- Bagi Suku Semende, spesies kucing liar seperti kucing emas [Catopuma temminckii] dan macan akar [Felis bengalensis] adalah bagian keluarga mereka. Satwa tersebut ikut menjaga padi, tumbuhan sakral dan penting dalam Adat Tunggu Tubang.
- Kucing emas tercatat lebih banyak memangsa ungulata seperti kijang dan rusa kecil [35 persen], tetapi juga memangsa tikus [23 persen] yang menjadi mangsa dominan bagi macan akar [79 persen].
- Sejauh ini, belum ada kasus gagal panen atau serangan hama [tikus dan burung] di ribuan hektar sawah di wilayah hidup Suku Semende, di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
- Masyarakat Suku Semende juga memiliki berbagai bentuk kearifan dengan satwa, salah satunya adalah pesan leluhur untuk mengobati luka pada satwa yang mereka temui di hutan atau kebun mereka.
Padi merupakan tanaman penting dan sakral bagi masyarakat Suku Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Agar padi tumbuh subur dan berkualitas saat panen, mereka merawat dan mengatur pola tanamnya. Juga, menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan dan satwa liar di sekitar ruang hidup mereka.
“Siapapun yang ikut merawat, merupakan bagian keluarga kami, termasuk kucing liar yang membuat padi kami terhindar dari berbagai hama,” ujar Malai Ibrahim, tokoh adat di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Rabu [16/10/2024].
Pentingnya padi bagi Suku Semende, tercermin dari Adat Tunggu Tubang. Ini merupakan penghormatan terhadap tanah [sawah dan rumah], serta sosok perempuan dalam suatu keluarga yang disebut Tunggu Tubang.
“Sawah dilarang dijual. Padi dikhususkan untuk pangan keluarga. Karenanya, hampir tidak ada orang Semende yang tidak punya sawah atau kebun,” lanjutnya.
Seperti desa lain, sebagian besar lahan Desa Cahaya Alam [Semende Darat Ulu] difungsikan sebagai sawah dan kebun. Luas total wilayahnya mencapai 6.624,45 hektar, terbagi lahan perkebun [kopi] seluas 6.045 hektar dan sawah [543 hektar]. Sisanya, pemukiman [20 hektar] dan prasarana umum [20 hektar].
Masyarakat Suku Semende tersebar di puluhan desa dalam tiga kecamatan, yakni Semende Darat Laut [26.914 hektar], Semende Darat Ulu [42.664 hektar], dan Semende Darat Tengah [30.224 hektar].
Secara geografis, sejumlah desa di Kecamatan Semende terletak di lembah yang menjadi bagian jalur Bukit Barisan dan berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Lindung Gunung Patah [Barat]-Bukit Jambul Asahan [Utara-Timur]. Wilayah ini, termasuk tipe hutan submontana atau subpegunungan, yang disebut juga hutan pegunungan bawah dengan ketinggian 1.000 – 1.500 m dpl.
Baca: Mengapa Anak Kucing Hutan Sering Berkeliaran Tanpa Induk?
Jenis kucing liar yang masih pernah terlihat di sekitar persawahan di Desa Cahaya Alam, merupakan spesies kucing kecil, yakni macan akar atau kucing kuwuk [Felis bengalensis] dan kucing emas [Catopuma temminckii].
Menurut Syarifudin, warga Desa Cahaya Alam, pada Kamis [10/10/2024] atau satu minggu sebelum kedatangan kami ke lokasi, ia melihat kucing emas di sekitar persawahan warga.
“Berbeda dengan kucing emas yang cukup jarang bertemu manusia, macan akar lebih sering terlihat,” lanjutnya.
Kemunculan kucing emas dan macan akar, terjadi menjelang panen padi. Saat itu, sebagian padi mulai yang menguning mengundang hadirnya mangsa kucing liar, seperti burung dan tikus.
“Kadang bersembunyi atau melintas di antara rumpun padi menguning.”
Meski demikian, masyarakat Suku Semende yang sering ke sawah, tidak merasa takut jika melihat kucing liar. “Kami percaya kalau kita berniat baik, mereka tidak akan mengganggu kita,” lanjut Syarifudin.
Baca: Fakta Unik Kucing Hutan, Tidak Takut Air dan Piawai Berenang
Kucing emas merupakan satwa karnivora, aktif siang hari [diurnal] atau waktu fajar dan senja [krepuskular], serta cenderung memburu mangsa dengan menyergap. Warna bulu cokelat kemerahan, membantunya berkamuflase di lantai hutan.
Sebagian besar desa di wilayah Semende berada di ketinggian 700-1.500 mdpl. Hal ini cocok sebagai habitat kucing emas, yang terdistribusi mulai dari hutan dataran rendah hingga perbukitan pada elevasi 452-1.541 m dpl [Tawaqal et al., 2018].
