Uji Sakti Aturan Perlindungan Pejuang Lingkungan di Bawah Pemerintahan Prabowo

1 week ago 10

Dua bulan sebelum jabatan berakhir, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat (PermenLHK Pelindungan Pejuang Lingkungan). PermenLHK ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Aturan itu berbunyi:  “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Sebuah langkah progresif kendati para pegiat lingkungan harus menanti hingga 15 tahun sampai akhirnya peraturan ini diteken Siti Nurbaya Bakar pada 30 Agustus 2024. Aturan ini melengkapi peraturan di berbagai lembaga yang ada seperti Pedoman Jaksa Agung nomor 8/2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Kedua aturan itu yang selama ini harus menjadi pedoman bagi jaksa dan hakim untuk memeriksa perkara terkait pembela lingkungan yang jadi korban kriminalisasi karena berupaya melindungi lingkungan.

Kemudian, juga menjadi acuan adalah Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nomor 5/2015 tentang Prosedur Perlindungan terhadap Pembela HAM. Lalu, Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM No. 6 tentang Pembela HAM.

Aktivis perempuan Maluku, Cristina Rumalatu. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia

 

Pejuang lingkungan dalam tata kelola HAM dan lingkungan

Penting mengingat bagaimana upaya dunia internasional menyematkan kewajiban negara mengakui peran pembela HAM termasuk pembela lingkungan. Berawal pada 1998 dengan Konvensi Aarhus yang memberikan pengakuan bahwa perlindungan lingkungan penting bagi kesejahteraan manusia dan pemenuhan hak asasi manusia yang mendasar, termasuk hak untuk hidup itu sendiri.

Konvensi Aarhus juga memberikan pengakuan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dalam lingkungan yang memadai bagi kesehatan dan kesejahteraannya. Juga, kewajiban, baik individu maupun bersama-sama dengan orang lain, untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan demi kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

Pada Desember tahun sama, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi PBB tentang Human Rights Defender (Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms) menjadi acuan dalam mendorong negara melindungi pembela HAM.

Konvensi Aarhus merupakan satu-satunya instrumen global yang mengikat secara hukum tentang demokrasi lingkungan yang menerapkan Prinsip 10 Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan. Konvensi ini menghubungkan hak lingkungan dan hak asasi manusia, dan menetapkan pembangunan berkelanjutan hanya dapat tercapai melalui keterlibatan semua pemangku kepentingan.

“Recognizing that adequate protection of the environment is essential to human well-being and the enjoyment of basic human rights, including the right to life itself.”

“Recognizing also that every person has the right to live in an environment adequate to his or her health and well-being, and the duty, both individually and in association with others, to protect and improve the environment for the benefit of present and future generations”

Pada partisipasi untuk pembangunan berkelanjutan itulah peran penting dari pembela HAM atas lingkungan. Michel Forst, mantan UN Special Rapporteur on Human Rights Defenders mendefinisikan,  pembela hak asasi manusia atas lingkungan yaitu setiap individu dan kelompok yang dalam kapasitas pribadi atau profesionalnya dan dengan cara damai, berjuang untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidup, termasuk air, udara, tanah, flora dan fauna.

John Knox, mantan UN Special Rapporteur on the Right to Environment menyatakan,   pembela HAM atas lingkungan memiliki kerentanan karena beberapa faktor, yakni, pertama, permintaan untuk ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam yang makin meningkat, kedua, kekuatan politik dan pengakuan hukum terhadap kelompok yang paling sering terkena dampak dari tuntutan yang meningkat cenderung kurang.

Ketiga, institusi hukum yang lemah atau korup yang menciptakan budaya impunitas. Faktor risiko tambahan yang berkontribusi terhadap meningkatnya kerentanan pembela hak asasi manusia atas lingkungan termasuk marginalisasi dan kurangnya aturan hukum yang efektif. Sementara itu, pelaku pelanggaran dan pelanggaran terhadap pembela hak asasi manusia, tak hanya  aktor negara, juga aktor non-negara, seperti paramiliter dan kelompok bersenjata lain, kelompok sayap kanan, media, dan korporasi.

Signifikansi peran pembela hak asasi manusia atas lingkungan membuahkan hasil dengan pengakuan hak lingkungan yang  bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagai hak asasi manusia (right to a clean, healthy and sustainable environment as a human right). Pengakuan ini diadopsi melalui resolusi Majelis Umum PBB A/76/L.75 pada 22 Juli 2022.

Pengakuan ini menghentikan perdebatan pengakuan hak asasi manusia baru yang semula belum mendapatkan pengakuan sebagai hak asasi manusia, seperti hak untuk hidup, hak kebebasan beragama, hak untuk bekerja, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, kebebasan dari perbudakan dan bebas dari  penyiksaan belum. Adopsi suatu hak asasi manusia akan membawa kemajuan paling memungkinkan setiap orang untuk menuntut hak-hak ini.

