Mengenang Nur Hidayati, Kegigihan Sang Pahlawan Lingkungan Hidup

6 days ago 8
  • Nur Hidayati, tokoh pejuang lingkungan hidup, berpulang pada 5 November lalu. Sejak belia, perempuan kelahiran 14 Agustus 1973 ini sudah mendedikasikan diri untuk menyuarakan isu lingkungan hidup. Dia pernah jadi Country Representative Greenpeace Indonesia dan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
  • Yaya, begitu sapaan akrab, Nur Hidayati, terkenal dengan keteguhan dan kegigihan dalam melawan praktik-praktik eksploitasi korporasi skala besar yang  jadi ancaman bagi lingkungan hidup.
  • Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)  mengenang persahabatan bersama Nur Hidayati. Dia banyak belajar dari Yaya bagaimana membangun basis akar rumput untuk memperkuat gerakan perlindungan masyarakat adat. Sahabatnya itu, jadi support system bagi AMAN dalam perjuangan hak-hak masyarakat adat.
  • Khalisah Khalid, Manager Public Engagement and Action Greenpeace Indonesia menjadi saksi ketika Yaya berada di garis depan dalam mengkritik korporasi perusak lingkungan.  Yaya sosok perempuan yang memiliki kepemimpinan sangat kuat. Dia banyak belajar dari Yaya terkait bagaimana memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat secara bersama-sama, sekaligus melakukan perlawanan atas ketidakadilan.

“Kuat-kuat yaa kalian menghadapi pemerintahan baru!!” Itu pesan terakhir Nur Hidayati, aktivis lingkungan kepada Rukka Sombolinggi,  Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Dewi Kartika Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melalui grup WhatsApp mereka bertiga, Oktober lalu.

Pada 5 November lalu, Yaya,  begitu sapaan akrab tokoh perempuan pejuang lingkungan hidup ini berpulang setelah sekitar 18 bulan berjuang melawan penyakit kanker.

Perempuan kelahiran Surabaya, 14 Agustus 1973 itu sejak belia sudah menyuarakan isu-isu lingkungan hidup. Lulus dari Fakultas Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1997,  langsung terjun ke dunia advokasi lingkungan.

Antara lain organisasi lingkungan tempatnya bernaung adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Greenpeace.  Yaya pernah jadi Country Representative Greenpeace Indonesia. Dalam peran ini, dia memimpin berbagai upaya penanggulangan dampak perubahan iklim dan mempromosikan energi terbarukan.

Pada 2016, Yaya jadi Direktur Eksekutif Walhi Nasional sampai 2021. Sebelumnya, dia jadi Kepala Departemen Advokasi Walhi, dan terlibat dalam sejumlah kegiatan lintas organisasi, salah satu, bersama Greenpeace.

Dia juga terkenal karena keteguhan dan kegigihan dalam melawan praktik-praktik eksploitasi korporasi skala besar yang  jadi ancaman bagi lingkungan hidup. Dalam masanya, Yaya menangani sejumlah kasus besar, seperti pencemaran lingkungan yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar seperti PT Indorayon—kini PT Toba Pulp Lestari—, PT Newmont Pacific Nusantara, dan PT Freeport Indonesia.

Yaya tak takut mengkritik dan melawan praktik korporasi yang mengancam lingkungan hidup.

Rukka Sombolinggi, mengenang persahabatan bersama Yaya, yang dia kenal tahun 2000. Rukka merasa banyak belajar dari Yaya bagaimana membangun basis akar rumput untuk memperkuat gerakan perlindungan masyarakat adat.

Sahabatnya itu, katanya, juga jadi support system bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam perjuangan hak-hak masyarakat adat.

Pada 2015, kedua sahabat ini bahkan berkolaborasi dengan membawa nama AMAN dan Greenpeace Indonesia membuat organisasi nirlaba yang mereka dedikasikan untuk mempromosikan pengembangan dan adopsi energi terbarukan: Enter Nusantara (Energi Terbarukan untuk Nusantara).

Mereka jadi pelopor organisasi pemuda yang peduli lingkungan dan krisis iklim.

Enter Nusantara bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya energi terbarukan, dan peran penting memerangi perubahan iklim. Rukka dan Yaya percaya salah satu solusi penting menghadapi krisis iklim ialah dengan mengadvokasi dan mendorong energi terbarukan yang berkeadilan.

