan penuh. Hasilnya, selama sebulan melaut dengan libur lima hari, hanya enam kali dia mendapat ikan dengan nilai tak seberapa.
Jadi, puluhan hari dalam sebulan tak mendapatkan tangkapan apa pun. Bahkan, tangkapan ikan layur yang dahulu banyak, sekarang tak pernah dapat.
“Bahkan ada yang pulang gak bawa, (sekedar) buat lauk aja sama sekali gak ada. Nanti setelah terjadi pengerukan seperti apa belum dikeruk aja udah seperti ini,” katanya.
Situasi itu akhirnya memaksa masyarakat pesisir mencari penghidupan lain dengan bekerja ke luar daerah hingga ke luar negeri. Sekali pun usaha itu juga tak mudah.
Saat ini, Tri berupaya mengolah bandeng dan terasi untuk bertahan hidup. Dia masih berharap pemerintah membatalkan kebijakan pengerukan pasir berkedok hasil sedimentasi itu.
“Karena kalau sampai terjadi sudah pasti rusak ekosistem di laut. Nelayan itu penghasilannya dari laut, kalau lautnya rusak terus bagaimana.”
Puluhan tahun menderita
Kegelisahan sama juga dirasakan para nelayan di Demak,Jawa Tengah, sejak Presiden Joko Widodo mengeluarkan PP Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut. Bagaimana tidak, kebijakan itu dibuat saat desa-desa di pesisir Demak kian tergerus oleh air laut.
“Gak bisa membayangkan lagi kalau Demak ditambang dan dikeruk ke mana lagi hidup kami,” ujar Masnuah dari Komunitas Perempuan Nelayan Demak.
Masalah katakan, sudah 20 tahun lebih sebagian masyarakat di pesisir Demak tenggelam oleh air laut. Ia sejak ada pembangunan Pelabuhan Tanjung Mas Semarang yang diperparah jalan tol pada 2022.
“Dalih pemerintah membangun tol untuk menjawab persoalan banjir rob justru memperparah tanah ambles dan kehidupan masyarakat di pesisir,” katanya.
Belum lagi pembangunan industri dan penyedotan air tanah yang membuat land subsidence kian masif.
Karena itu, dia meyakini kalau pengerukan itu lanjut, air laut kian merangsek lagi ke daratan dan menghancurkan lahan-lahan pertanian warga.
Bagi Masnuah, negara tidak melihat kehidupan yang sudah dihancurkan selama 20 tahun lebih. Hingga kini, pemerintah masih abai tak ada penyelamatan dan pemulihan. Masyarakat bertahan sendiri, membangun jalan dan beradaptasi sendiri.
Pada 2023, dia aksi menolak izin ekspor pasir laut. Saat itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan dikabarkan mengambil sampel pasir laut di Demak sebelum kebijakan dibuat. Dia pun menegaskan terus melawan kebijakan yang akan menghancurkan kehidupan di pesisir itu.
Berkedok pengelolaan sedimen
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, konsesi tambang pasir laut di Jateng cukup luas. Dari Demak, Pati hingga Jepara.
Dalih pemerintah bahwa pengerukan sedimentasi untuk menanggulangi masalah pelayaran hanya tameng melegalkan ekspor pasir laut.
“Ini justru akan berdampak pada penurunan laut makin dalam. Itu akan memicu pasir di sekitar alami sliding, longsor. Itu logika dasar,” katanya.
Susan mengatakan, masalah paling penting di Demak saat ini adalah pergerakan air laut. Laporan Mongabay sebelumnya, dalam 20 tahun, Demak kehilangan 2.218 hektar karena terendam air laut.
Sebab itu, keputusan memasukkan Demak dalam peta tambang pasir laut sebagai bentuk ketidakpekaan pemerintah atas potensi dampak yang terjadi.
“Selama ini, Jateng ketika merespon banjir rob adalah dengan membangun tol tetapi tak dengan mitigasi dan adaptasi yang sesuai dengan kebutuhan Masyarakat.”
Saat ini, perempuan nelayan menangis karena tak bisa berbuat banyak atas kerusakan lingkungan tempat mereka tinggal. Mulai dari tanah ambles, hingga air laut yang terus ke daratan.
Saat ini saja, mereka sudah susah menjadi nelayan. Ekosistem rusak, ikan nihil dan terpaksa ganti profesi terus. “Bagaimana kalau pengerukan pasir benar-benar terjadi? Ini genosida massal. Orang dibunuh secara pelan-pelan dan memaksa mereka alih pencarian.”
********
Ekspor Pasir Laut: Ancam Ekosistem dan Masyarakat, untuk Kepentingan Siapa?