- Jejak Amerika Serikat di Indonesia ada di perairan Selat Sunda tepatnya di Teluk Banten, sejak 1 Maret 1942. Perairan tersebut menjadi tempat berakhirnya kapal penjelajah USS Houston yang tenggelam dalam perang melawan Jepang dalam perang dunia kedua.
- Upaya untuk melestarikan kapal yang ditemukan pada Juni 2014 itu dilakukan oleh AS dalam berbagai bentuk. Salah satunya, melalui inisiasi kerja sama dengan Indonesia sebagai pemilik perairan. Upaya tersebut diharapkan bisa menjadi langkah cepat melakukan pelestarian
- Akan tetapi, kerja sama tersebut menemui tantangan tidak sederhana, karena ada banyak kegiatan yang sudah berjalan di sekitar perairan yang dekat dengan Pulau Panjang tersebut. Paling utama, adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat lokal
- Selain itu, tantangan juga muncul karena sampai sekarang, baik Indonesia atau AS sama-sama belum melakukan ratifikasi perjanjian Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Cagar Budaya Bawah Air
Tahun ini, tepatnya 1 Maret 2024 menjadi momen peringatan ke-82 tahun tenggelamnya kapal penjelajah milik Amerika Serikat (AS), USS Houston. Kapal tersebut tenggelam di perairan Selat Sunda, berdekatan dengan Pulau Panjang yang kini masuk wilayah Provinsi Banten.
Kapal tersebut saat terakhir beroperasi sedang tergabung dalam armada komando American, British, Dutch, Australia (ABDA) dalam perang dunia ke-2. Riwayatnya berakhir setelah gagal menahan serangan torpedo yang diluncurkan Jepang lewat perang di atas laut.
Kegagalan tersebut membuat kapal yang beroperasi sejak 1929 itu akhirnya tenggelam di Selat Sunda. Bersama USS Houston, ikut tenggelam juga kapal armada ABDA milik Australia, HMAS Perth. Keduanya diserang saat sedang dalam perjalanan dari Tanjung Priok menuju Cilacap.
Bangkai kapal USS Houston itu kemudian ditemukan dalam penelitian arkeolog bawah laut Angkatan Laut Amerika Serikat dan tim penyelam TNI AL pada Juni 2014.
Cerita tersebut menjadi legenda bagi AS dan Indonesia. Di kemudian hari, kedua negara ini berulang kali melakukan berbagai cara untuk mengenang tragedi tersebut. Selain itu, upaya untuk melestarikan kapal tersebut juga terus diinisiasi oleh AS.
Salah satunya, dilakukan Jennifer McKinnon, seorang Arkeolog Maritim dari East Carolina University, AS. Dia mengatakan kalau peran Indonesia sangat dibutuhkan untuk bisa melakukan pelestarian kapal penjelajah yang sempat menjadi kapal pesiar bagi Presiden AS itu.
Menurutnya, ada peluang besar untuk bisa melakukan pelestarian melalui kerja sama antara AS dengan Indonesia. Peluang tersebut bisa muncul dalam berbagai faktor dan harus dimanfaatkan dengan baik, karena pelestarian tidak bisa dilakukan oleh pihak AS saja.
“Jadi, walau AS adalah pemilik kapal, namun pelestarian bukan menjadi tanggung jawab AS saja. Namun perlu juga Indonesia ada di dalamnya,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.
Baca : Benda Berharga di Bawah Laut Itu Bukan Harta Karun, tapi Cagar Budaya
Melalui kerja sama dengan Indonesia, dia yakin kalau pelestarian bisa dilakukan dengan maksimal melalui perencanaan yang didukung oleh pendanaan yang bersifat jangka panjang. Namun, agar itu bisa terwujud, peran dan kontribusi dari masyarakat lokal juga sangat penting.
Dia menyebut kalau USS Houston bisa menjadi situs bersejarah yang bisa dikenalkan secara bertahap kepada masyarakat lokal melalui edukasi dan komunikasi yang baik. Jika sudah muncul pemahaman, maka kesadaran juga perlahan muncul di kalangan masyarakat.
“Itu berarti pelestarian budaya bawah air juga akan bisa dilakukan,” ungkapnya.
Terkendala Ratifikasi Konvensi
Meski demikian, upaya untuk melestarikan USS Houston di Selat Sunda diakuinya masih menghadapi kendala yang dialami oleh kedua negara. Baik AS atau Indonesia, sampai saat ini masih belum melakukan ratifikasi Konvensi UNESCO Tahun 2001 tentang Perlindungan Cagar Budaya Bawah Air.