Keakraban mereka makin intens kala Yaya menjabat sebagai Direktur Eksekutif Nasional Walhi periode 2016-2021 dan Rukka sebagai Sekjen AMAN sejak 2017. Sahabat mereka, Dewi Kartika, juga jadi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2019.

Rukka bilang, mereka bertiga cukup dekat karena sering berkolaborasi bersama.

“Kami bertiga sangat dekat. Bahkan, kami bertiga memiliki grup WhatsApp tersendiri agar mudah berkomunikasi. Di grup itu juga kami kerap saling mengkritik, dan saling mendukung satu sama lain,” kata Rukka Sombolinggi kepada Mongabay.

Dia beruntung mengenal Yaya. Apalagi,  beberapa kali Yaya membantu AMAN untuk promosi ke donor, ketika dia jadi Konsultan Program Indonesia Initiative Climate and Land Use Alliance (CLUA).

Kepergian Yaya seperti mimpi. Perempuan yang dia kenal sangat tangguh memperjuangkan kelestarian lingkungan itu, banyak memberikan pelajaran kepada dirinya bersama teman-teman anggota AMAN. Yaya bagai “mutiara” bagi AMAN.

Dewi Kartika melalui melalui grup WhatsApp bertiga yang beri mereka nama ‘trio kwek-kwek’. Pesan terakhir kepada Rukka dan Dewi adalah “Kuat-kuat yaa kalian menghadapi pemerintahan baru!!”

Dewi Kartika, tak menyangka Yaya pergi begitu cepat. Dalam pesan Yaya pertengahan Oktober lalu dia katakan kesehatan membaik dan berniat membuat kajian tentang pangan untuk melawan proyek pengembangan pangan skala besar (food estate).

“Mbak Yaya itu kerennya, meskipun sakit tidak pernah lupa memotivasi kami. Dia selalu kasih semangat. Dia ingin lihat kami terus bergerak. Jadi, apapun langkah yang saya ambil, ataupun progres-progres yang terjadi, saya dan Rukka selalu update.”

“Saya kehilangan banget.”

Dewi memandang Yaya sebagai support system. Perhatian Yaya tercermin lewat dukungan Walhi ketika KPA mendesak perbaikan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria dan penolakan pada Rancangan Undang-undang Pertanahan.

“Kami membutuhkan banyak dukungan untuk pastikan agenda reforma agraria dapat dijalankan secara penuh,” katanya.

Di luar aktivisme, Dewi mengenal Yaya sebagai kakak yang selalu memberi penguatan dalam situasi sulit. Dia juga sering mengingatkan Dewi untuk menjaga dan memeriksakan kesehatannya. “Gara-gara pesannya, saya pertama kali check up. Kira-kira tiga bulan lalu saya kabarin ke Mbak Yaya (sudah check-up).”

Nur Hidayati atau akrab disapa Yaya (berdiri) dalam proses pemilihan direktur eksekutif nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XII di Palembang, 28 April 2016. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

Konsisten dan berani

Selain menjadi sosok mentor dan sahabat yang selalu berdiri di garis depan dalam menghadapi tantangan perusakan lingkungan, Yaya juga dikenal sebagai perempuan yang sangat kritis dan cukup berani. Selama kepemimpinannya di Walhi, dia konsisten mengkritik agresivitas pembangunan infrastruktur yang tak memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.

Bagi Yaya, proyek-proyek yang merusak lingkungan, seperti reklamasi dan pembangunan infrastruktur besar, bisa mengancam ketahanan pangan dan kehidupan masyarakat lokal. Yaya juga tercacat sangat aktif dalam mengadvokasi isu-isu terkait kerusakan hutan dan praktik korupsi di sektor sumber daya alam.

Khalisah Khalid, Manager Public Engagement and Action Greenpeace Indonesia menjadi saksi ketika Yaya berada di garis depan dalam mengkritik korporasi perusak lingkungan. Alin, sapaan akrabnya, menyebut Yaya sebagai salah satu perempuan yang menginspirasinya ketika dia masih mahasiswa dan relawan Walhi pada 1998.

Alin bilang, Yaya sosok perempuan yang memiliki kepemimpinan sangat kuat. Dia banyak belajar dari Yaya terkait bagaimana memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat secara bersama-sama, sekaligus melakukan perlawanan atas ketidakadilan.

