- Sejak ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada pertengahan 2023, Indonesia terus mempersiapkan diri untuk mempelajari Perjanjian Keanekaragaman Hayati Laut di Luar Yurisdiksi Nasional atau Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ)
- Perjanjian tersebut baru akan mulai diterapkan pada 2025, dan saat ini sudah 83 negara, termasuk Uni Eropa yang melakukan penandatanganan. Negara-negara tersebut sedang melaksanakan proses ratifikasi saat ini
- Prioritas perjanjian BBNJ adalah melaksanakan konservasi kekayaan keanekaragaman hayati laut di seluruh dunia. Kekayaan tersebut ada di dasar laut dan permukaan air laut melalui sumber daya alam yang bervariasi dan digunakan secara berkeadilan bagi seluruh negara
- Indonesia sangat berkepentingan untuk ikut berkontribusi dalam BBNJ, karena letaknya yang sangat strategis dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Selain itu, BBNJ juga bisa berkontribusi pada penyelamatan krisis global yang saat ini sedang berlangsung
Indonesia terus berupaya untuk mengadopsi hasil ratifikasi perjanjian Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan Keanekaragaman Hayati Laut di Luar Yurisdiksi Nasional atau Marine Biodiversity of Areas beyond National Jurisdiction Agreement (BBNJ). Ratifikasi dan implementasi efektif perjanjian tersebut diperkirakan akan terjadi pada 2025 nanti.
Penandatanganan perjanjian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu dilakukan Indonesia pada pertengahan 2023 bersama 83 negara lain. Sebagai negara pihak yang mengadopsi perjanjian Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia berkomitmen menjadi negara pihak BBNJ.
Pernyataan itu diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi. Katanya, Indonesia menjadi negara pihak karena ingin melindungi kepentingan nasional dan berkontribusi dalam tata kelautan global.
Tanpa ragu, dia menyebut kalau kontribusi Indonesia dalam perjanjian BBNJ menjadi bentuk komitmen untuk melaksanakan perlindungan dan pemanfaatan sumber daya di laut lepas dengan tujuan mencapai kelestarian di masa mendatang.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia meyakini kalau perjanjian BBNJ bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan itu ada, karena BBNJ salah satunya akan menjalankan perlindungan laut Indonesia dari pencemaran.
“Itu menegaskan pengakuan atas keunikan negara kepulauan dan posisi dalam tata kelola laut global, serta memungkinkan peningkatan kapasitas dan pengembangan industri melalui pengetahuan tentang bioteknologi,” ungkapnya belum lama ini di Jakarta.
Baca : Perjanjian BBNJ: Peluang Besar untuk Indonesia di Laut Lepas
Walau belum ada kepastian kapan BBNJ akan dilakukan adopsi, namun Jodi mengatakan kalau saat ini Pemerintah tengah mendorong ratifikasi dan implementasi BBNJ bisa dilakukan segera. Hal itu, karena Pemerintah meyakini kalau BBNJ akan menguntungkan Indonesia.
“Dampak yang sangat bagus untuk kemajuan Indonesia. Implementasi BBNJ ini akan menjadi tuas ekonomi baru untuk Indonesia dan berpotensi untuk menjadi multi-million dollar industry,” tambahnya.
Agar dorongan ratifikasi dan implementasi bisa dilakukan segera, dia mengatakan kalau saat ini perlu langkah yang strategis untuk mendukungnya. Termasuk, dari regulasi, pengembangan sumber daya manusia (SDM), pendanaan riset, pengembangan teknologi, dan peran dari swasta.
Tak hanya itu, dukungan langsung juga harus ada dari semua pihak, bukan dari Pemerintah dan peneliti saja yang sudah memahami bahwa BBNJ akan berdampak positif untuk Indonesia. Pihak lainnya, adalah masyarakat umum, dan praktisi perguruan tinggi yang harus memahami pentingnya di laut lepas bagi Indonesia.
