- Setiap 5 November di peringati sebagai Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional atau HCPSN. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian puspa (flora) dan satwa (fauna) di Indonesia.
- Presiden kedua Indonesia, Soeharto, pertama kali menetapkan HPCSN melalui Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 4 Tahun 1993.
- Indonesia sebagai negara yang luas, baik terestrial maupun akuatik, merupakan surga bagi penelitian keanekaragaman hayati.
- Pada 2023, peneliti BRIN menemukan 49 taksa baru. Penemuan fauna mendominasi dengan jumlah 1 marga, 38 spesies, dan 2 subspesies. Sisanya adalah flora 7 spesies, dan mikroorganisme 1 spesies.
Setiap 5 November di peringati sebagai Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Perayaan ini, pertama kali ditetapkan oleh presiden kedua Indonesia, Soeharto, melalui Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 4 Tahun 1993. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian puspa (flora) dan satwa (fauna) di Indonesia.
Dalam Keppres tersebut, ditetapkan keputusan mengenai tiga jenis puspa yakni, melati (Jasminum sambac) sebagai puspa bangsa, anggrek bulan (Palaenopsis amabilis) sebagai puspa pesona; padma raksasa (Rafflesia arnoldi) sebagai puspa langka.
Sementara, tiga jenis satwa yang ditetapkan mewakili satwa darat, air, dan udara; adalah komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa nasional; ikan siluk merah (Sclerophages formosus) sebagai satwa pesona; dan elang jawa (Nisaetus bartelsi), sebagai satwa langka.
Namun, selain jenis puspa dan satwa yang ditetapkan dalam Keppres tersebut, Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati tinggi sehingga dijuluki sebagai negara megabiodiversitas, baik di terrestrial maupun di laut.
Baca: Elang Jawa, Penguasa Langit yang Menghadapi Risiko Kepunahan
Penelitian yang dilakukan Agus Setiawan (2022), menyebutkan bahwa sebanyak 1.812.700 spesies yang ditemukan di dunia, sekitar 31.750 (1,75%) spesies terdapat di Indonesia, bahkan kelompok lumut melebihi 10%. Untuk fauna, Indonesia menempati kekayaan fauna nomor dua di dunia setelah Brazil, yaitu sekitar 12% mamalia, 16% reptil, dan 17% burung. Sementara dalam jumlah mamalia dan amfibi, Indonesia menempati peringkat kelima dan keenam.
“Indonesia juga terkenal dengan keanekaragaman ekosistem pesisirnya, yaitu 18 persen terumbu karang dunia, lebih dari 70 genera dan 500 spesies karang, 2.500 spesies ikan, 2.500 spesies moluska, 1.500 spesies crustacea, dan berbagai biota laut lain,” tulis Agus dalam publikasinya di Indonesian Journal of Conservation.
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati. Salah satu upaya untuk melaksanakan komitmen tersebut adalah bersama konvensi Internasional untuk konservasi keanekaragaman hayati, termasuk Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity-CBD), menghentikan laju kepunahan spesies, melakukan perlindungan keanekaragaman genetik, mengelola konflik manusia-satwa liar.
Baca: Fakta Unik Komodo, Betina Dapat Berkembang Biak Tanpa Jantan
Indonesia Surga Penelitian Keanekaragaman Hayati
Pada Februari 2024, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan target temuan 50 taksa baru. Sebelumnya pada 2023, peneliti BRIN menemukan 49 taksa baru. Penemuan fauna mendominasi dengan jumlah 1 marga, 38 spesies, dan 2 subspesies. Sisanya adalah flora 7 spesies, dan mikroorganisme 1 spesies.
“Penemuan 49 taksa baru, memastikan Indonesia sebagai “surga” bagi penelitian biodiversitas,” kata Kepala Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Bayu Adjie, dalam rilisnya.
Menurut Bayu, sekitar 96 persen dari spesies baru yang ditemukan itu merupakan spesimen asal Indonesia. Ini terjadi karena fokus penelitian yang kuat pada spesies-spesies di Indonesia, yang terkenal dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya yang luar biasa. Meskipun sudah dieksplorasi sejak zaman kolonial, masih banyak yang belum terungkap di negeri ini, karena luasnya wilayah Indonesia dengan beragam ekosistem yang menjadi tempat penelitian.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Amir Hamidy, menjelaskan proses pencarian dan identifikasi 49 taksa baru tersebut. Penemuan itu melalui serangkaian eksplorasi sebelumnya dan validasi spesimen yang ada.
Dalam menentukan apakah sebuah taksa atau spesies merupakan taksa baru, Amir menekankan beberapa kriteria utama, termasuk karakter morfologi, molekuler, fisiologi, dan ekologi.
“Pengamatan mendalam terhadap ciri-ciri tersebut membantu para peneliti dalam mengklasifikasi dan mengidentifikasi spesies baru dengan akurat,” ungkapnya.
Baca juga: Kelestarian Silok Merah Terancam di Alam
Ikan Siluk Merah
Dalam Keppres Nomor 4 tahun 1993 tentang Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, ikan siluk merah disebut sebagai satwa pesona. Masih banyak yang belum tahu bahwa jenis ini sering disebut ikan arwana merah dan merupakan spesies ikan air tawar dari Asia Tenggara.
Ikan ini memiliki badan yang panjang, dengan sirip dubur terletak jauh di belakang badan. Pada umumnya, arwana memiliki warna keperak-perakan. Oleh beberapa kalangan masyarakat, arwana ini sering disebut “Ikan Naga” karena sering dihubung-hubungkan dengan naga dari Mitologi Tionghoa.
Secara morfologis, badan dan kepala siluk ini agak padat. Tubuhnya pipih dan punggungnya datar, hampir lurus dari mulut hingga sirip punggung. Garis lateral atau gurat sisi yang terletak di samping kiri dan kanan tubuh arwana panjangnya antara 20–24 cm. Bentuk mulutnya mengarah ke atas dan mempunyai sepasang sungut pada bibir bawah.
Ukuran mulutnya lebar dan rahangnya kokoh. Giginya berjumlah 15-17 buah. Bagian insangnya dilengkapi penutup. Letak sirip punggungnya berdekatan dengan pangkal sirip ekor (caudal). Sirip anusnya lebih panjang daripada sirip punggung (dorsal).
Seperti ditulis Mongabay sebelumnya, dua sungut di ujung bibir bawah membuat ikan ini mirip liong atau naga berwarna merah. Layaknya, naga, sebagian masyarakat menganggapnya sebagai simbol keberhasilan, keperkasaan, dan kejayaan.
Arwana, Ikan Air Tawar Purba yang Memelihara Anaknya di Mulut