Daniel Frits Maurits Tangkilisan (berkaos putih), aktivis lingkungan yang menyuarakan penyelamatan Karimunjawa, bebas dari hukuman setelah bandingnya pengadilan kabulkan. Dokumen foto: Tri Utomo

 

Tegaskan urgensi perlindungan terhadap EHRD

Dalam konteks HAM, maka terbit PermenLHK tentang Pelindungan Pejuang Lingkungan Hidup bisa terletak sebagai suatu kewajiban negara dalam rangkaian menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sekaligus regulasi ini bisa dilihat sebagai bentuk pemahaman negara atas kerentanan yang kerap menghinggap pada diri pejuang lingkungan hidup.

PermenLHK pada akhirnya memberikan siapa yang disebut sebagai pejuang lingkungan hidup. Pada angka 1 Pasal 1 PermenLHK disebutkan orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.  Yang selanjutnya disebut orang yang memperjuangkan lingkungan hidup adalah orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai korban dan, atau pelapor yang menempuh cara hukum karena pencemaran dan, atau perusakan lingkungan hidup.

Gustina Salim Rambe, warga Rantauprapat, Sumatera Utara, protes perusahaan sawit kena hukum.  Foto: Walhi Sumut

Melihat subjek yang dilindungi

Salah satu hal yang menjadi diskusi atau kekhawatiran dari banyak pihak adalah mengenai batasan dari apa yang disebut sebagai ‘orang yang memperjuangkan lingkungan hidup’ adalah orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai korban dan, atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan, atau perusakan lingkungan hidup.

Frasa ‘cara hukum’ itu oleh beberapa pihak ditafsirkan terbatas sebagai upaya-upaya litigasi, yang berarti contohnya adalah pengaduan ke instansi kepolisian atau kerap disebut sebagai kriminalisasi, maupun gugatan hukum melalui pengadilan (baik sebagai penggugat maupun tergugat).

Tafsir demikian tak bisa dikatakan keliru, karena sekilas akan dapat dipahami bahwa cara hukum berarti litigasi. Namun patut kiranya,  melihat secara keseluruhan aturan yang telah melingkupinya, maupun pengalaman-pengalaman dari perjalanan regulasi terkait anti-SLAPP di yang diterbitkan instansi apapun.

Lantaran ‘cara hukum’ yang dimaksud pada definisi orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak diartikan, maka guna mendapatkan pemahaman yang teruji secara hukum, dapat menggunakan salah satu penafsiran hukum, yakni,  penafsiran sistematis. Penafsiran sistematis atau logis berarti menafsirkan  Undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan (Mertokusumo,2010).

Selain perlu melihat ketentuan pada Pasal 66 UUPLH yang jadi dasar terbitnya PermenLHK itu, dapat juga melihat bagaimana pengadilan memaknai Pasal 66 UUPPLH dalam putusan-putusannya.

Kata ‘cara hukum’ ternyata terdapat pada penjelasan Pasal 66 UUPPLH, yang selengkapnya berbunyi: “Ketentuan ini untuk melindungi korban dan, atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

Lagi-lagi, terminologi itu juga tidak didefinisikan pada UUPPLH. Maka kita dapat merujuk seperti apa tafsir dari cara hukum yang dimaksud pada Pasal 66 UU PPLH itu melalui putusan-putusan pengadilan yang menggunakan Pasal 66 UU PPLH sebagai pertimbangannya.

Pertama, yang terbaru kita bisa melihat putusan kasus Haslilin dan Andi Firmansyah, warga Desa Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang kena kriminalisasi karena aksi menghalau alat berat yang akan mengeruk tanah di kampungnya untuk penambangan nikel.

Dalam amar putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan keberadaan Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Pasal 77 PERMA Nomor 1/2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Hingga dalam putusannya menyatakan hilirisasi lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging).

Kedua, terdapat putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah atas kasus Daniel Frits yang menganulir putusan PN Jepara. Daniel Frits dikriminalisasi karena dianggap menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA).

Padahal,  dia pihak yang berani mengungkap dan melawan perusakan lingkungan di pesisir dan laut Taman Nasional Karimunjawa. Pada putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, Daniel dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), karena Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Banding mempertimbangkan bahwa ketentuan Anti SLAPP pada Pasal 66 UU 32/2009 tentang PPLH bisa diterapkan terhadap Daniel.

Ketiga, kita dapat merujuk putusan Mahkamah Agung mengenai gugatan perdata, PT Bumi Konawe Abadi terhadap Daeng Kadir dan Abdul Azis, dua warga yang aksi dan pemalangan jalan dari truk yang mengangkut hasil penambangan nikel.

Pada putusan, baik tingkat kasasi maupun pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding menyatakan,  bahwa demonstrasi yang dilakukan dua tergugat merupakan bentuk dari pengejawantahan hak warga negara dalam berpendapat dan telah dilaksanakan sesuai prosedur yang seharusnya.

