- Pembangunan Bendungan Mbay (Lambo) di Nusa Tenggara Timur, yang masuk proyek strategis nasional ini terus lanjut. Tanah-tanah masyarakat termasuk perempuan adat di sana mulai berganti dari pemukiman, kebun sampai tempat pengembalaan pun jadi proyek bendungan.
- Daerah terdampak bendungan antara lain, Desa Rendubutowe, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Mata pencaharian para perempuan adat di Rendubutowe adalah petani, peternak, dan penenun. Ketiganya berhubungan erat dengan alam.
- Mia Siscawati, peneliti kajian-kajian gender sekaligus Ketua Prodi Kajian Gender, Sekolah Kajian Strategik dan Global, Universitas Indonesia (UI), mengatakan, pembangunan bendungan ini perlu kritik serius. Ada dua hal perlu jadi perhatian, yaitu, soal infrastruktur bendungan dan hak masyarakat adat, termasuk hak-hak perempuan adat.
- Siti Maimunah, peneliti agraria, doktor dari Universitas Passau, Jerman mengatakan, pembangunan skala besar seperti bendungan ini akan mengubah lanskap geografis dan sosial masyarakat. Bukan sekadar kondisi geografis dari lahan pertanian menjadi bendungan yang berubah, perubahan itu bersifat berlapis. Hal ini akan melahirkan orang-orang miskin baru dampak perubahan dan pemindahan ruang hidup warga.
Kampung Malapoma, Desa Rendubutowe, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, makin sibuk dalam beberapa bulan terakhir. Warga tengah membangun rumah sederhana dengan material kayu dan bambu beratapkan seng. Jumlah tak sampai 10 rumah, dengan jarak berjauhan.
Mereka membangun rumah untuk warga terdampak pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Lambo (Mbay).
Ada 111 warga Desa Rendubutowe mendapatkan lahan masing-masing seluas 20×40 meter. Lahan itu bukan dari Pemerintah Daerah Nagekeo atau pemerintah pusat, tetapi inisiatif tokoh-tokoh adat dan kepala desa. Mereka tidak tahan menunggu kepastian dari pemerintah.
Mereka hanya diberi janji dapat tempat relokasi, namun tak ada sejengkal tanah pun pemerintah berikan kepada warga sebagai tempat relokasi.
Di tengah pembangunan Bendungan Lambo (Mbay) yang terus lanjut itu, warga Desa Rendubutowe yang terdiri dari Suku Redu, Isa, Gajah, menolak pembangunan, terlebih para perempuan. Orang setempat biasa menyebut ‘mama’ kepada perempuan yang sudah menikah. Mama-mama kuat menolak dengan segala daya dan upaya.
Kami mengunjungi rumah di seberang jalan, milik mama Imelda Dheta, rumah kayu berukuran 5×7 meter, gunakan kerangka kayu, dinding bambu, dan atap seng. Terdapat satu jendela di sisi kanan dan sisi kiri. Alasnya diplester dengan semen, tampak sekat ruang kamar belum selesai. Sisa-sisa potongan bambu di luar rumah masih belum beres.
Kami lanjut jalan kaki menuju rumah kayu di atas bukit, Bukit Boadona. Sembari berjalan, mama-mama menunjukkan lahan-lahan mereka di kejauhan. Sebagiantanah itu biasa mereka tanami pohon jati, kemiri, jambu mete, kelapa, mahoni, dan lain-lain.
Sebagian terlihat kosong, bagi mereka itu bukan ‘tanah kosong’ tidak berguna, itu tempat menggembala ternak atau tempat cari pakan ternak. Sebagian lain, tanah tadah hujan untuk menanam tanaman pangan seperti padi saat musim hujan.
Kristina Ito, tidak kuasa meratapi tanahnya yang tergusur untuk proyek bendungan. Perempuan 61 tahun ini bingung, tidak tahu lagi akan melanjutkan hidup bila tanah sebagai sumber penghasilan tak ada lagi.
Dia punya empat petak tanah dengan sekitar 6 hektar yang tergusur untuk bendungan.
“Mama ada 10 pohon (kemiri), sudah buah semua. Ini kena dampak, ini bagaimana? Hancur,” katanya Agustus lalu.
“Kami ada kalanya satu sampai tiga juta (dalam) satu minggu (dari menjual) jambu mete,” kata Maria Magdalena Ngole, yang duduk di samping Kristina.