Yaya memandang gerakan lingkungan bukan hanya bicara soal melestarikan lingkungan hidup, alam dan keanekaragaman hayati, juga bagian dari gerakan demokrasi. Alin bilang, Yaya juga peduli isu-isu hak asasi manusia (HAM).

Pun demikian dengan isu keadilan gender dalam kerja-kerja advokasi dan kampanye soal lingkungan. Yaya sangat memberikan perhatian serius kepada aktivis perempuan yang cukup rentan dalam kerja-kerja advokasi lingkungan. Hal itu yang membuat Alin merasa kehilangan.

“Mbak Yaya ini adalah figur perempuan paket lengkap yang bisa menguasai semua isu yang ada. Saya beruntung bisa bersama-sama, bekerja bersama dengannya,” kata Alin.

Yaya memberikan Alin pelajaran besar terkait bagaimana aktivis harus bersama dengan masyarakat, bukan bekerja sendiri. Yaya tak ingin aktivis dianggap pahlawan seperti “malaikat penolong.”  Karena kekuatan gerakan lingkungan terletak pada masyarakat.

Alin bilang, Yaya sangat aktif dalam mendampingi masyarakat melalui advokasi kasus lingkungan, memberikan pelatihan peningkatan kapasitas, serta mendukung mereka dalam melawan dampak proyek-proyek yang merusak lingkungan. Dia juga turun langsung ke lapangan memahami secara langsung kondisi yang dihadapi masyarakat yang terdampak.

Yaya berhasil memperkenalkan pada publik isu yang tadinya mereka tidak ketahui. Misal, isu soal krisis iklim dan energi yang menjadi salah satu isu sentral setiap negara-negara sekarang ini. Alin tidak ragu menyebut Yaya sebagai pengampanye yang andal.

Dia disebut Alin aktif dalam gerakan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan menentang penggunaan energi nuklir. Yaya juga yang mendorong penerapan kebijakan ramah lingkungan dan berkelanjutan, baik tingkat nasional maupun internasional.

Senada, Siti Maimunah, Direktur Mama Aleta Fund memiliki pengalaman serupa bersama Yaya. Dia mengenal Yaya ketika sama-sama mengadvokasi kasus PT Newmont Pacific Nusantara pada 2000.

Sejak itu, Siti melihat Yaya sangat konsisten tanpa rasa takut kampanye lingkungan dengan terus melawan kepada korporasi perusak lingkungan. Menurut dia, Yaya salah satu pengampanye paling efektif dalam menyuarakan isu-isu lingkungan.

“Mbak Yaya berani melawan langsung ke korporasi perusak lingkungan,” kata Siti.

Saat memimpin Walhi,  Yaya berhasil menghubungkan isu-isu lingkungan dengan masyarakat adat, dan isu reforma agraria. Yaya berhasil membawa Walhi dalam ruang-ruang dimensi luas untuk memperlebar gerakan kolaborasi bersama masyarakat di akar rumput.

Yaya pun merupakan penulis yang tajam dengan berhasil memadukan isu-isu kerakyatan untuk kampanye ke tingkat nasional sampai internasional. Menurut dia, Yaya adalah pemimpin perempuan yang tangguh dan serba bisa.

Luluk Uliyah, Media dan Engagement Coordinator Madani Berkelanjutan  menilai, Yaya sebagai orang humble. Yaya, banyak mengajaknya berdiskusi, terutama soal kasus-kasus pertambangan yang saat itu menjadi tanggung jawabnya.

“Kepiawaiannya menjelaskan membuat hal-hal yang sulit menjadi mudah dimengerti.”

Keakraban Luluk dan Yaya terjalin sejak 2005, ketika dia masih menjadi staf di Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Yaya sebagai Pengampanye Tambang di Walhi Nasional. Kantor keduanya berjarak 200 meter, hanya terpisah gang.

Yaya juga orang yang konsisten.  “Konsistensi membela wong cilik dan membela lingkungan, humble dan juga kesederhanaan.”

Dedikasi pada masyarakat Indonesia

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, mengenang Yaya sebagai sosok yang penuh dedikasi terhadap perjuangan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam pembelaan lingkungan hidup, dia mengarahkan Walhi terus bersama dan memperkuat masyarakat.

“Dia tidak ingin Walhi membuat gugatan di pengadilan tanpa ada pengorganisasian masyarakat.”