Mahkamah Agung menyatakan,  hak warga negara itu dijamin di dalam Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tindakan-tindakan para pejuang lingkungan dalam putusan-putusan di atas, yakni,  aksi protes sembari menghalau kendaraan perusahaan yang beroperasi, kampanye dan memprotes perusakan lingkungan, menuntut penghentian operasi dari aktivitas pengangkutan perusahaan, bisa digolongkan sebagai ‘cara hukum.’ Ini yang menjadi dasar penting dalam menafsirkan ‘cara hukum’ sebagaimana dimaksud Pasal 66 UU PPLH juga PermenLHK.

Hingga dapat dimaknai bahwa ‘cara hukum’ berdasarkan PermenLHK Pelindungan Pejuang Lingkungan Hidup adalah melalui upaya-upaya yang disebut Pasal 3 dari aturan itu. Atau, lebih jelas lagi, dapat juga merujuk pada Pasal 78 ayat (2) dan ayat (3) Perma Nomor 1/2023. Singkatnya, ‘cara hukum’ adalah tiap-tiap aktivitas implementasi dari hak-hak sebagai warga negara, atau cara yang tidak melawan hukum.

Taufik, warga Kuala Langkat, juga penolak mangrove jadi kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Jalan terjal ciptakan ekosistem perlindungan pejuang lingkungan hidup

Sejak 2023, satu tahun terakhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, hutan alam Indonesia terdeforestasi seluas 1,4 juta hektar atau meningkat 58,19%, padahal mulai 2017, terjadi tren penurunan deforestasi yang berlanjut hingga 2022.

Alih fungsi hutan ini, baik hutan tropis maupun mangrove, jadi lahan perkebunan sawit, tambang, bahkan food estate, meningkatkan potensi pelepasan emisi karbon hingga 655 juta Mt (metrik ton) emisi CO2.  Jokowi juga mengubah kebijakan FoLU Net Sink, yakni, menaikkan batas maksimal deforestasi hingga dua kali lipat jadi 10,47 juta hektar. Hal ini berpotensi meningkatkan luasan deforestasi hutan di Indonesia.

Usai pelantikan Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak lagi berada dalam satu wadah, terpisah jadi dua. Meski terpisah, keduanya kini berada di bawah koordinasi Kementerian Pangan, bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian (KKP), Badan Pangan Nasional dan Badan Gizi Nasional.

Merujuk pilihan struktur ini, bisa diprediksi masa depan lingkungan hidup Indonesia akan berjalan di tempat, karena kebijakan ekonomi pemerintah cenderung berfokus pada pemanfaatan sumber daya alam secara agresif, terutama pengembangan masif food estate saat ini.

Pilihan kebijakan ini terkonfimasi dengan pidato pelantikan Prabowo yang menyatakan Indonesia akan melanjutkan hilirisasi nikel dan mendorong proyek food estate. Hal ini mengorbankan jutaan hektar hutan, mengancam hak asasi masyarakat, dan memperburuk upaya menekan angka pelepasan emisi ke atmosfer. Dengan arah kepemimpinan demikian, di bawah pemerintahan Prabowo, permenLHK ini jelas akan banyak menghadapi jalan terjal dalam upaya memaksimalkan implementasinya.

Belum lagi masih bertebarannya pasal-pasal pidana di KUHP, UU Pertambangan, UU Perkebunan, UU Kehutanan, sampai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berpotensi untuk menjerat pejuang lingkungan hidup, ditambah belum ada regulasi internal kepolisian yang memberikan perlindungan terhadap pejuang pelindungan lingkungan hidup.

Padahal, sebagai suatu produk hukum di tingkatan peraturan menteri, sejatinya permenLHK ini cukup progresif di tengah maraknya kriminalisasi dan kekerasan terhadap pejuang lingkungan.

Untuk itu, salah satu ikhtiarnya adalah tim penilai, yang merupakan mandat dari permenLHK itu, harus diisi oleh mereka yang memahami konteks kasus seperti tindakan pembalasan, kriminalisasi, atau penggunaan hukum secara sewenang-wenang.

Karena tim penilai memiliki peran krusial untuk menentukan permohonan pelindungan dari si pejuang lingkungan hidup atau penilaian dalam menentukan apakah suatu tindakan terhadap pembela lingkungan adalah tindakan balasan atau bukan.

Hingga perkara-perkara serupa yang terjadi pada Hasilin maupun Daniel Frits, tidak perlu masuk pada proses penyidikan, penuntutan apalagi persidangan.

Ilham Mahmudi, pecinta lingkungan yang berjuang menjaga hutan lindung mangrove di Langkat agar tak jadi kebun sawit, malah kena jerat hukum. Kini dia dalam tahanan Polres Langkat. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

********

  • Penulis: Andi Muttaqien adalah Direktur Eksekutif Satya Bumi. Satya Bumi adalah organisasi kampanye lingkungan yang mengambil langkah advokasi untuk melindungi hutan Indonesia dan ekosistem alam yang vital dengan mendorong penghormatan dan perlindungan HAM. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Tak Ingin Lingkungan Tercemar Pabrik Sawit, Gustina Rambe Terjerat Hukum

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|