“Semakin besar bukaan semak, semakin tinggi okupansi kucing emas pada lokasi studi ini. Kondisi semak yang tidak terlalu rapat dapat memudahkan kucing emas berburu mangsa,” tulis penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS], yang terhubung dengan lanskap Hutan Lindung Gunung Patah di dekat Desa Cahaya Alam.
Sementara kucing kuwuk alias macan akar, atau kucing congkok [Prionailurus bengalensis], berdasarkan penelitian yang sama, lebih menyukai elevasi lebih rendah, yakni kisaran 150-900 m dpl. Meski begitu, mereka juga pernah ditemukan pada ketinggian di atas 2.000 mdpl.
Stawa yang aktif malam hari [nokturnal] ini, juga lebih menyukai kanopi hutan lebih rapat, sehingga dapat menyediakan pakan seperti serangga dan mamalia kecil.
“Jenis ini aktif di pepohonan kecil dan merupakan pemanjat tangkas, akan memanfaatkan pohon rapat untuk naik ke atas pohon bila terancam serangan predator,” tulis penelitian tersebut.
Baca: Seperti Harimau Sumatera, Status Kucing Liar Juga Dilindungi
Kedua jenis kucing ini memiliki pola makan berbeda, berdasarkan penelitian Kamler dan kolega [2020]. Kucing emas dengan berat 8-16 kilogram, lebih banyak memangsa ungulata [misalnya kijang dan rusa kecil] hingga 35 persen, tetapi juga memangsa tikus [23 persen], dan karnivora [15 persen].
Hal ini dikuatkan penelitian Kawanishi & E. Sunquist [2008] yang menyatakan, makanan kucing emas sebagian besar terdiri vertebrata kecil, seperti burung, kadal, ular, tikus, dan mamalia lain hingga seukuran rusa kecil.
Sedangkan kucing kuwuk, dengan berat badan dewasa hanya sekitar empat kilogram, sebagian besar memakan tikus [79 persen].
“Secara keseluruhan, kucing kuwuk tampak hidup berdampingan dengan kucing emas, predator dan pesaing potensial, dengan menunjukkan pembagian pola makan dan waktu,” tulis Kamler dan kolega [2020].
Baca: Pola Warna Kucing Emas yang Menarik Perhatian Peneliti
Panen Padi
Bagi para petani padi di dataran menengah dan tinggi Sumatera Selatan, tikus dan burung menjadi ancaman tanaman padi.
Berdasarkan penelusuran di internet, ancaman hama tikus sudah terjadi di Sumatera Selatan sejak 2012. Sekitar 50 hektar sawah di Kecamatan Pajar Bulan dan Jarai [Kabupaten Lahat], rusak diserang tikus. Keresahan para petani bahkan masih berlangsung hingga 2023.
“Setiap tahun di Semende tidak pernah terdengar serangan hama, apalagi gagal panen. Bahkan saat COVID-19, padi kami lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” jelas Malai.
Satu hektar sawah di Semende diperkirakan dapat menghasilkan 1-2 ton padi untuk sekali panen [Juli-Agustus]. Hasil tersebut, lebih dari cukup untuk memenuhi satu keluarga [4-6 orang] setahun.
“Hasil panen kami gunakan beguyur [bertahap], jika masih sisa kami simpan di tengkiyang,” lanjutnya.
Tengkiyang adalah tempat penyimpanan padi tradisional khas Suku Semende. Berwujud sebuah pondok panggung kayu, dengan tinggi kaki [pondasi] sekitar dua meter.
Merujuk data situs Simotandi Kementerian Pertanian, luas lahan baku sawah per 17 Januari-1 Februari 2024 di tiga Kecamatan Semende adalah; Semende Darat Laut 697 hektar, Semende Darat Tengah 1.077 hektar, dan Semende Darat Ulu 1.876 hektar.
“Adanya Adat Tunggu Tubang, memastikan sawah di Semende tidak ada yang terbengkalai. Bagi kami, merawat dan mengelola sawah wajib hukumnya,” kata Hairiah, seorang Tunggu Tubang di Desa Cahaya Alam.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik Kecamatan Semende Darat Laut 2019, dengan luas panen rata-rata sekitar 1.630 hektar, produksi padi rata-rata mencapai 10.862 ton.
Baca: Suku Semende: Sawah Itu Seperti Manusia, Butuh Waktu Istirahat Tanam
Yusmono, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Lahat, BKSDA Sumatera Selatan, menyatakan tingginya produktivitas padi di wilayah Semende tidak bisa dilepaskan dari peran kucing liar yang memiliki habitat di sekitar lanskap Jambul Nanti Patah.
“Adanya berbagai pengetahuan masyarakat lokal, baik itu koridor maupun kearifan lainnya, akan lebih baik jika didukung payung hukum. Misalnya, peraturan daerah atau peraturan desa,” katanya kepada Mongabay, Sabtu [12/10/2024].
Wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II Lahat, mencakup sembilan kabupaten/kota di Sumatera Selatan, yaitu Lahat, Muara enim, Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Pali, Prabumulih, Empat Lawang, Kota Pagar Alam, dan Kota Lubuk Linggau.
Dengan cakupan wilayah yang luas, Seksi Konservasi Wilayah II Lahat terus melakukan koordinasi pengelolaan dengan pihak-pihak pengelola kawasan. Khususnya, di Jambul Nanti Patah, yaitu dengan melakukan inventarisasi dan verifikasi kehati, serta patroli bersama.
“Hal ini cukup efektif untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat terkait kelestarian kucing dan satwa liar lain. Hal yang harus terus diperbaiki adalah upaya menjaga hutan lindung sebagai habitat kucing liar dan satwa lain dari perusakan dan alih fungsi kawasan,” katanya.
Foto: Kopi adalah Identitas Suku Semende
Berbagi Ruang dengan Satwa
Ada banyak bukti kearifan dan keharmonisan masyarakat di dataran tinggi Sumatera Selatan dengan satwa liar. Masyarakat di Desa Agung Lawangan, Kecamatan Pagar Alam, memiliki pengetahuan tentang koridor satwa yang mereka sebut “Bakal Agung”.
Pada Suku Semende, menurut Malai Ibrahim, terdapat kearifan atau kewajiban untuk mengobati setiap satwa yang terluka.
“Jika ketemu satwa di hutan, di kebun, atau di manapun, leluhur kami mewajibkan untuk mengobati satwa tersebut, tidak terkecuali jenis-jenis kucing kecil maupun besar,” katanya.
Masyarakat Suku Semende punya penghormatan tinggi terhadap harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] yang mereka sebut “ninek”. Artinya, harimau dianggap nenek moyang yang telah menjaga leluhur masyarakat Semende dan bentang alam dari kerusakan.
“Penghormatan yang sama kami berikan kepada kucing-kucing selain ninek,” kata Syarifudin.
Ada juga penghormatan terhadap gajah sumatera yang mereka sebut “bujang besak”. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Suku Semende punya cara komunikasi unik dengan mamalia tercerdas tersebut.
Syarifudin, menceritakan pengalamannya saat bertemu gajah sekitar 2002 lalu. Saat itu, ia memutuskan untuk bermalam di pondok kebunnya. Tanpa ia sadari, satu individu gajah dewasa mengitari kebunnya untuk mencari makanan.
Tidak panik, Syarifudin teringat pesan orangtuanya, dan berkata kepada gajah, “Pergilah. Kami nak nyari hidup. Itu pisang milik orang.”
Cerita tersebut memori terakhir Syarifudin bertemu gajah, karena sejak 2006 gajah sudah tidak terlihat lagi di sekitar Semende.
“Kami berharap nasib kucing besar maupun kecil baik-baik saja. Kami saling bantu merawat alam,” terangnya.
Sejauh ini, menurut Yusmono, di wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II Lahat terdapat lima spesies kucing liar, yakni harimau sumatera, macan akar, macan dahan, kucing batu, dan kucing emas.
“Khusus kucing liar selain harimau sumatera, belum ada perkiraan dan perhitungan populasi, terutama di lanskap hutan Jambul Nanti Patah. Penelitian juga belum ada,” katanya.
Sebagai informasi, kelima jenis kucing liar tersebut merupakan jenis satwa liar dilindungi. Berdasarkan Daftar Merah IUCN, kucing emas dan macan dahan termasuk berstatus Rentan [VU], kucing batu [Hampir Terancam/NT], kucing kuwuk [Risiko Rendah/LC], sementara harimau sumatera berstatus Kritis [CR].
Referensi:
Kamler, J. F., Inthapanya, X., Rasphone, A., Bousa, A., Vongkhamheng, C., Johnson, A., & Macdonald, D. W. (2020). Diet, prey selection, and activity of Asian golden cats and leopard cats in northern Laos. Journal of Mammalogy, 101(5), 1267–1278. https://doi.org/10.1093/jmammal/gyaa113
Kawanishi, K., & E. Sunquist, M. (2008). Food habits and activity patterns of the Asiatic golden cat (Catopuma temminckii) and dhole (Cuon alpinus) in a primary rainforest of peninsular Malaysia. Mammal Study, 33(4), 173–177. https://doi.org/10.3106/1348-6160-33.4.173
Tawaqal, F., Supartono, T., & Nasihin, I. (2018). Distribusi Dan Penggunaan Habitat Empat Spesies Felidae Di Taman Nasioanl Bukit Barisan Selatan. Wanaraksa, 12(2).
Bakal Agung, Kearifan Suku Besemah Berbagi Ruang dengan Satwa