- Masyarakat Pesisir Kecamatan Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, rasakan kehidupan sulit di laut maupun di darat. Ikan mulai sulit mereka dapatkan, hasil kebun kelapa pun anjlok.
- Ikan makin sulit dan melaut makin menjauh. Di daratan, kebun-kebun kelapa tergerus terdampak abrasi. Berbagai persoalan jadi penyebab, antara lain, dampak perubahan iklim.
- Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi mendesak, pemerintah buat skenario jangka panjang dalam konteks adaptasi perubahan iklim. Model dan regulasi, tidak perburuk kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir yang selama ini sudah sulit. Juga tidak perparah krisis atau meminggirkan nelayan hingga mereka makin menderita.
- Ketika ruang hidup masyarakat hilang, terpaksa pindah tempat baru. Dengan begitu, akan ada migrasi dan pengungsi. Negara harus bertanggungjawab karena yang beri izin ‘pembangunan’ dan proyek yang membuat masyarakat terusir.
Muhammad, berhenti total melaut dan menyewakan kapal ke nelayan lain di Desa Tanjung Melayu, Kecamatan Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau dengan sistem bagi hasil. Dia mau fokus mengurus kebun kelapa.
Lebih dari separuh usianya, dia habiskan sebagai nelayan. Meski begitu, jauh hari, sudah berancang-ancang menyisihkan sebagian penghasilan buat beli kebun. Alasannya, dia menengok hasil laut tak lagi menjanjikan.
Dia bilang, sulit mendapat ikan, melaut makin jauh. Cuaca pun tak menentu. Terkadang terhalang gelombang tinggi. Sekarang, lebih sering tekor ketimbang sekadar balik modal. Berkebun kelapa jadi alternatif baginya.
Muhammad punya 12 baris kelapa. Tiap baris berdiri 35 pohon. Jarak tanam sekitar tujuh meter. Ini cara masyarakat petani kelapa di Indragiri Hilir menghitung luas kebun, bukan dengan satuan hektar. Ada juga yang punya 50 baris. Dengan lahan itu, Muhammad biasa hasilkan 12.000-15.000 kelapa.
Sekitar lima tahun terakhir, panen menyusut drastis tinggal 5.000 biji. Penyebab, dia duga air asin masuk dalam kebun.
“Kelapa tak berkurang. Hanya, biasa satu pokok dapat 20 buah, sekarang paling banyak tiga buah,” kata Muhammad.
Padahal, dari dulu, petani Tanjung Melayu tak pernah gunakan pupuk kimia. “Mereka rawat kebun secara alami dan rajin bersihkan semak.”
Krisis iklim itu tambah menyulitkan Muhammad, ketika harga kelapa tidak sebanding dengan modal pengelolaan kebun per tiga bulan panen. Setidaknya Rp2.500 per kilogram kelapa kupas baru terhitung cukup untuk penghasilan petani. Saat ini, harga jual petani hanya Rp1.800 per kilogram.
Muhammad membandingkan dengan harga bahan pokok yang terus naik. Misal, harga sekampit atau sekarung beras ukuran 20 kilogram Rp300.000. Sementara, 100 kilogram kelapa Rp2.000 per kilogram sudah pasti tidak cukup buat beli beras.
Masyarakat Tanjung Melayu biasa beli beras per karung, bukan per kilogram. Dulu harga beras masih kisaran Rp100.000-Rp200.000. Kenaikan harga kebutuhan dasar ini tidak disertai kenaikan harga kelapa. Bahkan rata-rata panen petani kelapa seperti Muhammad pun ikut berkurang.
Ketika hasil kelapa mampu menutupi kerugian melaut, Muhammad bahkan masih untung walau mengupah orang merawat hingga memanen kebun. Dia pakai modal sendiri. Bagi hasil pun separuh dari penjualan kelapa.
Murahnya harga kelapa karena tidak ada penampung lokal. Petani Tanjung Melayu mesti menunggu kedatangan pembeli dari Desa Teluk Pinang, Kecamatan Gaung Anak Serka. Kalau mau harga sedikit lebih tinggi mereka harus antar langsung tetapi harus sewa kapal dan bayar upah bongkar-muat. Pilihan kedua lebih banyak ruginya.