Asisten Deputi Delimitasi Zona Maritim dan Kawasan Perbatasan Kemenko Marves Sora Lokita mengungkapkan harapannya agar publik bisa terus meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang perjanjian BBNJ.
Kontribusi dari publik, diyakini akan bisa mendorong Indonesia untuk segera melakukan ratifikasi dan implementasi BBNJ. Dia yakin, dorongan dari semua pihak akan bisa menempatkan Indonesia ke dalam kelompok 60 negara pertama yang melaksanakan ratifikasi perjanjian BBNJ.
“Jangan sampai Indonesia hanya jadi penonton dalam implementasi BBNJ. Indonesia harus bisa memanfaatkan multi-million industry dari Perjanjian BBNJ ini,” sebut dia.
Baca juga : Kegiatan Konservasi Kini Bisa Dilakukan di Laut Lepas
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI Laurentius Amrih Jinangkung mendorong agar ratifikasi perjanjian BBN bisa segera dilakukan Indonesia, karena bisa mendukung tata kelola laut yang lebih komprehensif.
Dia berharap, proses ratifikasi bisa selesai pada September 2024 dan selanjutnya Indonesia bisa mengadopsinya untuk memperkuat kepemimpinan dan peran aktif Indonesia dalam kerangka implementasi BBNJ.
Proses Ratifikasi BBNJ
Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Arfan Faiz Muhlizi menyebut kalau kepentingan nasional tidak boleh diabaikan saat ratifikasi perjanjian BBNJ dilaksanakan.
Dia mengatakan kalau proses ratifikasi akan melalui berbagai tahapan yang sudah ditetapkan dalam peta jalan dengan meliputi, perencanaan, penetapan, dan pengesahan menjadi perundang-undangan. Pada prosesnya, penggunaan regulasi bisa berbentuk undang-undang (UU) atau peraturan presiden (Perpres).
“Perlu telaahan mendalam untuk mengetahui kesesuaian antara materi muatan dan jenis peraturan perundang-undangan yang tepat,” jelasnya.
Dua pilihan tersebut, akan menjadi payung hukum yang sama-sama kuat bagi pelaksanaan ratifikasi perjanjian BBNJ di Indonesia. Tetapi, keduanya dinilai memerlukan naskah akademis untuk bentuk UU, atau naskah urgensi yang komprehensif jika berbentuk Perpres.
Tujuannya, agar proses ratifikasi bisa kuat dengan memastikan secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, sudah sejalan dengan kepentingan nasional. Kemudian, naskah juga harus mampu memotret urgensi, tujuan, lingkup pengaturan, manfaat, dan dampaknya bagi kepentingan nasional.
“Diperlukan komitmen dari kementerian atau lembaga terkait untuk menentukan leading sektornya, mengingat substansi yang ada dalam perjanjian BBNJ bersifat lintas sektoral,” terangnya.
Selain penentuan pilihan UU atau Perpres, Arfan juga mengingatkan beberapa hal penting dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan untuk meratifikasi Perjanjian BBNJ. Termasuk, naskah akademik atau naskah urgensi harus bisa menjelaskan bahwa ratifikasi tidak akan bertentangan dengan kepentingan nasional.
Selain itu, harus juga dilakukan proses partisipasi publik bermakna (meaningful participation) saat proses ratifikasi dilakukan yang dimulai dari tahap perencanaan, penyusunan naskah, dan penetapan menjadi peraturan perundang-undangan.
Terakhir, dia juga mengingatkan kalau kedua naskah untuk meratifikasi perjanjian BBNJ perlu dilengkapi dengan pendekatan cost and benefit analysis (CBA), regulatory impact analysis (RIA), serta rule, opportunity, capacity, communication, interest, process dan idiology (ROCCIPI).
Ketiga pendekatan di atas mutlak untuk diterapkan dalam proses ratifikasi perjanjian BBNJ, karena bisa mengetahui beban anggaran apakah lebih besar dari manfaat yang didapatkan, dampak yang akan ditimbulkan, serta resiko yang perlu diantisipasi.
