Polemik Penambangan Pasir Laut Merusak Lingkungan, Begini Kata KKP

2 weeks ago 16
  • Aturan pengambilan sedimentasi laut dalam PP 26 tahun 2023 terus menuai penolakan dari masyarakat nelayan dan organisasi lingkungan.
  • Unjuk rasa penolakan sampai ke kantor KKP di Jakarta, nelayan berbagai daerah datang menyampaikan aspirasi menolak aturan itu.
  • Ditengah penolakan tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Wahyu Sakti Trenggono tetap menegaskan pentingnya aturan ini untuk pendapatan negara dan menjaga laut agar sehat.
  • Mongabay Indonesia mendapatkan kesempatan wawancara mendalam bersama Juru Bicara KKP Wahyu Muryadi disela-sela kunjungan Menteri KP ke Batam beberapa waktu lalu. Wahyu menanggapi berbagai penolakan itu dan tegaskan penambangan pasir laut akan terus lanjut kecuali presiden memutuskan untuk dihentikan.

Puluhan perwakilan nelayan berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Kamis (10/10/2024) lalu. Di hari yang sama Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono dan beberapa jajarannya melakukan kunjungan kerja ke Kota Batam, Kepulauan Riau.

Dalam sela-sela kunjungannya, Menteri Trenggono kembali menegaskan pemanfaatan sedimentasi laut atau pasir laut bukan untuk merusak, tetapi membersihkan laut. “Justru (sedimentasi laut) diambil karena punya manfaat besar untuk kepentingan pemasukan negara,” katanya. “Kalau (sedimentasi pasir laut) tak diambil jadi pulau-pulau baru. Kalau jadi pulau-pulau baru masyarakat tidak bisa melaut dan akhirnya masyarakat tidak bisa budidaya,” katanya usai membuka kawasan modeling budidaya lobster di Batam, Kamis (10/10/2024).

Dikesempatan yang sama Juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi menanggapi aksi unjuk rasa yang dilakukan nelayan di depan kantor KKP. Ia juga menjelaskan alasan Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2023 soal sedimentasi laut terus dijalankan meskipun menemukan banyak penolakan. “Wajar mereka (masyarakat pesisir) khawatir, yakinilah apa yang kami lakukan jauh dari apa yang mereka khawatirkan,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Salah satu tuntutan nelayan dalam unjuk rasa tersebut adalah, khawatirnya mereka aktivitas pengambilan sedimentasi laut merusak ekosistem laut yang menjadi nafkah nelayan selama ini. Wahyu menanggapi, “Kalau merusak ekologi dan merugikan nelayan, di aturan itu sudah dijelaskan, kalau merusak kita hentikan (pemanfaatan sedimentasi laut itu),” katanya yang berada di atas Kapal Orca menuju ke perairan Kabil Batam untuk melihat dua kapal pasir laut yang beroperasi ilegal di Batam.

Baca : Diamankan KKP, Dua Kapal Asing Curi Pasir Laut di Batam untuk Singapura

Petugas PSDKP KKP berjaga di kapal pengeruk pasir laut yang ditangkap di perairan Batam, Kamis 10 Oktober 2024. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

Alasan Peraturan Sedimentasi Laut

Wahyu menjelaskan asal muasal aturan PP 26 ini muncul, KKP melihat sedimentasi laut yang ada di beberapa titik perairan Indonesia merusak karang-karang hijau. Sehingga berdasarkan undang-undang lingkungan, KKP wajib membersihkannya supaya laut sehat.

Kata Wahyu, KKP tidak mempunyai anggaran dan teknologi yang memadai untuk membersihkan sedimentasi laut yang dianggap merusak itu. Namun, banyak perusahaan yang berminat melakukan pekerjaan ini, tanpa KKP harus mengeluarkan anggaran.

Saat ini melalui beauty contest lelang dari 70 lebih perusahaan, diseleksi tahap awal menjadi 66 perusahaan. “Nanti diseleksi lagi, kita lihat kapalnya, siapa pembelinya, dan lainnya,” katanya.

Bahkan negara mendapatkan untung ketika aktivitas betul-betul dijalankan. “Jadi sedimentasi ini negara bisa ngontrol, lautnya dibersihkan oleh orang lain, negara tidak keluarkan rupiah sepeserpun. Malahan kita dapat triliunan rupiah dari situ,” lanjutnya.

KKP: Yang Dijual Pasir Laut, Bukan Lumpur

Presiden Joko Widodo pernah menjelaskan bahwa yang dikeruk adalah pasir laut hasil sedimentasi laut yang merusak karang dan mengganggu jalur pelayaran.

Wahyu Muryadi menjelaskan, sedimentasi laut itu terdiri dari pasir laut, lumpur dan mineral berharga lainnya. Namun yang akan dijual oleh perusahaan adalah pasir lautnya. Sedangkan lumpur nantinya akan dibuang di tempat yang tidak merusak lingkungan.  “Tidak mungkin menjual lumpur,” katanya.

Baca juga : Menyoal Aturan Buka Keran Ekspor Pasir Laut Indonesia

Aktivitas penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Foto : independensi.com

Tidak semua perairan memiliki sedimentasi, pengambilan sedimentasi itu hanya di titik tertentu yang sudah dikaji oleh parah ahli. Dari hasil kajian itu ada besar, luas, bahkan ketebalan sedimentasi.

