- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Muhaimin Syarif, bekas Ketua DPD Partai Gerindra sebagai terdakwa dalam kasus korupsi suap dan gratifikasi terpidana Abdul Gani Kasuba, bekas Gubernur Maluku Utara. Muhaimin disebut jadi makelar yang bertransaksi dengan gubernur dua periode itu perihal proyek hingga pengurusan 57 wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) di Maluku Utara.
- Muhaimin mendapat keistimewaan mengurusi puluhan WIUP yang ditengarai bukan hanya miliknya, juga beberapa antara lain, milik taipan tambang hingga kepunyaan menantu mantan Presiden Joko Widodo dengan kode “Blok Medan.”
- Gita Ayuatikah, peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) mengatakan, korupsi suap dan gratifikasi terpidana Abdul Gani mencerminkan pengawasan dan tata kelola lemah hingga terjadi konflik kepentingan. Juga budaya praktik patronase menguat, dalam hal ini pemberian kemudahan kepada Muhaimin dalam proses penerbitan izin tambang.
- Egi Primayogha, Kepala Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, penyebab praktik korupsi pertambangan marak tidak tunggal. Ada faktor pengawasan lemah, regulasi tidak cukup kuat menutupi praktik kotor, hingga penegakan hukum tidak berjalan semestinya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Muhaimin Syarif, bekas Ketua DPD Partai Gerindra sebagai terdakwa dalam kasus korupsi suap dan gratifikasi terpidana Abdul Gani Kasuba, bekas Gubernur Maluku Utara. Muhaimin disebut jadi makelar yang bertransaksi dengan gubernur dua periode itu perihal proyek hingga pengurusan 57 wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) di Maluku Utara.
Muhaimin diduga menyogok Abdul Gani uang Rp4, .477 miliar untuk mengelabui aturan pengurusan perizinan tambang demi puluhan WIUP. Penerbitan surat rekomendasi WIUP dibahas bersama Abdul Gani di Hotel Bidakara, Jakarta. Dia meminta Abdul Gani mempermudah pengurusan WIUP.
Saat pertemuan, Suryanto Andili, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Malut dan Bambang Hermawan, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) juga hadir.
“Abdul Gani Kasuba kemudian memerintahkan kepada Suryanyo Andili dan Bambang Hermawan untuk memberikan kemudahan terhadap usulan WIUP dari terdakwa [Muhaimin],” kata Rony Yusuf, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dikutip dari Tempo, saat memeriksa saksi pada sidang perdana Muhaimin Syarif di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Ternate, 2 Oktober lalu.
Dalam kesaksian, Suryanto mengakui Abdul Gani meminta membantu mengurusi perizinan WIUP yang Muhaimin usulkan. Sebagai bawahan di Pemerintahan Maluku Utara, dia selalu mengikuti arahan dari Abdul Gani dan mengakui pembahasan itu berlangsung di Jakarta.
Abdul Gani juga menghubungi Yerrie Pasilia, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Maluku Utara untuk membantu Muhaimin untuk pembuatan surat kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) untuk usulan WIUP yang akan Muhaimin ajukan.
Sedang, Abdul Gani sudah vonis 8 tahun penjara, denda Rp300 juta dan membayar uang pengganti Rp109 milir dalam perkara suap dan gratifikasi. Saat ini, tim hukumnya mengajukan banding lantaran putusan pengadilan dinilai tidak sesuai fakta persidangan.
***
Perkara keistimewaan puluhan WIUP yang Muhaimin urus ditengarai bukan hanya miliknya. Dia juga terlibat mengurus perizinan milik beberapa taipan pengusaha tambang usulan dari 57 WIUP. Empat blok tambang yang tercatat dalam pengurusan Muhaimin bahkan sudah diumumkan pemenangnya oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Februari 2024, yaitu, Blok Kaf, Blok Marimoi, Blok Lelilef Sawai, dan Blok Foli.
Beberapa terungkap milik David Glen Oei, Komisaris Utama PT Mineral Trobos. David tidak menggubris pertanyaan wartawan usai diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus penerimaan suap dan tindak pidana pencucian uang terpidana Abdul Gani di gedung KPK.
Hubungan Muhaimin dan David Glen sudah berlangsung lama. Muhaimin pernah duduk di kursi jajaran PT Mineral Trobos, perusahaan yang David dirikan. Beberapa perizinan tambang David yang lolos diduga adalah Blok Kaf di Halmahera Tengah dan Blok Foli di Halmahera Timur.
Konsesi Blok Kaf dimenangkan PT Mineral Jaya Molagina, sedangkan Blok Foli ditender PT Wasile Jaya Lestari, dua perusahaan dengan mayoritas saham milik PT Mineral Trobos. Sedang, Blok Marimoi di Halmahera Timur dan Blok Lelilef Sawai, Halmahera Tengah dimenangkan PT Aneka Tambang (Antam), perusahaan pelat merah.