Tiga petak kebun Maria terkena dampak pembangunan. Satu kebun jambu mete, dua tanah untuk bermacam-macam tanaman. Bila sudah musim, dia tanam padi di tanah tadah hujan. Panen terakhir April lalu, dia hasilkan 40 karung gabah dari sekitar 80 kg bibit. Satu karung gabah bisa sampai 80 kg, kalau jadi beras sekitar 53 kg.
Mata pencaharian para perempuan adat di Rendubutowe adalah petani, peternak, dan penenun. Ketiganya berhubungan erat dengan alam. Dari tenun saja, satu sarung kain bisa laku Rp800.000-Rp1 juta, sedangkan satu selendang bisa laku Rp200.000. Harga kain tenun tergantung ukuran dan motif.
Kristina membesarkan dan merawat anak-anaknya dari tiga sumber penghasilan itu. Dia punya tiga anak, dua sudah sarjana, satu lagi tidak kuliah. Demikian juga Maria, dia punya tujuh anak, empat lulus kuliah, dua masih kuliah dan satu tak kuliah. Anak-anak mereka sebagian kuliah ke berbagai kota besar di Indonesia seperti di Jakarta dan Yogyakarta.
“Ini makanya tadi mama datang (ke) sini, mama lihat ini tanah-tanah, mama ada tanah. Jadi kalau mama punya tanah kalau sudah gusur begini mama hidup dari mana?” kata Kristina.
Tanah adalah hidup mereka, ruang hidup mereka, tempat mata pencaharian mereka. Sejak pembangunan Bendungan Lambo mulai lagi, tidak henti-henti mereka melawan.
Mama-mama kokoh membela hak-hak mereka. Puluhan kali mereka melakukan penolakan, pengadangan, protes, atau semacamnya. Kendati mama-mama ini sudah lanjut usia, mereka tidak gentar.
Dua perempuan lebih paruh baya, Bibiana Doe, dan Anggela Mersiana Mau, sampai pingsan saat bentrok dengan aparat keamanan di lokasi pembangunan pada 2016.
Bibiana bilang, sejak ada pembangunan bendungan, hidup mereka sengsara.
“Kami pagar betis, mereka datang dorong kami. Macam kami ini bukan manusia,” kata Bibiana, mengenang peristiwa 7 Juni 2016.
Tak henti-henti para perempuan melakukan perlawanan. Pernah suatu ketika, secara spontan, mereka aksi buka baju saat berhadap-hadapan dengan aparat keamanan di sekitar lokasi pembangunan. Ada sembilan perempuan gagah berani menentang pembangunan itu membuka baju.
Lusia Gai, pernah kena amankan polisi saat aksi. Pada 2021, Lusia bersama warga lain aksi di pintu masuk Bendungan Lambo. Mereka duduk berjajar di gerbang masuk menuju lokasi pembangunan infrastruktur. Laki-laki–perempuan.
Saat itu akan ada upacara adat dari masyarakat pro terhadap pembangunan. Warga adat terpecah antara kontra dan pro.
Saling klaim terkait yang paling berhak atas lahan pun terjadi. Dari pro ada pengamanan polisi. Bentrok, saling dorong, pun tak terhindar. Sebanyak 24 orang kelompok kontra pembangunan ditangkap polisi dan dibawa ke Polres Nagekeo, termasuk Lusia.
Hermina Mawa—akrab dipanggil Mama Mince—dalam kejadian sama– saat berhadap-hadapan dengan polisi sempat kena borgol.
“Pada 4 Oktober 2021, saya diborgol … dan setelah saya diborgol (di hari yang berbeda), saya ditipu oleh teman-teman polisi bahwa mereka dari media.”
Mince mengamati wajah oknum-oknum yang mengaku wartawan itu. Wajah yang tak asing baginya. Dia duga ada yang tidak beres dengan gerak-gerik oknum yang mengaku wartawan itu. Belum lama dia amati orang-orang itu, buru-buru pamit pulang.
“Saya tanya, ‘kenapa ko harus pulang, kita kan diskusinya belum selesai,’” kata Mince.
Mince tak gentar. Dia malah mempersilakan kalau mau membawanya ke kantor polisi. Mama-mama di sekitar Mince juga mengutarakan hal sama. Mereka ingin diborgol seperti Mince. Mereka tidak takut.
