- Daun gambir, warga olah dan menjadi salah satu produk andalan Desa Bongkaras, Dairi, Sumatera Utara, selain hasil perkebunan dan pertanian lain seperti durian, jeruk dan lain-lain.
- Desa Bongkaras, berada di sekitar perusahaan tambang seng, PT Dairi Prima Mineral (DPM). Warga pun was-was kalau sampai tambang menggangu sumber kehidupan mereka, termasuk tanaman gambir.
- Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara , luas ladang gambir di Dairi pada 2021, sekitar 471 hektar dengan produksi mencapai 412 ton. Tanaman gambir ini tumbuh di kebun atau lahan pertanian bersama tanaman-tanaman buah seperti durian, jeruk, kakao dan lain-lain.
- Posman Sibuea, Guru Besar Ilmu Pangan Universitas Katholik Santo Thomas mengatakan, gambir sama seperti pangan lokal lain yang berhubungan dengan upaya mengatasi krisis iklim. Peran para petani sangat penting dalam menjaga kestabilan alam. Mereka menanam berbagai tanaman pangan seperti durian, jeruk, kakao, sampai gambir. Karena itu, kedaulatan petani harus didukung dengan membiarkan mereka terus mananam tanaman pangan.
Bola-bola berwarna merah di ayaman bambu Marlince Sinambela, bolak balik satu per satu. Matahari terik. Bola berwarna merah itu hampir kering, beberapa hari lagi siap diangkat.
Bola-bola merah ini adalah gambir olahan. Ia jadi produk andalan warga Desa Bongkaras, Dairi, Sumatera Utara.
Tanaman obat ini menjadi penyelamat warga kala puluhan hektar ladang di Desa Bongkaras hancur terkena banjir bandang pada Desember 2018. Ketika ladang dan komoditas tani hancur, ada gambir yang bisa mereka olah dan jual, harga pun tinggi.
“Gambir ini sudah mau kering. Sebentar lagi aku angkat,” ucap Marlince, Agustus lalu.
Perempuan berusia 65 tahun ini sudah lama mengolah gambir. Gambir menjadi bola-bola merah ini dia kumpulkan dan jual ke pengepul. Harga tergantung besaran yang warga buat. Kalau Marlince sebesar kepalan tangan Rp7.000.
“Jadi kita jual satuan, harga kita yang menentukan, tergantung besarnya. Jadi ini kita yang menentukan harga bervariasi. Kalau ini aku jual Rp7.000. Ada juga Rp3.000, buatnya kecil.”
Sekali jual ke pengepul, Marlince dan suami, bisa menghasilkan ratusan bola-bola gambir. Dalam satu minggu, uang yang dia peroleh bisa sampai Rp3,5 juta.
Marlince mengatakan, gambir memiliki banyak manfaat antara lain, bahan baku membuat cat. Untuk kesehatan, gambir memiliki khasiat menyembuhkan penyakit pencernaan, seperti maag, sembelit dan diare. Warga juga memanfaatkan gambir untuk campuran sirih.
“Kalau pengepul ini mereka beli untuk bahan baku cat,” kata Marlice.
Hampir semua warga Desa Bongkaras mengelola gambir. Banyak gambir dijemur di sudut-sudut desa.
“Gambir Desa Bongkaras udah terkenal. Selain gambir petani juga nanam cokelat, jeruk purut, jagung dan durian,” ucap Marlince.
Bikin gambir menjadi bola-bola memerlukan waktu cukup lama. Warga kelola dengan cara tradisional. Mulai dari memetik daun gambir di ladang, merebus di tungku selama satu jam, kemudian diperas. Kemudian, air perasan gambir diendapkan selama satu malam. Endapan gambir itulah yang mereka bentuk jadi bola-bola lalu dijemur.
“Kita tata di bambu ini biar rapi. Dijemur, keringnya tergantung cuaca. satu sampai dua minggu. Tergantung besarnya juga kan, kalau besar lama, kalau kecil bisa cepat,” ucap Marlince.
Dia masih ingat betul ketika banjir bandang menerjang pada Desember 2018. Bencana yang baru pertama kali terjadi itu meluluhlantakkan ladang pertanian warga Desa Bongkaras dan Parongil sekitar 609 hektar, empat orang meninggal dunia karena terseret arus dan dua orang belum ditemukan sampai saat ini.
“Enam bulan kita tidak meladang, karena takut dan ladang rusak. Untungnya ada gambir ini, gak rusak.”
Banjir bandang diduga terkaitan dengan kehadiran perusahaan tambang seng, PT Dairi Prima Mineral (DPM) di sana.
DPM merupakan perusahaan yang mendapat kontrak karya dari pemerintah Indonesia dengan luas konsesi 27.420 hektar. Ada perubahan, luas areal konsesi kini menjadi 24.636 hektar tersebar di tiga kabupaten dan dua provinsi yakni Dairi, Pakpak Bharat (Sumatera Utara) dan Kabupaten Subulussalam (Nanggroe Aceh Darussalam).
Pusat tambang DPM terletak di Desa Longkotan, Kecamatan Silima Pungga Pungga. Kala itu, 70% saham perusahaan ini MILIK Herald Resources Limited, sisanya PT Aneka Tambang. Kemudian, saham perusahaan beralih 100% ke PT Bumi Resources Minerals (BRMS), milik keluarga Aburizal Bakrie. BRMS tak mampu membayar hutang hingga mereka jual 51% kepada Non Ferrous China (NFC).
