- Kasus perburuan badak jawa [Rhinoceros sondaicus] di Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK], kembali digelar di Pengadilan Negeri Pandeglang, Senin [28/10/2024].
- Enam terdakwa, yang seluruhnya warga Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten, menjalani sidang perdana dengan tuntutan pasal berbeda.
- Sahru, Karip, dan Leli didakwa Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1951. Sementara Sayudin, Isnen dan Atang didakwa Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Darurat.
- Di persidangan disebutkan, Sahru mengantongi keuntungan sebesar Rp698 juta, hasil penjualan 7 cula. Sementara Sunendi, dijelaskan telah melakukan transaksi 6 kali melalui perantara Willy, yang divonis bebas pada Selasa [27/8/2023].
Kasus perburuan badak jawa [Rhinoceros sondaicus] di Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK], kembali digelar di Pengadilan Negeri Pandeglang, Senin [28/10/2024].
Enam terdakwa, yang seluruhnya warga Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten, menjalani sidang perdana dengan tuntutan pasal berbeda.
Sahru, Karip, dan Leli didakwa Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1951. Mereka secara bersama memiliki senjata api jenis locok sepanjang 150 sentimeter beserta 38 peluru dan bubuk mesiu. Sahru adalah kaka Sunendi yang telah divonis 12 tahun penjara.
Sementara Sayudin, Isnen dan Atang didakwa Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Darurat. Mereka menggunakan senjata tajam untuk memotong cula badak.
“Perbuatan para terdakwa diancam pidana Pasal 40 ayat 2 juncto Pasal 21 ayat 2 huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, juncto Pasal 55 ayat 1 KUHPidana,” ujar Jaksa Penuntut Umum [JPU] Hendra Meylana di persidangan.
Pada persidangan terungkap, semua terdakwa memasuki TNUK melalui Cikeusik, namun belum diketahui secara rinci rute tersebut. Diketahui pula, perburuan dilakukan sejak 2018 dan seorang buronan bernama Nurhadi, pernah menjual cula seharga Rp320 juta.
Di persidangan juga disebutkan, Sahru mengantongi keuntungan sebesar Rp698 juta, hasil penjualan 7 cula. Sementara Sunendi, dijelaskan telah melakukan transaksi 6 kali melalui perantara Willy, yang divonis bebas pada Selasa [27/8/2023].
Baca: Willy Divonis Bebas Kasus Perdagangan Cula Badak Jawa, Jaksa Ajukan Kasasi
Ajukan Kasasi
Terkait bebasnya Willy, Jaksa Penuntut Umum Abrian Rahmat Fatahillah telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, pada Kamis [5/9/2024].
“Langkah ini diambil sebagai jalan keadilan terkait perburuan badak jawa di TNUK,” jelasnya, Senin [9/9/2024].
Sejauh ini, belum muncul nomor perkara kasus di situs resmi Mahkamah Agung. Bagi Abrian, seluruh alat bukti yang dihadirkan sudah komprehensif. Terutama historis percakapan yang mengindikasikan ada jaringan luar yang berperan sebagai pembeli.
Abrian menerangkan, Liem Hoo Kwan Willy alias Willy berkaitan dengan kasus Sunendi dan Yogi Purwadi. Untuk itu, ia didakwa Pasal 40 ayat 2 juncto Pasal 21 ayat 2 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya juncto Pasal 55 ayat (1) KUHPidana.
“Pasal 55 ini tambahan karena unsurnya memenuhi bagi mereka yang melakukan [pleger], menyuruh melakukan [doen plegen], dan turut serta melakukan [medepleger],” ucapnya.
Baca: Vonis Bebas Willy, Pegiat Lingkungan: Hakim Harus Lihat Aspek Konservasi Badak Jawa
Abrian menjelaskan, beberapa percakapan krusial Willy tentang skema penjualan badak berlangsung. Keterangan waktu lengkap tersusun mulai 2021 dan bahkan ada percakapan tahun 2020.
“Selamat malam bos. Bos kata yang punya barangnya bisa diusahakan dananya sampai hari Jumat tidak bos?”
Itu pesan Yogi kepada Willy pada 10 Juli 2021.
“Selamat malam pak Yogi, barusan ayi telepon suruh kau bantu omong harganya bisa dikurangi untuk barang dulu beli susut tanya ayi sendiri,” ucap Abrian, membacakan pesan WhatsApp Willy kepada Yogi Purwadi pada 7 Oktober 2021.
“Susut ini adalah cula badak,” jelasnya. Pada percakapan itu ada keterangan bahwa Willy bersedia menalangi pembayaran.
“Keterangan ini sudah diperlihatkan dan diungkap saat persidangan, lengkap dengan beberapa foto cula dan timbangan untuk menghitung berat cula.”
Tujuan kasasi adalah menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
“Kasus Willy yang berkaitan dengan konservasi, baru pertama kali saya tangani. Saya punya tanggung jawab menyelidiki dan menuntut dengan hukum yang berlaku, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan,” tegas Arbian.
Baca: 26 Badak Jawa Mati Diburu, Pengamanan Ujung Kulon Lemah?
Momen Penegakan Hukum
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law [ICEL] Marsya Handayani, mengatakan di Indonesia, setiap tahunnya perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar nilainya mencapai Rp9-13 triliun.
Marsya menilai, instrumen tindak pidana pencucian uang [TPPU] dapat digunakan untuk menjerat jaringan perdagangan ilegal TSL, sebagaimana UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Aturan itu mengakomodasi tindak pidana bidang kehutanan, lingkungan hidup, kelautan, atau tindak tindak pidana lain yang diancam pidana penjara 4 tahun atau lebih.
Namun, kejahatan perdagangan tumbuhan dan satwa liar masih dipandang “soft crime” yang tidak berdampak besar. Padahal, kasus badak cukup besar, tapi keputusan hakim justru memutus rantai pembuktian dugaan jaringan kejahatan satwa lintas negara.
“Seharusnya, ini momen penegakan hukum terhadap kejahatan satwa yang merugikan negara.”
Ironinya, negara harus menanggung semua biaya perkara. Sementara Willy, hanya membayar Rp5.000 setelah putusan hakim.
Marsya berharap, kasus badak jawa menjadi titik balik negara berpihak pada kepentingan keanekaragaman hayati. Dikarenakan, ini bukan tentang satu spesies endemik melainkan satu kesatuan ekosistem yang jika dikonversi ekonomi, nilai jasa lingkungannya jauh lebih besar.