“Penjarakan saya, saya siap, anak saya sudah besar, mereka sudah bisa cari makan. Penjarakan!,” kenang Mince atas ucapannya itu tempo hari.
Polisi melepaskan borgol Mince.
Sejatinya, kata Mince, mereka tak menolak pembangunan. “Masyarakat yang terkena dampak ini bukan tolak pembangunan, tapi tolak lokasi pembangunan,“ katanya.
Konon, pembangunan bendungan itu untuk mengairi 6.000 hektar sawah, tetapi sisi lain warga harus kehilangan rumah, lahan, kebun, dan berbagai sumber penghasilan. Tanah 20×40 tak mencukupi kebutuhan hidup, mereka tidak bisa bertani seperti biasa dengan pekarangan sesempit itu.
Lahan-lahan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat, baik untuk pertanian atau ternak, dicap sebagai lahan tidur oleh pemerintah.
“Pemerintah menyampaikan itu lahan tidur, tapi bagi kami bukan lahan tidur. Karena sapi kerbau kami lepas. Mereka makan sendiri di sini,” kata Mince.
Kini, para perempuan di Rendubutowe tak lagi melakukan perlawanan secara frontal, trauma masih tertanam dalam kepala mereka sampai saat ini, terutama saat penangkapan 24 orang pada aksi 4 Oktober 2021.
Mince bilang, warga tidak lagi banyak menggelar aksi karena takut polisi. Padahal, tugas polisi seharusnya melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat sipil, yang terjadi sebaliknya.
Andrey Valentino, Kapolres Nagekeo, mengatakan, sejauh ini tidak ada prosedur khusus polisi dalam menangani para demonstran perempuan.
Sejak dia dilantik jadi Kapolres awal 2024, tak ada lagi bentrokan atau intimidasi terhadap warga. Ke depan, dia akan melakukan pendekatan humanis dalam menyelesaikan masalah di lapangan.
Dia duga, polisi yang mudah terpancing melakukan kekerasan di lapangan adalah para polisi muda yang baru selesai pendidikan. Emosinya, belum terkendali dengan baik. Untuk membatasi mereka, dia akan turun langsung ketika ada konflik di masyarakat.
Lukas Mere, Sekretaris Daerah Nagekeo, mengatakan, tujuan utama pembangunan bendungan ini untuk ketahanan pangan, dan pengairan sawah.
Untuk relokasi warga terdampak, dia bilang tidak relokasi selama ini dan masih akan identifikasi meski proyek pengerjaan sudah berjalan sejak 2021.
“Kita identifikasi kebutuhan rumah tangga itu dan bisa ditransmigrasikan,” katanya, 22 Agustus.
Seandainya, warga mau tetap tinggal di Nagekeo, Pemerintah Nagekeo akan carikan lokasi buat pemukiman. “Kalau kita pertimbangkan, mereka transmigrasi maunya ke mana.”
Pemiskinan masyarakat adat
Siti Maimunah, peneliti agraria, doktor dari Universitas Passau, Jerman mengatakan, pembangunan skala besar seperti bendungan ini akan mengubah lanskap geografis dan sosial masyarakat. Bukan sekadar kondisi geografis dari lahan pertanian menjadi bendungan yang berubah, perubahan itu bersifat berlapis.
Ketika sungai-sungai yang berfungsi menghidupi wilayah-wilayah sekitar harus tenggelam, dalam waktu bersamaan akan terjadi keterputusan sistem ekologis dan riwayat pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Bukan sekadar riwayat manusia yang tinggal di atasnya, kata Mai, juga hubungan sosial ekologis wilayah itu.
“Misal, bicara ganti rugi, sama sekali tidak ada keadilan … selayak apapun itu tidak layak. Itu sesuatu yang tidak bisa dibenarkan sebenarnya, model ganti rugi itu, secara akal sehat,” katanya kepada Mongabay.
Ketika warga harus pindah ke tempat lain, dituntut untuk beradaptasi dengan tempat baru, bukanlah sesuatu yang mudah. Sama halnya, sistem persawahan dengan pembangunan Bendungan Lambo ini. Warga, katanya, biasa sawah tadah jadi menjadi sawah intensif.
Dalam konteks sawah intensif, ada paket sistem pertanian yang mengiringi, seperti penggunaan pestisida.