Sehingga, perusahaan yang mengerjakan ini nantinya tidak boleh di luar itu. Perusahaan yang akan melakukan sedot pasir nantinya juga memiliki teknologi yang bisa memisahkan partikel-partikel dalam sedimentasi laut tersebut.

Meskipun ada cela kecurangan itu, katanya, KKP menerapkan pengawasan, meletakan para petugas pengawas di kapal, pengawasan melalui kapal surveilans dan pengawasan satelit. KKP juga tidak bekerja sendiri tetapi nanti ada pengawasan yang dibantu Polair, Bakamla dan TNI AL.

Proses perizinan pemanfaatan sedimentasi laut, lanjutnya, tak hanya di KKP, tetapi ada tiga kementerian lainnya yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Perdagangan. KKP hanya mengeluarkan izin pemanfaatan sedimentasi laut dan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

Setelah itu perusahaan harus mendapatkan izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dari KLHK. “Kalau tak dapat izin Amdal KLHK tidak bisa (dilakukan penambangan). Setelah itu ekspor (izinnya) di Kementerian Perdagangan,” katanya.

Menurut Wahyu, selain untuk membersihkan laut menurut KKP, hasil pengerukan sedimentasi laut nantinya juga akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan reklamasi di tanah air. Selama ini KKP melihat, tanah atau pasir untuk reklamasi didapatkan dari cara yang ilegal.

Ke depan Indonesia membutuhkan banyak pasir untuk reklamasi seperti teluk Jakarta, Surabaya, dan lainnya. “Banyak KEK (kawasan ekonomi khusus) yang mau direklamasi. Kalau betul terjadi (reklamasi) darimana barangnya (pasir atau tanah)? ilegalkan? seperti yang pernah terjadi di Pulau Rupat, Riau,” katanya.

Baca juga : Permen Sedimentasi Laut Rampung, Walhi: Bukti Bluewashing Pemerintah

Perahu nelayan dengan latar belakang tambang pasir kuarsa di Pulau Lingga, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

Nelayan Karimun Terdampak Penambangan Pasir Laut

 Wahyu juga menanggapi nasib nelayan Kepri yang terdampak aktivitas pemanfaatan pasir laut. Sebelumnya Mongabay Indonesia memberitakan keluhan nelayan Kepri itu berjudul “Mengancam Lingkungan dan Berkonflik Sosial, Nelayan Kepri Tolak Penambangan Pasir Laut”.

Menurut Wahyu, nanti nelayan terdampak akan dapat ganti rugi. “Itu kan (kejadian jaring nelayan rusak di Karimun akibat pengambilan sampel sedimentasi laut) contoh kecil, nanti diganti dong,” katanya.

Wahyu menjelaskan, kegiatan di Karimun itu hanya pengambilan sampel saja, untuk melihat apakah ada endapan sedimentasi atau tidak. Katanya kalau tidak ada (sedimentasi laut) tidak akan dilakukan pengerukan pasir lanjutan.

“Kalau hasil pengambilan sampel memang ada ada (sedimentasi lautnya) berdarasarakan temuan tim kajian, maka akan dilakukan pembersihan itu tadi, tentu dengan menghitung nelayan agar tidak dirugikan,” katanya.

Selain itu menurutnya, penolakan selama ini misalnya dari Politisi Gerindra hanya meminta KKP untuk melakukan pertimbangan. “Kita sudah pertimbangkan masak-masak, kecuali yang memerintah untuk dihentikan program ini Presiden, beda cerita,” lanjutnya.

Baca juga :  Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?

Penambangan pasir di Pulau Tern, Safety Bay, Australia Barat. Foto: Calistemon melalui Wikimedia Commons (CC BY-SA 4.0).

Permintaan masyarakat untuk ditundanya PP 26 ini, katanya, tidak ada dasarnya. Kalau ada dasar keilmuannya bisa dipertimbangkan. Termasuk pernyataan KNTI Bintan yang menyebutkan selama ini nelayan atau pihak pelayaran tidak pernah mengeluhkan adanya sedimentasi tersebut. “KNTI dasar mereka apa, mereka saintis?,” tanya Wahyu.

Dia juga berkomentar terkait keluarnya nama politisi dan kerabat pejabat negara sebagai pemilik perusahaan yang akan melakukan sedot sedimentasi laut. “Wajar, siapapun boleh (mengajukan izin pemanfaatan sedimentasi laut), inikan diumumkan terbuka, beauty contest,” katanya.

Saat ditanyakan terkait terjadinya konflik sosial nelayan di lapangan. Wahyu mengaku tidak mengetahui teknis sosialisasi di lapangan. Tetapi menurutnya, ke depan kalau ada pihaknya tidak puas, harus didengarkan oleh pemerintah.

Begitu juga adanya temuan di lapangan titik pengambilan sedimentasi laut tepat berada di fishing ground nelayan, Wahyu akan mencoba memeriksa hal itu. “Nanti kita cek ke KKP, kompensasi harus disiapkan, tidak boleh ada yg dirugikan,” pungkasnya. (***)

Ekspor Pasir Laut: Ancam Ekosistem dan Masyarakat, untuk Kepentingan Siapa?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|