- Hutan mangrove di pantai timur Aceh terus mengalami kerusakan akibat perambahan untuk dijadikan tambak dan permukiman.
- Peta Mangrove Nasional [PMN] 2021 menunjukkan, hutan mangrove tersisa di pantai timur Aceh, yaitu di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Kota Langsa, luasnya hanya 22.204 hektar.
- Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh [KSLHA] mendesak Pemerintah Aceh menolak segala bentuk perizinan baru di kawasan hutan mangrove di Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang.
- Kota Langsa yang telah mengelola hutan mangrove secara berkelanjutan, yaitu melalui kegiatan ekowisata hutan mangrove di Kuala Langsa, Kecamatan Langsa Barat.
Hutan mangrove di pantai timur Aceh terus mengalami kerusakan akibat perambahan untuk dijadikan tambak dan permukiman.
Peta Mangrove Nasional [PMN] 2021 menunjukkan, hutan mangrove tersisa di pantai timur Aceh, yaitu di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Kota Langsa, luasnya hanya 22.204 hektar.
Dari jumlah itu, 7.781 hektar berstatus hutan lindung, 13.655 hektar hutan produksi, dan 767 hektar hutan konservasi.
“Perizinan hak pengusahaan hutan [HPH] yang diberikan kepada perusahaan, mengakibatkan terjadinya degradasi dan alih fungsi lahan menjadi kawasan budidaya perikanan dan perkebunan,” terang Yusmadi, Direktur Aceh Wetland Foundation [AWF], Kamis [31/10/2024].
Eksploitasi dilakukan PT Selat Malaka [20.000 hektar], PT Kalindi Langsa [12.000 hektar], PT. Narindu, dan PT. Inhutani III dalam rentang waktu 1971-1991.
“Pemerintah perlu meminta pertanggungjawaban perusahaan tersebut atas kewajiban pemulihan hutan.”
Foto: Hijaunya Hutan Mangrove Kuala Langsa
Di Aceh Timur, saat ini sekitar 6.095 hektar mangrove dikelola KSU Bina Meupakat dan KSU Flora Potensi [6.200 hektar]. Keduanya mendapat izin usaha pemanfaatan hasil hutan kemasyarakatan [IUPHKm] dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Di Aceh Tamiang, PT Bakau Bina Usaha [BBU] menguasai 9.532 hektar.
“Sebagian besar lahan konsesi perusahaan, masuk kawasan hutan lindung. Pemerintah harus meninjau kembali izinnya.”
Menurut Yusmadi, proyek pemanfaatan hutan mangrove telah menyebabkan terjadinya perubahan luas tutupan hutan mangrove. Perambahan untuk pembukaan tambak di tiga wilayah ini mencapai 12.517 hektar.
“Tambak di kawasan hutan lindung mencapai 5.021 hektar dan di hutan produksi sekitar 7.496 hektar,” jelasnya.
Baca: Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Rusak, Begini Kondisinya
Mangrove Kuala Langsa
Said Zainal, Divisi Hukum dan Kebijakan Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh mengatakan, alih-alih memperbaiki hutan yang rusak, pemerintah lebih memilih memberikan izin konsesi kepada korporasi.
“Hal ini sangat bertentangan dengan kebijakan nasional “Indonesia’s FOLU Net Sink 2030” yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. Tujuannya, mencapai net zero emission sektor kehutanan dan lahan pada 2030,” terangnya, Kamis [31/10/2024].
Data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh pada 29 Juni 2024, menunjukkan terdapat satu perusahaan yang dalam proses perizinan berusaha pemanfaatan hutan [PBPH] di pantai timur Aceh.
“PT Barisan Pemuda Nusantara mengajukan lahan mangrove seluas 2.949 hektar.”
Baca: Penting Bagi Kehidupan, Harusnya Mangrove Tidak Dirusak
Menurut Said, perusahaan ini adalah entitas bisnis atau badan usaha yang berorientasi profit dan komersialisasi hasil hutan. Bukan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Sejarah mencatat, pengelolaan hutan secara sepihak kerap mengabaikan hak-hak masyarakat lokal/adat.
“Tujuan komersialisasi hutan juga bertolak belakang dengan sikap dan semangat yang dibangun masyarakat adat di Langsa, yaitu mengelola hutan sesuai skema perhutanan sosial.”
Said menambahkan, Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh [KSLHA] mendesak Pemerintah Aceh menolak segala bentuk perizinan baru di kawasan hutan mangrove di Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang.
“Sejauh ini, hanya Kota Langsa yang telah mengelola hutan mangrove secara berkelanjutan, yaitu melalui kegiatan ekowisata hutan mangrove di Kuala Langsa, Kecamatan Langsa Barat,” jelasnya.
Baca juga: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui
Pemanfaatan Karbon dan Jasa Lingkungan
Selain mengelola ekowisata, Pemerintah Kota Langsa, pada 21 Februari 2024, telah bekerja sama dengan PT Pembangunan Aceh [PEMA], perusahaan milik Pemerintah Provinsi Aceh, untuk pengelolaan dan pemanfaatan karbon serta jasa lingkungan hutan mangrove.
Direktur Utama PT Pembangunan Aceh (PEMA) Perseroda, Ali Mulyagusdin menyatakan, kesepakatan berlaku untuk dua tahun ke depan.
“PEMA menjamin terselenggaranya program pembangunan terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh,” ujarnya, dikutip dari situs Pemerintah Aceh.
Menurut Ali, berdasarkan Perpres No. 98 Tahun 2021, penyelenggaraan mitigasi perubahan iklim yang terkait karbon salah satunya adalah sektor kehutanan.
“Cadangan karbon di hutan mangrove Langsa seluas 4.963 hektar. Ini mendukung program pemerintah mencapai net zero emission pada 2060,” terangnya.
Sub Koordinator Bina Usaha dan Perhutanan Sosial Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, Faisal, mengatakan kegiatan multi usaha kehutanan pada kawasan hutan lindung dapat dilakukan pemanfaatan jasa lingkungan.
“Pemerintah Kota Langsa telah mengajukan permohonan pemanfaatan jasa lingkungan berupa pemulihan lingkungan, ekowisata, penyerapan dan penyimpanan karbon,” ujarnya, Rabu [10/7/2024].
Menurut Faisal, ini sangat penting sebagai perwujudan pengelolaan hutan secara optimal dan lestari.
“Keterlibatan masyarakat di sekitar area kegiatan multi usaha kehutanan tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 8 Tahun 2021, yaitu kegiatan pemanfaatan hutan wajib melakukan kemitraan dengan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Ini menjadi keuntungan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.