Muhammad berhenti melaut dan beralih ke kebun kelapa ternyata sama rumitnya. Sekarang, dia buka kedai harian yang menyediakan kebutuhan pokok dan bahan-bahan rumah tangga.
“Kuncinya jangan malas. Serba salah juga. Kalau kebun dan laut tak ada hasil, siapa mau belanja di kedai ini? Kita tidak bisa berusaha sendiri. Usaha kita tergantung usaha orang lain. Saling tolong menolong,” kata Muhammad.
Asparizal, sebaliknya. Sejak bujangan, dia petani kelapa di Desa Bidari Tanjung Datuk, Kecamatan Mandah. Sepuluh tahun terakhir, dia alih jadi nelayan. Awalnya, sebagai anak buah kapal. Kini, punya perahu sendiri buat mencari udang menggunakan sondong, alat tangkap jaring yang diikat pada dua batang kayu.
Dia biasa dapat udang tenggek, udang loreng maupun udang rebus (udang pantai) biasa diolah jadi terasi. Harga masing-masing udang bervariasi, kisaran Rp5.000-Rp 45.000 per kilogram.
Asparizal mengeluhkan hasil melaut berkurang drastis. Akhir-akhir ini, dia lebih sering libur terutama saat musim angin dan gelombang tinggi. Terkadang karena tak ada modal buat persediaan minyak. Maklum, sondong merupakan alat tangkap aktif. Artinya, perahu harus terus bergerak.
Belum lagi memikirkan biaya perawatan perahu dan perbaiki mesin ketika ada kerusakan. Karena itu, dua bulan terakhir, dia menaikkan perahu. Dia sekarang menebas rumput atau bersihkan kebun kelapa orang alias buruh tani.
Situasi rumit itu juga menimpa Dahlan, tetangga Asparizal. Kini, dia kerja serabutan. Siapa pun butuh tenaga, dia akan mengerjakannya termasuk jadi buruh bangunan. Melaut sudah jarang, hanya sekali-kali kalau ada kekurangan anak buah kapal.
Sebelumnya, Dahlan punya kebun kelapa jauh di Desa Bente, tetapi masih Kecamatan Mandah. Mengurusi kebun bersama istri, dia rutin panen kelapa 2.000-3.000 biji per tiga bulan. Sekarang, kebun sudah tenggelam. Dia bahkan berhari-hari tak kerja.
Serba bisa mengerjakan apapun di tengah keadaan ekonomi tak menentu juga dilakukan Sahudin, kerabat Dahlan. Meski lima tahun belakangan jadi nelayan, dia tetap bertani dengan mengelola separuh kebun kelapa yang pemiliknya tidak tinggal di desa itu.
Sahudin memastikan kebun kelapa tetap produktif dengan cara rutin menebas semak hingga mengeluarkan hasil panen. Pemilik kebun sekadar terima bersih hasil penjualan dari penampung. Sahudin kebagian setengah dari pendapatan yang diperoleh tiap tiga bulan.
Bagi Sahudin, jadi petani penggarap juga tidak mudah. Dia harus mengeluarkan modal sendiri dengan pinjaman ke tauke atau mengutang terlebih dahulu di warung. Bila pemilik kepun ingin buah kelapa keluar lebih cepat, dia harus cari tenaga tambahan dan bayar upah sendiri.
Tak jarang tekor setelah hitung-hitungan hasil panen. Terutama ketika harga kelapa tiba-tiba anjlok. Petani ingin Rp3.000 per kilogram kelapa kupas tetapi hanya Rp2.000 pernah Rp1.000.
Salah satu penyebab harga petani murah karena rantai distribusi panjang. Petani jual ke penampung lokal, selanjutnya ke penampung desa sebelah, sebelum ke pabrik.
“Penampung lokal tidak punya DO (delivery order). Sementara pabrik tak mau terima buah kelapa yang dijual bebas. Lagi pula, jarak Desa Bidari Tanjung Datuk ke pabrik kelapa di PT Pulau Sambu (Guntung, Kecamatan Kateman) cukup jauh. Harus sewa kapal lagi,” kata Sahudin.