Baca juga : Menerapkan Tata Kelola di Laut Lepas untuk Kepentingan Nasional
Laut Adalah Indonesia
Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia Gita Sabharwal mengapresiasi upaya Indonesia untuk melaksanakan proses ratifikasi perjanjian BBNJ yang saat ini tengah berlangsung. Dia yakin, Indonesia akan terus selangkah lebih maju dari negara lain, seperti saat menjadi negara pertama yang menandatangani perjanjian tersebut pada 2023.
“Ini adalah perjanjian baru yang paling signifikan dalam tata kelola laut dalam beberapa dekade terakhir, yang mencakup dua pertiga lautan dunia,” ungkapnya.
Dia mengatakan kalau perjanjian BBNJ sangat penting di dunia, karena faktanya laut adalah penyerap karbondioksida (CO2) yang utama dengan kemampuan menyerap 25 persen dari seluruh emisi karbon yang ada di dunia.
Menurutnya, ekosistem lautan lepas memainkan peran penting dalam menyerap karbon dengan cara menangkap dan menyimpannya dalam biomassa tanaman dan sedimen. Oleh karena itu, Indonesia menjadi negara penting dalam perjanjian BBNJ, karena menjadi pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia.
“Apapun yang terjadi di laut lepas akan memengaruhi Indonesia, karena laut merupakan ekosistem yang saling berhubungan. Oleh karena itu, ratifikasi yang cepat menjadi penting,” ucapnya.
Gita menjelaskan bahwa PBB memiliki perspektif yang meyakini kalau BBNJ akan berkontribusi dalam memajukan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), target Keanekaragaman Hayati Kunming-Montreal untuk melindungi 30 persen dari lingkungan laut, dan menggandakan ekonomi biru selama dua dekade ke depan.
Oleh karena itu, perjanjian BBNJ menggarisbawahi pentingnya saling ketergantungan antara negara maju dan negara berkembang dalam mengelola sumber daya laut lepas. Hal ini memberikan arti penting bagi upaya kolaboratif internasional untuk pemanfaatan dan konservasi sumber daya laut yang berkelanjutan.
Dia menyebut kalau kepemimpinan Indonesia sangat penting dalam membuat hal ini menjadi lebih inklusif, komprehensif, dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip kesetaraan agar semua negara mendapatkan manfaat yang sama.
Menurutnya, sampai sekarang masih banyak stok ikan di laut lepas yang dimiliki bersama oleh beberapa negara dan sangat penting bagi ketahanan pangan global. Untuk itu, pengelolaan yang berkelanjutan sangat penting untuk mempertahankan kegiatan penangkapan ikan pada tingkat yang memungkinkan populasi ikan beregenerasi.
“Sehingga menjamin mata pencaharian bagi generasi mendatang,” tuturnya.
Pengelolaan berkelanjutan juga diyakin Gita akan memastikan kesetaraan dan pembagian sumber daya dalam konservasi, dan pengelolaan sumber daya genetik dan jasa ekosistem yang efektif. Jadi, itu bukan tentang keadilan saja, namun untuk kerja sama dan perdamaian internasional.
Dia kemudian menambahkan, selama negosiasi perjanjian, Indonesia memperjuangkan peningkatan keterlibatan negara-negara berkembang dalam pemanfaatan sumber daya genetik secara berkelanjutan di perairan internasional.
Peran Bioteknologi dan Biosprospeksi Laut
Kemudian, Indonesia juga terlibat aktif untuk mendorong agar bioteknologi menjadi aspek integral dari transfer teknologi. Tegasnya, Indonesia mendorong pemanfaatan bioteknologi untuk tujuan konservasi dan diyakini menjadi kunci di masa mendatang.
Transfer teknologi tersebut memungkinkan penggunaan teknik seperti pengurutan DNA lingkungan untuk pemantauan non-invasif dalam pelacakan keanekaragaman dan kelimpahan spesies tanpa merusak ekosistem.