Sebelumnya, Muhaimin juga dikaitkan dengan pengurusan WIUP kode “Blok Medan” yang sempat muncul dalam fakta persidangan awal Agustus 2024. Muhaimin disebut lebih tahu istilah Blok Medan yang diduga merujuk pada izin usaha pertambangan (IUP) yang terkait Bobby Nasution, suami Kahiyang Ayu, putri mantan Presiden Joko Widodo.
Muhaimin merupakan staf ahli Abdul Gani. Dalam pusaran korupsi, dia diperksa sebagai tersangka pada kasus suap pengurusan perizinan IUP operasi produksi PT Prisma Utama.
Muhaimin tercatat sebagai komisaris sekaligus pemegang saham Prisma Utama. Di perusahaan ini, ada juga nama Maison Lengkong, pemilik saham sekaligus direktur. Maison tercatat sebagai Wakil Sekretaris DPD Partai Gerindra Maluku Utara. Salah satu pemilik saham Prisma Utama adalah Nurul Izza Kasuba, anak bungsu Abdu Gani, juga sebagai komisaris.
Dalam urusan bisnis, Muhaimin juga tercatat sebagai komisaris dan pemegang saham PT Fajar Gemilang, perusahaan keluarga Abdul Gani. Di perusahaan ini, putra sulung gubernur, Muhammad Thariq Kasuba, memegang posisi sebagai komisaris utama sekaligus pemegang saham mayoritas. Ada juga nama Nazlatan Ukhra Kasuba, anak Abdul Gani lain, sebagai komisaris dan pemegang saham.
Di luar kasus Muhaimin, banyak pula pejabat daerah, elit politik pengusaha tambang dan relasi bisnis yang tersandera kasus suap dan gratifikasi sekaligus tindak pidana korupsi terpidana Abdul Gani.
Sementara, fakta-fakta yang baru terungkap dalam persidangan juga mengindikasikan afiliasi terang-terangan penguasa dengan para pengusaha tambang di Maluku Utara dan partai politik.
Faisal Ratuela, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara mengatakan, lembaga antisurah harus terus menelusuri fakta-fakta persidangan lebih dalam. Dia menduga, masih banyak pejabat atau pengusaha tambang terlibat kasus korupsi suap dan gratifikasi bekas gubernur itu.
Menurut Faisal, KPK mesti menelusuri juga izin-izin yang sudah lolos selama Abdul Gani menjabat sebagau Gubernur Malut antara 2013-2018 dan 2018-2023. Selama dua periode itu tercatat ada 53 izin pertambangan terbit.
Data Walhi Malut menyebut, Maluku Utara terbebani 127 izin pertambangan dan sebagian besar berstatus operasi produksi. Termasuk, pembangunan pabrik (smelter) pengolahan dan pemurnian bijih nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan.
Kerugian sosial-ekologi
Izin-izin tambang yang terbit masa Abdul Gani maupun konsesi WIUP usulan Muhaimin, kata Faisal, berkontribusi terhadap kehancuran ekologi di Malut. Bencana ekologis yang belakangan terjadi di wilayah-wilayah pertambangan dan kawasan industri nikel di provinsi ini berkorelasi dengan korupsi di sektor perizinan dan penerbitan izin tambang yang ugal-ugalan.
“Saya kira, indikasi kuat bagaimana kasus Abdul Gani menyeret orang partai seperti Muhaimin, kemudian para pejabat dan pengusaha tambang lain tidak bisa terpisahkan dengan kerugian negara dengan ekologis,” katanya.
Egi Primayogha, Kepala Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, penyebab praktik korupsi pertambangan marak tidak tunggal. Ada faktor pengawasan lemah, regulasi tidak cukup kuat menutupi praktik kotor, hingga penegakan hukum tidak berjalan semestinya.
Dalam kasus korupsi pertambangan, katanya, ada kerugian negara secara finasial yang hilang. Misal, terkait royalti, kalau terjadi korupsi setoran bisa hilang dan negara rugi, padahal tujuan utama pengelolaan sumber daya alam mesti bermanfaat kepada publik, tetapi itu tak terjadi.
Selain itu, katanya, terjadi kerugian lingkungan yang seringkali tidak dianggap sesuatu yang sama pentingnya dengan kerugian finansial oleh aparat penegak hukum.
“Dalam kasus korupsi pertambangan, yang dihitung hanyalah kerugian keuangan negara bahkan nilai suapnya, tapi seberapa besar dampak kerusakan lingkungan tidak dihitung, baik wilayah yang rusak, atau kerugian warga sekitar. Itu tidak dilihat.”
Pembuktian kerugian ekologis penting agar tak hanya menghitung uang negara yang dicuri, juga kerugian lingkungan. Terpenting, bagi Egi, ketika ada kerugian lingkungan harus dipastikan uang hasil perhitungan kerugian lingkungan itu kembali kepada perbaikan daerah yang rusak, bukan hanya kepada negara.
“Alokasikan lagi kembali pada lingkungan yang sudah dirusak karena korupsi. Yang dihitung tidak hanya sebagai kerugian negara, harus betul-betul juga dihitung untuk menutupi kerusakan lingkungan oleh para koruptor.”