DPM mulai pengeboran perut bumi pada 1997 dan menghasilkan endapan seng atau anjing hitam bermutu tinggi di Sopokomil, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Dairi.
Pada 2002, DPM memulai studi pra-kelayakan untuk menentukan kelayakan sumber daya tambang itu.
“Hutan kita ditebang. Bagaimana tidak terjadi banjir bandang?”
Gambir dan tanaman lain mensejahterakan warga Desa Bongkaras. Marlince bilang, warga tidak membutuhkan tambang. Tambang, katanya, hanya menguntungkan segelintir orang sedang masyarakat menderita.
Masyarakat Dairi protes dan melawan sampai mengajukan gugatan hukum. “Saya akan terus melawan karena ini tanah nenek moyang kami, melawan sampai mati.”
Marlince bilang, kehadiran DPM mengancam keberlangsungan hidup masyarakat Desa Bongkaras. Apalagi, Bongkaras merupakan desa di sekitar tambang. Selain banjir bandang, Bongkaras juga pernah terdampak kebocoran limbah tambang pada 2012.
“Nanti kita gak bisa berladang lagi. Aku gak bisa bikin gambir lagi,” katanya.
***
Saya sempat ke kebun gambir warga bersama Marlince. Jarak sekitar satu kilometer dari rumah Marlince, lewati jalan setapak ke pegunungan. Ladang Marlince lebih jauh.
Di ladang itu ada beragam tanaman selain gambir, dari durian, jeruk purut dan masih banyak lagi.
“Nah ini gambir, yang hijau ini. Ini yang aku petik. Tanaman ini yang mensejahterakan aku. Dairi ini dianggap lahan mati oleh perusahaan. Omong kosong itu, lihat saja buktinya. Ini bisa kita wariskan untuk anak cucu kita,” katanya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara , luas ladang gambir di Dairi pada 2021, sekitar 471 hektar dengan produksi mencapai 412 ton. Pada 2018, saat banjir bandang di Desa Bongkaras, produksi gambir menurun drastis, dari luas ladang gambir 457,10 hektar, produksi 253,40 ton.
Warga Desa Bongkaras juga tengah mengembangkan obat herbal dari olahan gambir. Saat ini, ada beberapa produk gambir olahan mandiri seperti teh gambir dan produk obat.
Loris Bancin, warga Desa Bongkaras memperlihatkan produk olahan itu. Teh rajangan daun gambir mereka jemur sampai kering. Ada juga gambir bubuk.
“Kalau teh ini kami ambil daun lalu didiamkan selama 8-11 jam lalu dirajang setelah itu dijemur 12 hari. Kalau yang bubuk ini dari gambir kering yang dihaluskan, daun direbus lalu diperas, dan diendapkan, endapannya ini dikeringkan, kalau sudah kering baru dihaluskan,” kata perempuan 60 tahun ini.
Khasiat ramuan itu, katanya, untuk pegal-pegal, obat lambung, diare. “Macam-macamlah.”
Sayangnya, warga masih kesulitan memasarkan produk olahan ini karena pasar masih rendah. Meski begitu, Loris mencoba memasarkan secara online di media sosial atau e-commerce.
“Kalau saya belum ngerti lewat online gimana, lihat live-live gitu. Tapi nanti belajar. Ini mau dilengkapi dulu untuk syarat UMKM-nya,” kata Loris.
Posman Sibuea, Guru Besar Ilmu Pangan Universitas Katholik Santo Thomas mengatakan, gambir sama seperti pangan lokal lain yang berhubungan dengan upaya mengatasi krisis iklim.
Peran para petani sangat penting dalam menjaga kestabilan alam. Mereka menanam berbagai tanaman pangan seperti durian, jeruk, kakao, sampai gambir. Karena itu, kedaulatan petani harus didukung dengan membiarkan mereka terus mananam tanaman pangan.
“Bagaimana kita memperkuat ekonomi petani itu melalui pemulihan ruang lingkung. Sekarang, pangan lokal itu bisa memitigasi, mencegah, dan mengadaptasi perubahan iklim global,” katanya.
Namun, kehadiran perusahaan tambang di Dairi justru mengganggu kedaulatan pangan para petani. Eksploitasi berlebihan menyebabkan kerusakan lingkungan yang juga berdampak pada krisis iklim.
Sisi lain, pemerintah justru memuluskan bisnis tambang lewat kebijakan dan dalih hilirisasi, Padahal jelas, para petani sejahtera karena komoditas tani, bukan tambang.
“Ketika kita makin sering mengkonsumsi pangan -pangan lokal, kita budidayakan dengan baik, perubahan iklim itu bisa kita cegah. Hidup kita jangan tergantung pada industri-industri pertambangan,” kata Posman.
Dia katakan, tambang membuat petani makin terpinggirkan di negeri agraris ini. Bahkan, pemerintah impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, bukan memaksimalkan pangan lokal dari petani.
“Kita kurangilah menggunakan produk-produk hilirisasi. Itu supaya kawasan pertanian kita makin baik, dan petani, kita semua makin berdaulat di bidang pangan.”
*******
Durian, Simbol Perlawanan Warga Dairi Hadapi Perusahaan Tambang Seng