- Kabar buruk bagi hutan dan lingkungan serta masyarakat adat Papua di Papua Selatan datang awal November ini. Mahkamah Agung menolak kasasi Suku Awyu, yang menggugat izin kelayanan lingkungan hidup perusahaan sawit yang akan membersihkan hutan adat mereka.
- Hendrikus Woro mengajukan kasasi gara-gara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan dan banding tentang kelayakan lingkungan hidup Pemerintah Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL).
- Sekar Banjaran Aji, Forest Campaigner Greenpeace Indonesia mengatakan, pemerintah dan penegak hukum belum berpihak kepada masyarakat adat. Perjuangan menyelamatkan hutan adat Papua lebih berat apalagi dengan pemerintah kini yang berambisi membabat hutan Papua Selatan untuk food estate. Hutan Papua, rumah keanekaragaman hayati makin terancam.
- Sejumlah gugatan kasasi juga Masyarakat Adat Awyu ajukan. Gugatan kasasi itu kepada PT Kartika CIpta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya. Dua perusahaan sawit yang mendapatkan izin dan segera ekspansi di Boven Digoel atas dasar keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) era pemerintahan Joko Widodo—kini Pemerintahan Prabowo terpisah antara Kementerian Lingkungan dan Kementerian Kehutanan.
Awal November lalu, ada kabar buruk bagi hutan dan lingkungan serta masyarakat adat Papua di Papua Selatan. Mahkamah Agung menolak kasasi Suku Awyu, yang menggugat izin kelayanan lingkungan hidup perusahaan sawit yang akan membersihkan hutan adat mereka.
Sebelum itu, Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup Suku Awyu, jauh-jauh datang ke Jakarta menyambangi gedung Mahkamah Agung (MA) kali kedua untuk mempertanyakan pengajuan kasasi 22 Juli lalu. Gugatan Hendrikus soal izin kelayakan lingkungan hidup yang Pemerintah Papua keluarkan untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL).
Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektar, lebih dari setengah luas Jakarta, berada di hutan adat Marga Woro, bagian dari Suku Awyu.
Kedatangannya itu beriringan dengan penyerahan dukungan publik terhadap petisi penyelamatan hutan Papua. Sejumlah organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan koalisi “Selamatkan Hutan Papua” bersama-sama mendampingi Hendrikus dalam penyerahan dukungan publik ini.
“Kami sampai dua kali datang jauh-jauh dari Papua, ini karena kami menunggu-nunggu putusan yang menyelamatkan hutan adat kami,” kata Hendrikus kepada Mongabay kala itu.
Gayung tak bersambut. Empat bulan menunggu hasil putusan, Hendrikus dapat kabar 1 November lalu bahwa kasasi ke Mahkamah Agung ditolak. Dokumen putusan Mahkamah Agung Nomor 458 K/TUN/LH/2024 itu, hasil rapat majelis hakim pada 18 September lalu.
Hendrikus mengajukan kasasi gara-gara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Makassar menolak gugatan dan banding tentang kelayakan lingkungan hidup Pemerintah Papua untuk IAL.
Isi putusan penolakan itu berdasar pada tenggat waktu gugatan sudah melebihi 90 hari masa kerja. Dalih itu sama dengan alasan penolakan PTUN Jayapura dan PTTUN Makassar.
“Saya kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya.”
“Saya lelah dan sedih karena selama berjuang tidak ada dukungan pemerintah daerah atau pusat. Kepada siapa saya harus berharap? Sya harus berjalan ke mana lagi?” kata Hendrikus.
Tigor Hutapea, Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua mengatakan, putusan Mahkamah Agung berdasar pada masa tenggat waktu itu karena tak memeriksa secara menyeluruh isi dan substansi gugatan. Pada putusan itu ada satu hakim dissenting opinion atau mengeluarkan pendapat berbeda.
“Dari pertimbangan dissenting opinion menyangkut tenggat waktu, kami menilai Mahkamah Agung inkonsisten dalam menerapkan aturan yang mereka buat. Padahal, Peraturan Mahkamah Agung adalah petunjuk yang digunakan peradilan internal,” kata Tigor,
Satu majelis hakim dissenting opinion menyatakan, penerbitan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) terbukti belum mengakomodasi kerugian di wilayah masyarakat adat. “Yang dikelola dan dimanfaatkan turun-temurun.”