Tata kelola buruk
Gita Ayuatikah, peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) mengatakan, korupsi suap dan gratifikasi terpidana Abdul Gani mencerminkan pengawasan dan tata kelola lemah hingga terjadi konflik kepentingan. Juga budaya praktik patronase menguat, dalam hal ini pemberian kemudahan kepada Muhaimin dalam proses penerbitan izin tambang.
Menurut Gita, hubungan erat, baik dalam hal pribadi maupun politik, antara pejabat daerah dan perusahaan tambang sangat berpengaruh terhadap proses penerbitan izin. Apalagi, kalau perusahaan tidak memenuhi syarat perlindungan lingkungan dan sosial.
“Kasus korupsi Abdul Gani dengan memberikan keistimewaan kepada Muhaimin sebagai pejabat partai yang mengurusi puluhan blok WIUP memberikan contoh gamblang tumpang tindih kewenangan antara politisi-pebisnis di politik elektoral, patronase yang merupakan lahan subur terjadinya korupsi,” katanya.
Dalam penelitian TI Indonesia menemukan fakta ada 16 kerentanan risiko korupsi terhadap perizinan usaha pertambangan. Ada hubungan erat antara pemerintah, politisi, dan pebisnis industri pertambangan yang bahkan seringkali bertumpang susun tak hanya terjadi dalam tingkat politik lokal. Beberapa kajian mengonfirmasi, penyusunan kebijakan yang ada tak terlepas dari kepentingan binsis tambang dan energi kotor.
“Mahalnya ongkos politik membuat politisi mencari cara mengganti ongkos politik yang sudah dihabiskan untuk mengikuti pemilu.”
Pengusaha tambang menyadari, dengan memberikan donasi politik, mereka akan mendapatkan imbalan lewat izin yang terbit oleh politisi yang berhasil menjabat di kursi eksekutif maupun legislatif.
Tingginya ketergantungan pelaku usaha pada peraturan pemerintah dan perizinan, katanya, sangat terkait dengan poltik dan pejabat politik. Kondisi itu, katanya, mendorong makin marak indikasi konflik kepentingan secara signifikan dalam tata kelola pertambangan di Indonesia.
Kalau merujuk pada skor Corruption Perception Index (CPI) yang TI Indonesia rilis, setiap tahun terjadi penurunan. Pada 2023, memperlihatkan respon terhadap praktik korupsi cenderung berjalan lambat bahkan terus memburuk akibat minim dukungan nyata dari para pemangku kepentingan.
Pada 2023, terjadi penurunan skor paling dalam di angka 34 karena konflik kepentingan antara pebisnis dan pejabat publik makin kentara.
Untuk itu, kata Gita, pemerintah harus mengimplementasikan aturan konflik kepentingan dan mesti mulai dari kabinet presiden baru. Dengan begitu, katanya, mendorong perusahaan tambang tak merekrut direksi dan komisaris yang tergolong politically-exposed persons (PEPS).
Temuan lain, pebisnis yang dulu jadi sponsor bagi partai politik kemudian ditunjuk menjadi pejabat publik (revolving door-keluar-masuk pintu) masih marak terjadi. Ada juga perusahaan yang belum transparan menginformasikan kebijakan dan proses interaksi antara perusahaan dengan pejabat publik atau politisi.
Kondisi ini, katanya, mengkhawatirkan karena konsesi politik dapat mengarah kepada konflik kepentingan. Dampaknya, bisa memberikan keistimewaan berlebihan kepada pengusaha dalam bentuk kebijakan, pemberian subsidi dan intesif yang bisa mengarah pada policy capture. “Selain mendorong agenda pencegahan korupsi di korporasi, pemerintah juga perlu memprioritaskan transparansi keterlibatan politik perusahaan,” kata Gita.
Egi juga menerangkan beberapa hal agar praktik korupsi sektor sumber daya alam ini ditekan. Pertama, para pejabat harus mendeklarasikan potensi konflik kepentingan yang mereka miliki dengan pengusaha di sektor sumber daya alam kepada publik luas. Kalau itu tidak dilakukan, konflik kepentingan akan mempengaruhi kebjiakan atau keputusan ketika menjabat.
Kedua, perketat pengawasan. Pengawasan bisa dari pemerintahan eksekutif dan masyarakat. Ketiga, perkuat penegakan hukum. Karena seringkali aparat penegak hukum tidak serius bahkan, terlibat dalam praktik-praktik kotor industri pertambangan.
Dalam korupsi sumber daya alam Abdul Gani, kata Egi, tak hanya berhenti pada hukuman penjara, juga penelurusan pencucian uang, lalu perampasan aset. Seringkali, katanya, vonis pidana, tak cukup memberikan efek jera kepada koruptor.
“Aspek perampasan aset juga penting supaya mereka [koruptor] dimiskinkan dan ada efek jera.”
********
Kala Kasus Korupsi Tambang Nikel Mantan Gubernur Malut Seret Keluarga Jokowi