“Teknologi ini dapat sangat berguna di area yang luas dan sulit dipantau seperti laut lepas,” ungkapnya.
Kemudian, teknik bioteknologi juga bisa digunakan untuk membersihkan polutan dari lingkungan laut. Peran dan fungsi tersebut bisa ada seperti melalui evolusi perbantuan atau pembiakan selektif dapat membantu spesies beradaptasi dengan kondisi yang berubah.
Demikian pula, melakukan bioprospeksi, yang merupakan pencarian senyawa kimia yang bernilai komersial di alam, akan melibatkan penerapan pedoman. Tujuannya, agar manfaat yang diperoleh dari sumber daya genetik laut dapat dibagikan kepada masyarakat global, termasuk negara-negara berkembang.
“Menyelaraskan inovasi bioteknologi dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan yang berkelanjutan, sangat penting untuk mengatasi tantangan konservasi laut yang kompleks,” tegas dia.
Potensi Ekonomi Laut Berkeadilan
Beberapa waktu lalu, Direktur Program Keamanan Maritim dan Akses Keadilan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Grace Binowo mengatakan kalau BBNJ bisa menjadi panduan bagi seluruh negara di dunia, karena wilayah dasar laut memiliki potensi besar dari sisi ekonomi.
Potensi ekonomi tersebut, tidak lain adalah sumber daya genetik di laut (marine genetic resources/MGR) yang bisa dimanfaatkan oleh semua negara dengan cara yang adil. Itu artinya, distribusi manfaatnya harus bisa berlaku adil dan merata, dengan pemanfaatan lebih spesifik di luar komoditas perikanan.
Kemudian, pemanfaatan MGR dilakukan untuk kepentingan seluruh Negara dan demi manfaat kemanusiaan. Terutama, manfaat kemajuan ilmu pengetahuan kemanusiaan, serta mendorong konservasi dan pemanfaatan kehati yang berkelanjutan.
“Dengan pertimbangan khusus untuk kepentingan dan kebutuhan Negara-Negara berkembang, seperti tertuang dalam Pasal 10 Perjanjian BBNJ,” terang dia.
Peneliti IOJI Andreas Aditya Salim menjelaskan bahwa perjanjian BBNJ mengatur seluruh sumber daya yang ada di dasar laut dan atau yang sesekali melayang di permukaan air dan kemudian jauh ke dasar laut.
Dasar laut sendiri masuk ke dalam zona landas kontinen bersama kawasan dasar laut internasional (the area). Melalui BBNJ, diatur utilisasi Deoxyribose Nucleic Acid (DNA), yaitu asam nukleotida yang merupakan komponen kimia utama kromosom dan merupakan bahan yang menyusun gen.
Kekayaan DNA masuk dalam kategori sumber daya genetik di laut (marine genetic resources/MGR). Pemanfaatannya dilakukan oleh banyak kalangan seperti peneliti, akademisi, dan industri. Sumber daya DNA juga menjadi kunci pengembangan sebuah riset.
Dia mengungkapkan, BBNJ menjadi penting untuk riset DNA, karena laut didominasi oleh sumber daya benthic yang ada di dasar laut. Secara keseluruhan, hanya dua persen saja sumber daya yang berasal dari pelagis.
“Lingkungan benthic menjadi bagian terbesar dan terhebat dari kehidupan laut,” ucapnya.
Diketahui, naskah perjanjian BBNJ adalah perjanjian yang disepakati dengan ilmuwan, pemerhati lingkungan, dan organisasi konservasi dengan tujuan untuk melindungi laut lepas dari eksploitasi.
Laut lepas yang dimaksud, adalah kawasan perairan laut yang terletak di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan dikelola oleh setiap negara berbeda. Namun, dari 64 persen laut lepas yang berada di luar batas teritorial ini, hanya 1,2 persen saja yang sekarang sudah dilindungi. (***)