- Las! merupakan band di Pontianak, Kalimantan Barat, yang banyak menyuarakan isu-isu lingkungan. Mereka pun turun lapangan bersama Trend Asia, dan beberapa organisasi masyarakat sipil untuk melihat langsung kerusakan hutan dan kehidupan masyarakat adat yang kehilangan hutan mereka.
- Band Las! melihat bukit di Ketapang, Kalimantan Barat yang merupakan hutan adat sudah gundul karena pemerintah berikan izin kepada perusahaan kayu. Ada juga hutan-hutan di Sambas, Kalimantan Barat, yang sudah berganti kebun sawit dan menimbulkan konflik tenurial dengan masyarakat adat.
- LAS! tergabung dalam koalisi “No Music on a Dead Planet,” yang jadi wadah bagi musisi-musisi peduli lingkungan hidup dan krisis iklim. ‘No Music on a Dead Planet’ atau tidak ada musik di planet yang mati’ adalah narasi kampanye yang Fay Milton, drummer Savages, gaungkan lewat organisasi Music Declares Emergency (MDE) sejak 2019. Pesannya, seniman pun bisa menyampaikan pesan penting menjaga kelestarian lingkungan demi mencegah kepunahan massal.
- Bob Gloriaus, vokalis LAS! mengatakan, Tur BABLAS ini, selain menghibur, juga ingin menyebarkan informasi mengenai deforestasi dan masyarakat adat yang kehilangan hutan. Untuk itu, mereka datang ke bukit keramat untuk melihat langsung ekstraktivisme di tingkat tapak.
Bob Gloriaus dan Diaz Mraz, dua pentolan Band LAS! Menuju Bukit Sabar Bubu, Kecamatan Simpang Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat, bersama rombongan. Di bukit yang merupakan hutan adat Kualan Hilir ini tumpang tindih dengan perusahaan industri bubur kayu, PT Mayawana Persada.
Mereka menyaksikan ratusan tegakan pohon di hutan Kalimantan itu. “Dari beribu-ribu hektar ini, cuma satu pohon tersisa,” kisah Diaz, berbagi kisah di media sosialnya, September lalu.
Apa yang Diaz bagikan sangat kontras. Di belakangnya, tumpukan kayu lebih dari dua meter siap diangkut. Entah jadi bubur kertas, atau bahan bakar campuran pembangkit listrik tenaga uap.
Perjalanan Diaz dan Bob merupakan bagian dari tour BABLAS. Las! merupakan band dengan lagu-lagunya banyak menyampaikan kritik tentang eksplotasi kekayaan alam di Kalimantan.
Band Las!Pontianak tidak sendiri. Ada dari Trend Asia membersamai mereka yang menceritakan penyebab Bukit Sabar Bubu tandus.
Dua puluh tahun lalu, wilayah adat itu masih hijau. Pada 2002, masyarakat menetapkan Bukit Sabar Bubu Tonah Colap Torun Pusaka atau hutan adat. Ada surat kesepakatan bersama oleh lembaga pemangku adat, dengan warga kampung tetangganya. Surat ini ternyata kalah kuat.
Warga harus tunduk pada aturan hukum negara yang tak berpihak pada mereka. Alih-alih surat penetapan sebagai hutan adat, pemerintah malah memberi izin kepada korporasi.
Pada 2019, mereka baru tahu bukit keramat dengan hutan bertutupan rapat itu malah terbabat dan berganti dengan tanaman akasia.
Belum lagi, sepanjang jalan ketika mau menuju desa itu mereka melewati konsesi sawit, yang juga menggerus hutan. Apa yang tertuang dalam lirik “Borneo is Calling” LAS!, terpampang nyata.
Peduli lingkungan
LAS! tergabung dalam koalisi “No Music on a Dead Planet,” yang jadi wadah bagi musisi-musisi peduli lingkungan hidup dan krisis iklim.
“Sebagai band yang dikenal masyarakat setempat, kerja sama dengan LAS! berpotensi memperluas jangkauan kampanye ini, sekaligus memberikan keterlibatan langsung kepada para generasi muda terkait ancaman deforestasi di daerah mereka,” ujar Zamzami Arlinus, Direktur Komunikasi Trend Asia.
‘No Music on a Dead Planet’ atau tidak ada musik di planet yang mati’ adalah narasi kampanye yang Fay Milton, drummer Savages, gaungkan lewat organisasi Music Declares Emergency (MDE) sejak 2019. Pesannya, seniman pun bisa menyampaikan pesan penting menjaga kelestarian lingkungan demi mencegah kepunahan massal.
