- Aktivitas penangkapan yang tidak berkelanjutan seperti penggunaan alat tangkap yang merusak habitat dasar laut atau sungai, bisa menyebabkan kerusakan pada ekosistem.
- Pengelolaan perikanan berkelanjutan masih menghadapi berbagai kendala, salah satunya yaitu keterampilan nelayan dalam menangkap ikan masih banyak yang eksploitatif.
- Untuk itu, pengelolaan kawasan konservasi dan jumlah penangkapan harus diatur melalui tata kelola perikanan yang berkelanjutan.
- Kegiatan penangkapan ikan harus dikendalikan atau dikelola secara benar, bertanggung jawab, adaptif, dan berbasis ekosistem berdasarkan panduan internasional maupun nasional.
Pemanfaatan komoditas sumber daya ikan, baik di perairan laut maupun sungai kerapkali tidak memperhatikan daya dukung yang ada. Dampaknya, keberlanjutan populasi ikan menjadi menurun, terutama bagi spesies yang mempunyai laju reproduksi lambat. Hal ini bisa menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem perairan.
Disamping itu, aktivitas penangkapan yang tidak berkelanjutan, seperti penggunaan alat tangkap yang merusak habitat dasar laut atau sungai, bisa menyebabkan kerusakan pada ekosistem yang mendukung kehidupan ikan dan organisme lain.
Untuk itu, aktivitas penangkapan komoditas laut ini harus bisa berjalan beriringan antara pemanfaatan dan konservasi. Hal ini diungkapkan Mohammad Natsir, Ketua Kelompok Riset Kapasitas dan Perilaku Penangkapan Ikan, Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam Bincang Alam Mongabay Indonesia, pekan lalu.
Menurut Natsir -sapaan akrabnya- sejauh ini yang berkembang di kalangan peneliti masih terjadi perdebatan yang ekstrem antara aliran konservasionis dan caputre fisheries yang jalurnya merupakan jalur perikanan tangkap.
“Sedangkan kalau saya ini disclaimer–nya adalah harus hand in hand, antara konservasi dan pemanfaatan perikanan memang harus berjalan beriringan, saling support,” katanya. Dengan begitutujuan perbaikan sumber daya laut ini mampu tercapai.
Dari laporan The State of World Fisheries and Aquaculture-FAO (2022) Natshir mengungkapkan, Indonesia merupakan produsen ikan tangkap laut lepas terbesar kedua di dunia, jumlahnya mencapai 6,8 juta ton di bawah Republik Rakyat Tiongkok. Sedangkan perikanan budi daya produksinya bertengger di urutan nomor tiga terbesar sedunia, jumlahnya mencapai 5,8 juta ton. Sehingga kalau ditotal jumlahnya 12 juta ton.
Baca : 10 Tahun Kebijakan Perikanan: Realita Perikanan Berkelanjutan Indonesia
Peta Pengelolaan Perikanan
Untuk memudahkan monitoring, klasifikasi dan rencana tindak lanjut pengelolaan sumber daya perikanan di negara yang mempunyai 17.508 pulau ini, Natshir menjelaskan, pemerintah sudah membaginya menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Diantaranya yaitu perairan Indonesia, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI), sungai, danau, waduk, rawa, genangan air lainnya hingga lahan pembudi daya ikan.
Pembagian wilayah pengelolaan ini, didasarkan pada kondisi fisik, ekologi, dan oseanografi perairan Indonesia. Disamping itu, pembagian wilayah tersebut juga mengacu pada kodefisikasi FAO.
Dia contohkan, kode 571 misalnya, meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Berikutnya adalah 572 yang meliputi perairan Samudra Hindia Sebelah Barat Sumatra dan Selat Sunda, serta 573 yang mencakup perairan Samudra Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat.
“Mengapa kita menggunakan kodefikasi ini? Karena ini merupakan kode statistik dari FAO,” terangnya.
Natshir melanjutkan, berdasarkan spesiesnya, produksi perikanan tangkap di Indonesia dibagi menjadi 10 jenis. Diantaranya adalah perikanan pelagis kecil, ikan karang, cumi-cumi, lobster, ikan demersal, ikan pelagis besar (non tuna sejenis tuna), rajungan, udang, kepiting, tuna dan sejenis tuna.