“Saya pikir ada beberapa alasan mengapa Indonesia dan AS belum meratifikasi konvensi ini,” ungkap dia.
Dia mengatakan, sampai saat ini beberapa negara bagian di AS masih mengizinkan eksploitasi komersial bangkai kapal. Sementara, jika AS meratifikasi Konvensi UNESCO 2001, maka kegiatan yang bersifat eksploitasi komersial mutlak tidak boleh lagi ada.
Itu berarti, jika AS ingin menandatangani konvensi dan melakukan ratifikasi, maka ketentuan yang ada dalam Konvensi harus dipatuhi. Dengan demikian, selama eksploitasi bangkai kapal di bawah air masih dilakukan, maka ratifikasi belum bisa dilakukan oleh AS.
Dia pun mengakui kalau itu menjadi salah satu rintangan bagi AS dan Indonesia. Mengingat, di satu sisi pelestarian melalui konservasi menjadi langkah yang bagus. Namun, ada faktor politis yang bisa terlangkahi oleh Konvensi, yaitu tentang hak laut dan zona ekonomi.
“Jadi, maksud saya ada banyak hal yang harus dikerjakan jika akan meratifikasi konvensi ini,” sebutnya.
Mulai dari perubahan undang-undang, pembangunan kapasitas, penegakan hukum, menambah sumber daya polisi perairan, angkatan laut, sampai penjaga pantai. Proses tersebut menurutnya tidak mudah, karena mengawasi seluruh wilayah perairan adalah pekerjaan sangat sulit.
Baca : Bangkai Kapal Liberty, Ikon Bawah Laut Tulamben Yang Makin Rapuh
Siasat Pelestarian Tinggalan Bawah Air
Tentang ratifikasi Konvensi UNESCO 2001, dikatakan juga oleh Stanov Purnawibowo, Periset dari Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan Organisasi Riset Arkeologi Bahasa Dan Sastra Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).
Menurutnya, bukan hanya AS dan Indonesia saja yang belum melakukan ratifikasi Konvensi UNESCO 2001. Namun juga, ada Australia yang sampai sekarang juga sama-sama belum mau menandatangani aturan internasional tersebut.
Salah satu aturan yang ada dalam Konvensi tersebut, adalah tentang pengembalian semua benda cagar budaya ke daerah asal. Klausul tersebut dinilai menjadi salah satu sebab kenapa ketiga negara belum mau melakukan ratifikasi.
“Terutama bagi Indonesia, karena nilai strategis kedaulatan wilayah NKRI yang harus dipertahankan,” ungkapnya.
Meski demikian, Stanov meyakini kalau pelestarian situs USS Houston tetap bisa dilakukan dengan cara yang bijak dan tepat dengan tetap saling menghormati hukum dan kedaulatan masing-masing negara yang akan saling bekerja sama.
Menurutnya, kerja sama antara ketiga negara tersebut haru bisa terjalin dengan fokus pada pelestarian tinggalan bawah air. Tujuannya, agar kerja sama tersebut bisa tetap dilakukan tanpa harus mencederai kedaulatan salah satu negara.
Stanov mengakui kalau upaya pelestarian benda cagar budaya bawah air di Indonesia masih menghadapi permasalahan yang kompleks. Mulai dari aktivitas hingga ranah regulasi, atau penjarahan liar hingga regulasi hukum antar instansi yang saling kontradiksi di lapangan.
“Perbedaan sudut pandang atau penilaian terhadap heritage bawah air dari masing-masing stakeholders juga semakin memperkaya permasalahan upaya pelestarian,” jelasnya.
Baca juga : Kapal Pemburu Harta Karun di Anambas Ditangkap di Malaysia
Katanya, ada peluang untuk saling mendukung dan bekerja sama melalui ranah riset untuk melaksanakan pelestarian kebudayaan. Salah satunya, diwakili oleh kerja sama pelestarian situs bawah air USS Houston.
Dalam bidang riset pelestarian, penerapan bentuk kerja sama itu dilakukan untuk pelestarian situs bawah air. Kegiatan tersebut melibatkan semua pemangku kepentingan yang muaranya membuahkan satu kesepahaman berkenaan dengan pelestarian cagar budaya bawah air.
“Harus juga ada pemberdayaan masyarakat di sekitar situs bawah air dalam upaya menjaga situs tersebut. Selain itu, harus ada juga perumusan kelestarian para stakeholders terhadap situs yang sama,” tegasnya.
Stanov mengatakan kalau situs USS Houston bernilai penting bersama situs HMAS Perth. Keduanya ada di perairan Teluk Banten, Provinsi Banten yang merupakan peninggalan Perang Dunia ke-2 yang berada di perairan Indonesia.