Mai bilang, hal ini akan melahirkan orang-orang miskin baru dampak perubahan dan pemindahan ruang hidup warga. Warga yang tidak lagi punya sumber daya alam memadai tidak punya penghasilan karena tanah sudah habis. Mereka di bagian hulu yang hidup biasa terjamin oleh alam dengan tanah dan sungai, katanya, jadi hidup melarat dan miskin.
Bila bicara pembangunan, kata Mai, harus satu paket dari hulu sampai hilir. Ketika warga di bagian hulu tidak ada ruang hidup, membiarkan warga terkatung-katung tanpa tanah, tanpa relokasi, adalah pelanggaran berat pemerintah.
Dia pun mempertanyakan siapa pemilik sawah-sawah di bagian hilir itu. “Itu sebenarnya, PSN ini, PSN yang sama sekali tidak bertanggung jawab,” tegas penulis buku Keadilan Gender dalam Perubahan Iklim itu.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pernah memantau langsung kehidupan warga adat di sekitar PSN Bendungan Mbay. Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, mengatakan, satu sisi warga Nagekeo membutuhkan air, tetapi nalar tata kelola lahan pemerintah sama sekali berbeda dengan masyarakat atau komunitas di sana.
Pemerintah menggunakan nalar perseorangan hingga yang mereka lakukan sekadar ganti rugi (uang) yang tidak setimpal dengan ruang hidup yang hilang.
Salah satu titik kritis yang mengkhawatirkan, katanya, konflik horizontal, termasuk juga konflik turunan yang akan terjadi kepada para perempuan seperti akan maraknya pelecehan seksual.
“Semestinya ada proses mitigasi bencana dan mitigasi konflik yang bisa lebih merepresentasikan antisipasi terhadap konflik-konflik yang berlangsung maupun dampak-dampak yang berbasis gender bagi perempuan,” katanya.
Sedangkan uang ganti rugi tidak serta merta menguntungkan perempuan, terlebih ketika tidak dibarengi dengan pendampingan dan pemberdayaan perempuan. Kekerasan rumah tangga menjadi bayang-bayang menakutkan bagi perempuan dalam pusaran konflik sumber daya alam.
“Ini aspek-aspek yang harusnya menjadi perhatian yang lebih komprehensif ya dalam penyelenggaraan tata kelola lingkungan termasuk juga dalam perencanaan proyek-proyek strategis nasional.”
Mia Siscawati, peneliti kajian-kajian gender sekaligus Ketua Prodi Kajian Gender, Sekolah Kajian Strategik dan Global, Universitas Indonesia (UI), mengatakan, pembangunan bendungan ini perlu kritik serius.
Ada dua hal perlu jadi perhatian, yaitu, soal infrastruktur bendungan dan hak masyarakat adat, termasuk hak-hak perempuan adat.
Mia bilang, pembangunan bendungan di banyak tempat, terutama di negara maju, sudah mendapat kritik dan digugat sejak lama karena bukan hanya ruang hidup masyarakat yang hilang tetapi pengetahuan mereka.
“Sebetulnya sudah mulai dipertimbangkan upaya-upaya lain untuk mengatasi kekurangan air tidak dengan cara membangun atau pembangunan infrastruktur yang justru proses pembangunannya menambah emisi karbon, ” katanya, September lalu.
Bagi Mia, persoalan ini bukan sekadar permasalahan sepetak-dua petak lahan, tetapi ruang hidup masyarakat. Bila pemerintah mau mengatasi persoalan air, ada cara-cara lain yang bisa dilakukan secara ilmu pengetahuan dan sungai-sungai bisa dibiarkan kembali mengalir secara alami.
Persoalan di Nagekeo ini, katanya, mewakili wajah Indonesia karena wilayah yang jadi bendungan itu ruang hidup masyarakat adat.
Dia juga singgung soal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat masih minim. Rancangan Undang-undang tentang Masyarakat Adat lebih 10 tahun ada di DPR tetapi tidak kunjung pengesahan.
Tidak ada Undang-undang perlindungan masyarakat adalah inilah, kata Mia, menunjukkan minim perhatian negara dalam mengakui hak-hak perempuan adat atau masyarakat adat secara keseluruhan.
“Akibatnya rekognisi atas pengetahuan perempuan adat dan pengetahuan masyarakat adat, termasuk pengetahuan untuk mengatasi krisis air tentu tidak diperhatikan.”
*******