Ada dua sebab lagi, kenapa petani kelapa di Bidari Tanjung Datuk kerap rugi. Pertama, tak dapat mengeluarkan buah berhari-hari karena air dari dalam parit atau kanal kering. Kedua, produksi tidak menentu. Petani seperti Sahudin, biasa panen 5.000 biji, sekarang hanya 2.000 buah kelapa.
Di Bidari Tanjung Datuk, hampir separuh luasan kebun kelapa musnah. Dulunya, sepanjang sungai berderet tanaman kelapa dengan buah dan daun lebat yang menopang kehidupan masyarakat.
“Kelapa di Dusun Selatan ini paling tinggal 40% lagi. Itupun juga terancam kalau tak ditanggul. Usaha untuk buat tanggul sudah beberapa kali minta ke pemerintah. Bulan ke bulan. Tahun ke tahun belum ada sampai sekarang,” katanya.
Belum ada solusi permanen mengatasi masalah intrusi air laut mulai dari Pulau Cawan sampai Tanjung Melayu. Pemilik kebun yang mulai terdampak atau sudah habis terendam, berharap pemerintah membangun tanggul sementara. Membangun benteng dari timbunan tanah lebih tinggi. Setidaknya, mengurangi laju kenaikan air pasang, meski lambat laun juga menipis dan jebol.
“Pantai Solop alami kerusakan pesisir. Harapannya, tanggul buat mengamankan kebun. Kalau itu ada, mau berkebun lagi. Rasanya macam nak berhenti melaut. Melaut tidak pasti. Kalau kita duduk begini (libur melaut karena gelombang besar), tapi ada kebun, tetap ada hasil,” kata Diski, nelayan Desa Pulau Cawan.
Hampir seluruh nelayan Dusun Pantai Solop, Pulau Cawan, seperti Diski punya kebun kelapa. Terutama yang tinggal di darat. Kini, bukan hanya kebun saja yang berubah jadi lumpur, pemukiman penduduk juga sebagian lenyap. Dia sudah tiga kali menggeser tempat tinggal karena abrasi.
Zaharwan, sesama nelayan juga punya kebun kelapa. Setelah kebun kelapa yang dikelola hampir 30 tahun tenggelam di Pulau Cawan, dia inisiatif bangun kebun di Bente, desa sebelah. Berbagi tugas, istri mengurus kebun, dia tetap melaut. Kadang satu minggu sekali juga berkunjung dan bantu urus kebun.
Dia lebih lama berkebun ketimbang melaut. Jadi nelayan baru 10 tahun untuk menambah pendapatan rumah tangga karena kebun tak mencukupi lagi. Buah kelapa hanya 2.000 biji. Masalah serupa, Desa Bente juga alami intrusi.
Adakah solusi?
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi, membenarkan, ruang laut dan darat sama-sama menyempit. Dampak krisis iklim, turut menurunkan kualitas lingkungan hidup dan mengancam sumber penghidupan masyarakat pesisir.
Parid mendesak pemerintah buat skenario jangka panjang dalam konteks adaptasi perubahan iklim. Model dan regulasi, tidak perburuk kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir yang selama ini sudah sulit. Juga tidak perparah krisis atau meminggirkan nelayan hingga mereka makin menderita.
“Kalau gitu, berarti disebut maladaptasi atau adaptasi keliru. Salah karena justru perparah kehidupan masyarakat,” katanya.
Dalam situasi itu, penting desain jangka panjang, seperti, evaluasi tata ruang. Tidak boleh ada karpet merah pada industri keruk dan hentikan ekspansi perkebunan sawit atau apapun yang membebani pesisir.
“Tidak bisa lagi orientasi akumulasi keuntungan jangka pendek. Karena yang dipertaruhkan kehidupan masyarakat. Kalau itu hilang, sebetulnya hilang kehidupan,” kata Parid.
Ketika ruang hidup masyarakat hilang, terpaksa pindah tempat baru. Dengan begitu, katanya, akan ada migrasi dan pengungsi. Negara harus bertanggungjawab karena yang beri izin ‘pembangunan’ dan proyek yang membuat masyarakat terusir.
Saat ini, berlangsung tahapan kampanye pemilihan kepala daerah serentak.