Selain jumlah produksi jenis ikan, produksi perikanan tangkap di Indonesia juga didukung ketersediaan armada perahu maupun kapal perikanan yang cukup banyak. Ia paparkan, berdasarkan data yang ada, jumlahnya mencapai 1.081.002 kapal dengan berbagai kategori ukuran.
“Walaupun ini mungkin perlu juga kita lakukan verifikasi sebenarnya, dari total kapal ini yang aktif berapa?,” ungkapnya.
Baca juga : Prinsip Perikanan Berkelanjutan Belum Populer
Tantangan Perikanan Berkelanjutan
Bila armada penangkapan ikan terus bertambah, Natshir berpandangan, pengelolaan kawasan konservasi dan jumlah penangkapan harus diatur melalui tata kelola perikanan yang berkelanjutan.
Hal ini menjadi penting karena tata kelola perikanan tangkap di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti beragamnya alat tangkap maupun spesies yang menjadi target tangkapan nelayan.
Dia menyebutkan, berdasarkan data statistik yang ada, untuk alat tangkap ikan di Indonesia jumlahnya ada sekitar 89 jenis. Sementara, jenis ikan tangkapan jumlahnya ada 620 spesies.
Menurut Natshir, dengan banyaknya jenis alat tangkap itu menimbulkan terjadinya kompetisi antar jenis alat tangkap nelayan yang menargetkan jenis-jenis ikan yang sama. Ikan tuna misalnya, komoditas andalan sektor perikanan tangkap ini menjadi target tangkapan nelayan baik itu yang menggunakan alat tangkap pancing ulur, pole and line, dan rawai tuna.
Kondisi ini juga berlaku untuk ikan jenis kerapu yang diperebutkan nelayan dengan alat tangkap yang berbeda-beda. “Ini menjadi tantangan manakala kita melakukan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di Indonesia,” terangnya.
Tantangan lain, yaitu tidak adanya lisensi bagi nelayan-nelayan kecil. Dilain sisi, masih banyak dijumpai hasil tangkapan nelayan yang tidak didaratkan di pelabuhan perikanan resmi. Hal ini menyebabkan hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan resmi tidak terdata dengan baik.
Padahal, ketelusuran jenis ikan atau perilaku penangkapan nelayan ini menjadi penting sebagai strategi dalam pengambilan keputusan kebijakan.
Dalam pengelolaan perikanan ini, Natshir mengungkapkan, sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1 ayat 7, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Namun, dalam praktiknya masih sering luput di lapangan.
Untuk itu, ia menegaskan kegiatan penangkapan ikan harus dikendalikan, atau dikelola secara benar, bertanggung jawab, adaptif, dan berbasis ekosistem berdasarkan panduan Internasional maupun nasional.
“Pengelolaan perikanan memerlukan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi bersama,” tandasnya. Karena meskipun mampu berkembang biak, keberadaan sumber daya ikan ini bila tidak dikelola dengan baik maka dikhawatirkan ketersediaannya di alam akan habis.
Kekhawatiran bertambah, sebab masih banyak yang beranggapan bahwa sumber daya ikan di laut tidak ada kepemilikan. Sehingga siapapun bisa mengakses. “Hal yang penting yang perlu menjadi perhatian juga bahwa keberadaan laut, danau, waduk, sungai masih dianggap sebagai tempat untuk pembuangan limbah,” pungkasnya.
Baca juga : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara
Penangkapan Ikan Terukur
Sejak memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2021, Wahyu Sakti Trenggono membuat kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) untuk mengelola perikanan di Indonesia.
Kebijakan PIT untuk mengelola perikanan secara terkendali dan proporsional yang dilakukan di zona penangkapan ikan terukur, berdasarkan kuota penangkapan ikan untuk keberlanjutan dan kelestarian sumber daya ikan serta pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kebijakan PIT itu meliputi pengaturan penangkapan ikan berdasarkan sistem kuota penangkapan yang terbagi tiga kelompok yaitu kuota industri, nelayan lokal/tradisional, dan kuota hobi; perizinan penangkapan dan kapal serta pembagian zona penangkapan pada seluruh WPPNRI.
Kebijakan PIT direncanakan diterapkan pada awal 2022, akan tetapi tertunda karena berbagai hal terutama belum siapnya stakeholder perikanan dari KKP, industri perikanan sampai sosialisasi kepada nelayan kecil. KKP menargetkan kebijakan PIT bakal diberlakukan mulai 1 Januari 2025 di seluruh wilayah WPPNRI. (***)