Zenzi juga bilang, Yaya sosok yang kuat komitmen terhadap lingkungan. Pada 2012, ketika baru merampungkan tugas sebagai Kepala Greenpeace Indonesia, Yaya mau ‘turun’ jabatan jadi Kepala Departemen Kampanye Walhi. Dia berprinsip, pembelaan lingkungan hidup tidak terbatas posisi dan jabatan.

Padahal, kata Zenzi, kalau mau Yaya bisa memimpin organisasi internasional. Setelah jadi Direktur Eksekutif Walhi, Yaya sempat diminta memimpin Friends of the Earth International (FOEI), organisasi lingkungan hidup yang berkantor di Belanda.

“Kalau dia (Yaya) bilang ‘ya’, dia langsung jadi direktur FOEI. Tapi dia ingin betul-betul fokus ke Indonesia,” kata Zenzi.

Di internal organisasi, Yaya menancapkan kontribusinya dengan menghadirkan Divisi Pengampanye (Anti) Industri Ekstraktif. Pada 2019, dia membangun Training Center Walhi yang jadi pusat pendidikan kader lingkungan hidup.

Masa kepemimpinannya juga ditandai dengan terbitnya kertas kebijakan gender yang mengatur kesetaraan pada struktur dan staf. Yaya ingin Walhi jadi rumah aman bagi semua gender.

“Bagi mbak Yaya, perjuangan lingkungan adalah perjuangan demokrasi. Lingkungan tidak akan baik kalau demokrasi tidak baik.”

Selama memimpin Walhi, Yaya juga langsung menyelesaikan konflik masyarakat dengan negara di kawasan hutan mencapai 800.000 hektar mencakup sekitar 125.000 rumah tangga.

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, Yaya memberi warisan penting terutama dalam advokasi lingkungan dengan perspektif korban, yang didukung dengan riset-riset kuat.

Kontribusi-kontribusi itu, katanya, harus jadi pengingat bagi gerakan lingkungan untuk terus menjaga keteguhan. “Kita sangat kehilangan. Tapi warisan-warisannya ada di hati semua orang. Kita harus melanjutkan apa yang sudah dia bangun. Karena itu adalah warisan yang ideal untuk gerakan lingkungan,” katanya.

Kepemimpinan dan keteladan Yaya banyak memberi inspirasi dalam kerja-kerja perlindungan lingkungan di daerah. Dia melakukan advokasi lingkungan di berbagai sektor, mulai dari proyek lahan gambut, REDD+ di Kalimantan tengah, hingga kasus-kasus sawit dan batubara.

Ketika memimpin Greenpeace Indonesia, Yaya mengadakan Tur Mata Harimau untuk kampanye dampak kerusakan lingkungan. Kala itu, Arie masih menjabat Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, terlibat dalam kegiatan itu.

“Dari Kalimantan Selatan, Tengah, Barat, pakai motor. Kami kampanyekan kerusakan hutan. Saat itu mbak Yaya sebagai Country Representative Greenpeace Indonesia. Dia beri kontribusi besar terutama dalam melihat tanggung jawab korporasi dan bagaimana korporasi harus dilawan,” katanya.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia juga menyampaikan rasa kehilangan. Yuyun mengenal lama Yaya sejak awal 2000-an. Keduanya mulai intens berkomunikasi saat berada di Greenpeace.

“Dia waktu itu (Greenpeace) sebagai country representative. Dia berani mengambil risiko dan konsisten dalam memperjuangkan apa yang dia pikir benar,” katanya.

Saat itu, Yaya fokus kampanye pada isu hutan, energi dan laut. Salah satu advokasi paling berkesan saat Yaya memimpin kampanye bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

Yuyun mengenang pada 28 September 2006, Yaya memimpin aksi Greenpeace melempar satu truk lumpur Lapindo ke Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Kala itu, Aburizal Bakrie sebagai Menko Kesra, yang dianggap bertanggung jawab dalam berencana karena pemilik saham Lapindo Brantas inc.

“Dia (Yaya) menumpahkan lumpur Lapindo itu ke halaman Kantor Kementerian Kesra.”

Indonesia kehilangan,  sosok pahlawan, pejuang dan pembela lingkungan hidup. Semangat dan kegigihannya, terus menginspirasi kerja-kerja mewujudkan keadilan lingkungan di negeri ini.

Selamat jalan Yaya, damailah dalam pelukan semesta!

Nurhidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi 2016-2021. Foto: dari tangkapan layar video Walhi

*******

Nur Hidayati: Isu Lingkungan Hidup Harus Jadi Panglima!

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|