Zainal Arifin Hussein, Ketua Yayasan Bangun Desa Payung Negeri (BDPN), beri sejumlah masukan pada seluruh calon untuk mengatasi masalah pesisir Indragiri Hilir. Pertama, mereka harus punya agenda pemulihan kawasan terdampak, baik lingkungan, ekonomi dan sosial.
Kedua, harus punya political will—kemauan politik—untuk komunikasi dan lobi ke pemerintah pusat. Ketiga, karena ini persoalan perubahan iklim, harus punya kemampuan bicara di level dunia. Kasus ini bukan hanya soal degradasi hutan mangrove juga efek perubahan iklim.
Keempat, mereka harus mampu alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk dukung pemberdayaan ekonomi dan sosial. Karena dampak perubahan iklim menyebabkan kerusakan sumber mata pencarian masyarakat pesisir. Rentetannya, tidak bisa sekolahkan anak hingga kemiskinan meningkat.
“Itulah agenda utama yang harus dimiliki semua calon bupati dan wakilnya. Sanggupkah mereka? Kita tunggu. Sebenarnya kita ingin dengar apa rencana besar dan keinginan mereka ke arah sana. Saat ini, secara signifikan belum nampak. Belum ada benar-benar menyinggung masalah itu,” kata Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Universitas Islam Indragiri (Unisi) ini.
Dia menyentil pembangunan di Indragiri Hilir masih belum lepas dari material bakau yang banyak digunakan di ibu kota kabupaten, Tembilahan. Hutan mangrove pun terdegradasi. Kondisi ini, katanya, menunjukkan antara rehabilitasi dengan kebutuhan pembangunan tak seimbang.
Zainal meminta, pimpinan terpilih buat regulasi yang jadi komitmen pemerintah dan perusahaan dengan tak gunakan bahan baku dari kayu-kayu baku lagi. “Program pemerintah terhadap rehabilitasi dan upaya pencegahan harus senapas. Kita butuh solusi konkrit. Yang bisa lakukan itu hanya pemegang kekuasaan.”
Zulfahmi, Ketua Badan Pengurus EcoNusa, sepakat para kandidat calon Bupati dan Wakil Bupati Indragiri Hilir, harus punya perspektif pembangunan pesisir yang tergambar di beberapa desa alami keanjlokan ekonomi dampak perubahan iklim.
Pamor Indragiri Hilir penghasil kelapa terbesar di Indonesia, perlahan mulai hilang. Sejumlah daerah produsen kelapa meredup, kelapa mati karena terkena air asin. Di kebun itu, bukan hanya ada pemilik saja, ada juga tukang panen, kupas dan pekerjaan lain kaitan rantai bisnis kelapa.
Hasil pemetaan EcoNusa, pada 1999, kerusakan kebun kelapa di Indragiri Hilir masih belasan hektar. Rentang waktu 24 tahun, sudah hampir 100.000 hektar terdampak. Sekitar 75.000 hektar diperkirakan tidak lagi berproduksi.
Antara lain, penyebabnya karena penurunan permukaan tanah gambut atau alami subsiden. Juga terjadi peningkatan air laut karena perubahan iklim. “Ini buat ekonomi masyarakat di sana anjlok,” kata Zulfami.
Mengatasi masalah itu, alternatif ekonomi jangan tidak instan, tetapi perlu perhitungan dan pemerintah harus hadir memberi jaminan.
Dia contohkan, mulai merestorasi hutan mangrove. “Apakah kembali dengan tanaman kelapa dengan pola dan pertimbangan kuat, atau sebagian yang tak layak lagi harus ditanam mangrove dan komoditas adaptif dengan kondisi sekarang. Ini tidak oleh masyarakat juga pemerintah.”
Sedang mangrove jadi bahan baku pembangunan, kata Zulfami, dapat ditata dengan mengatur pola tanam dan panen.
“Sebenarnya memanen mangrove bukan sesuatu yang haram. Tapi memanen dengan serampangan itu dampaknya (buruk). Dalam jangka panjang karena punya nilai ekonomi, masyarakat bisa kelola secara berkelanjutan.”
******
Kala Masyarakat Pesisir Riau Krisis Air Bersih, Apa Upaya Pemerintah?