Kedua kapal juga disebut memiliki nilai penting sejarah yang sangat tinggi dalam konteks pertempuran laut antara Sekutu dan Jepang dalam Perang Dunia ke-2. Keberadaan keduanya di perairan Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
“Pelestarian kedua situs tersebut, harus melibatkan kerjasama antar negara pemilik heritage (Amerika-Australia) dan pemilik lokasi keberadaan heritage saat ini (Indonesia),” pungkasnya.
Penuh Tantangan
Kepala Loka Riset Sumber daya dan Kerentanan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nia Naelul Hasanah Ridwan menjelaskan kalau pelestarian situs USS Houston memang menjadi kegiatan yang menarik, namun penuh dengan tantangan.
Salah satunya, adalah kegiatan penangkapan ikan yang banyak dilakukan oleh masyarakat lokal, baik melalui kapal perikanan atau keramba jaring apung (KJA). Kegiatan seperti itu banyak dilakukan warga di sekitar lokasi perairan situs USS Houston.
Lalu, tantangan lainnya yang muncul adalah berkaitan dengan jalur pelayaran, zona industri, gunung berapi dan gempa bumi, sedimen dan serasah yang ada pada sungai, serta kegiatan penambangan pasir laut.
Khusus serasah, keberadaannya dinilai sudah mengganggu karena mengalami peningkatan volumen setiap tahunnya. Material serasah yang berasal dari sungai dan masuk ke perairan Teluk Banten mencakup kayu dan plastik.
Tak lupa, tantangan lain yang juga sama besarnya adalah penjarahan material kedua kapal seperti logam yang diklaim oleh warga lokal sebagai bentuk pembersihan. Semua itu menjadi persoalan yang harus diselesaikan.
Untuk itu, dia menilai kalau pelibatan masyarakat lokal dalam upaya pelestarian situs menjadi sangat penting untuk dilakukan. Mereka harus diberikan pemahaman dan pengetahuan tentang situs beserta bagaimana upaya pelestariannya.
Dia yakin, jika pelestarian bisa dilakukan dengan baik, akan ada manfaat yang bisa dirasakan, bukan hanya oleh masyarakat lokal saja. Lebih dari itu, Negara juga akan menerima manfaat karena benda cagar budaya bawah air adalah bernilai tinggi.
Bentuk pemanfaatan bisa dilakukan sesuai dengan kebijakan yang berlaku di Indonesia saat ini, baik untuk kegiatan budaya atau penelitian. KKP menjadi salah satu pihak yang ikut terlibat dalam Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT).
Rawan Pencurian Harta Karun BMKT
Sementara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ikut terlibat untuk mengelola sebagai Benda Cagar Budaya Bawah Air. Merujuk pada UU No.11/2010, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya di darat dan di air.
Cagar Budaya yang terdapat di air dikenal sebagai Tinggalan Budaya Bawah Air, Barang Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT), namun ada juga yang menyebut sebagai harta karun. Cagar Budaya Bawah Air memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga rawan sekali terjadi pencurian untuk diperjual belikan.
Kasus pencurian di perairan Indonesia mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1980-an, dan masih berlangsung hingga saat ini. Melihat potensi dan permasalahan Cagar Budaya Bawah Air yang semakin mengkhawatirkan, maka sangat diperlukan landasan hukum yang kuat untuk melindunginya.
Diketahui, geografis Indonesia membentang dari 6⁰ LU sampai 11⁰ LS dan 95⁰ sampai 141⁰ BT, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya sekitar 17.504 pulau. Tiga per-empat wilayahnya adalah laut, dengan panjang garis pantai 95.161 kilometer (km), atau terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Melalui Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia menjadi satu kesatuan dengan wilayah NKRI. Sebagai negara kepulauan, Indonesia telah diakui dunia internasional melalui konvensi hukum laut PBB UNCLOS 1982, kemudian diratifikasi dengan UU No 17 Tahun 1985.
Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,9 juta km persegi (km²), terdiri atas 3,2 juta km² perairan teritorial dan 2,7 km² perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Luas perairan tersebut belum termasuk wilayah landas kontinen (continental shelf).
Secara keseluruhan, luas wilayah Indonesia terbentang antara Samudra Hindia dan Samudra Fasifik, dengan 75 persen adaIah Iaut. WiIayah Iaut yang mendominasi, serta posisi strategis yang berada di antara jalur persilangan dua benua, menjadikan wilayah perairan Indonesia pada masa lalu ramai dilayari kapal-kapal asing. (***)