Dalam beberapa dekade terakhir banyak bencana terjadi seperti banjir bandang, gelombang panas, badai es, longsor, angin kencang, dan kekeringan. Ia diyakini sebagai dampak kerusakan lingkungan. Karena itu, musisi jadi agen perubahan menyampaikan pesan lebih luas kepada masyarakat.
Di Indonesia, MDE terbentuk resmi pada Hari Bumi, 22 April 2023. Deklarasi ini jadikan Indonesia sebagai negara pertama di Asia yang tergabung dalam gerakan global ini. Deklarasi ini ditandatangani lebih 3.000 seniman, 15.000 organisasi, dan lebih 1.000 individu di seluruh Indonesia.
“Deklarasi ini bentuk musisi merespon krisis iklim, dan ingin menyatukan semangat perjuangan dalam musik,” kata Bob Gloriaus, vokalis LAS!.
Menurut dia, krisis iklim berdampak pada semua termasuk musisi, yang menghadapi tantangan karena ketidakpastian cuaca dan kondisi alam saat menggelar konser.
Tur BABLAS ini, katanya, selain menghibur, juga ingin menyebarkan informasi mengenai deforestasi dan masyarakat adat yang kehilangan hutan. Untuk itu, mereka datang ke bukit keramat untuk melihat langsung ekstraktivisme di tingkat tapak.
Selain Trend Asia, organisasi masyarakat sipil juga ikut mendukung aksi ini. Ada Lingkaran Advokasi & Riset Borneo (Link-Ar Borneo), Walhi Kalbar, dan beberapa organisasi lain.
Terbabat sawit
Ketapang, menjadi pembuka perjalanan mereka. Tour lanjut ke Sambas. LAS! melihat dari dekat bagaimana konsesi sawit cukup massif di kabupaten ini.
Menurut BPS, pada 2023 terdapat 259.551 hektar perkebunan sawit swasta di Sambas. Di daerah ini, konflik warga dengan perusahaan bukan hanya tenurial juga antara perusahaan dengan warga atau buruh sawit.
Belum lama ini, pada 28 Agustus lalu, terjadi insiden perusakan dan pembakaran pabrik sawit PT Wana Hijau Semesta (WHS) di Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan Besar, Sambas. Bentrok ini sudah kali kedua. Kejadian diduga terpicu kebijakan perusahaan terkait penerimaan pembelian tandan buah sawit.
Setahun sebelumnya, buruh dari 29 perusahaan miliki Surya Darmadi di seluruh Kalimantan Barat, terutama di Sambas dan Bengkayang aksi mogok kerja. Aksi ini lantaran perusahaan lalai menjalankan kewajiban serta menerapkan kebijakan yang merugikan buruh. Dari sini, LAS! merasakan pengalaman dengan perspektif berbeda.
Mereka dibawa untuk melihat lebih dekat bagaimana lingkungan terjadi di darat, juga berdampak pada sungai. LAS! mengarungi sungai Kapuas dari Kecamatan Tayan.
Di sana, mereka juga bertukar kisah dengan warga, perempuan-perempuan yang mencari ikan di sungai, tetua masyarakat yang berkisah tentang sungai mereka sebelum terusik indusktri ekstraktif. Sungai Kapuas adalah nadi Kalimantan Barat. Sungai ini moda transportasi pertama yang menyimpan ragam budaya masyarakat dari hulu ke hilir.
Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia mencapai 1.143 kilometer, melewati tujuh kabupaten di Kalimantan Barat. Sungai ini dihuni lebih 700 jenis ikan dengan sekitar 12 jenis ikan langka dan 40 jenis terancam punah.
Perjalanan mereka selama tur meninggalkan kesan mendalam. Bob terinspirasi semangat Masyarakat Adat Dayak yang berjuang melawan perusahaan-perusahaan besar yang mengeksploitasi hutan mereka.
“Melihat bagaimana nyali mereka dalam menentang korporasi membuat saya merasa kecil. Ini pelajaran baru bagi kami,” kata Bob.
Berdasarkan analisis Global Forest Watch 2002-2020, Kalbar sudah kehilangan sekitar 1,25 juta hektar hutan primer. Ketapang merupakan penyumbang kehilangan tutupan pohon 816.000 hektar, lalu Sintang 516.000 hektar. Kemudian Sanggau 414.000 hektar, dan Kapuas Hulu 308.000 hektar.
Zamzami mengatakan, Kalbar merupakan lokasi yang memiliki hutan cukup besar namun deforestasi terjadi juga besar.
“Dalam investigasi kolaborasi media beberapa bulan lalu menunjukkan, deforestasi hutan Kalbar yang terbesar se-Indonesia,” katanya.
*******
Was-was Bencana Kala Perusahaan Babat Hutan dan Gambut di Kalbar