Tigor bilang, hakim yang berbeda pendapat menilai obyek gugatan (surat izin lingkungan hidup IAL) yang Pemerintah Papua terbitkan bertentangan dengan asas dalam Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hingga harus dibatalkan.
“Hakim yang berbeda pendapat itu kalah dalam pemungutan suara.”
Sekar Banjaran Aji, Forest Campaigner Greenpeace Indonesia mengatakan, putusan ini kabar duka bagi lingkungan dan masyarakat terutama Masyarakat Adat Awyu di Papua Selatan.
Ketika banyak orang di dunia ikut COP16 membahas upaya penyelamatan keanekaragaman hayati global dari kepunahan, di Indonesia justru mendapat berita buruk.
“Pemerintah dan penegak hukum belum berpihak kepada masyarakat adat. Perjuangan menyelamatkan hutan adat Papua lebih berat apalagi dengan pemerintah kini yang berambisi membabat hutan Papua Selatan untuk food estate. Hutan Papua, rumah keanekaragaman hayati makin terancam,” kata Sekar, juga Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua.
Perjuangan makin berat
Perjuangan Masyarakat Adat Papua mempertahankan wilayah dan hutan adat akan makin berat. Putusan Mahkamah Agung itu menunjukkan belum ada keberpihakan secara hukum kepada masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidupnya.
Selain kasasi Hendrikus Woro kepada IAL, sejumlah gugatan kasasi juga Masyarakat Adat Awyu ajukan. Gugatan kasasi itu kepada PT Kartika CIpta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya.
Dua perusahaan sawit yang mendapatkan izin dan segera ekspansi di Boven Digoel atas dasar keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) era pemerintahan Joko Widodo—kini Pemerintahan Prabowo terpisah antara Kementerian Lingkungan dan Kementerian Kehutanan.
Sub Suku Moi Sigin juga sedang berjuang melawan gugatan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan menghilangkan 18.160 hektar hutan adat untuk perkebunan sawit. Perlawanan Moi Sigin itu berangkat dari pencabutan izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha SAS. Atas dasar itulah, SAS menggugat pemerintah karena mencabut kedua izin mereka.
Sebelumnya, SAS memegang konsesi 40.000 hektar di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.
Perwakilan Masyarakat Adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, Masyarakat Adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.
“Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu, hutan adalah apotek bagi kami. Kebutuhan kami semua ada di hutan. Keberadaan SAS sangat merugikan kami masyarakat adat. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” kata Fiktor Klafiu, perwakilan Masyarakat Adat Moi Sigin yang jadi tergugat intervensi.
Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua mengatakan, prinsipnya, izin perusahaan tak menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah karena jelas ada pemilik adat yang belum melepaskan hak.
Dia meminta publik terus mendukung perjuangan Suku Awyu dan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua yang berjuang mempertahankan tanah dan hutan adat.
“Ini bagian dari agenda penegakan hukum pelindungan hak-hak masyarakat adat, yang telah dijamin dalam aturan lokal, nasional, dan internasional. Sekaligus perjuangan melindungi bumi dari pemanasan global. Masyarakat adat adalah penjaga alam tanpa pamrih dan Papua bukan tanah kosong!” katanya.
Keberadaan IAL dan SAS akan merusak hutan yang jadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, sampai pengetahuan Masyarakat Adat Awyu dan Moi. Hutan juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, dan penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar.
Operasi IAL dan SAS, katanya, bisa memicu deforestasi, dengan perkiraan akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di tanah air.
“Kami meminta Mahkamah Agung cermat memeriksa perkara gugatan Suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan pelindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk Suku Awyu dan Moi.”
“Majelis hakim, perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, dengan dampak bukan hanya akan dirasakan Suku Awyu dan Suku Moi juga masyarakat Indonesia lain,” kata Tigor.
Suku Awyu dan Moi melewati proses rumit demi mempertahankan hutan adat mereka. Meski putusan pengadilan sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum.
*******
Suku Awyu dan Moi Tolak Sawit, Minta MA Peduli Tanah Adat Papua