- Perubahan iklim dan urbanisasi menjadi penyebab utama meningkatnya suhu di wilayah perkotaan yang dampaknya kian dirasakan masyarakat yang beraktivitas di luar atau bahkan di dalam ruangan.
- Fenomena panas perkotaan diperkirakan akan terus terjadi, seiiring pertumbuhan kota-kota besar di Asia, khususnya di Indonesia, serta minimnya ruang terbuka hijau dan biru.
- Berbagai efek panas perkotaan berkontribusi pada beragam masalah kesehatan masyarakat, khususnya masyarakat berpendapatan rendah atau masyarakat terpinggirkan lainnya.
- Penelitian terbaru menyatakan pentingnya peran pohon sebagai langkah mitigasi suhu panas perkotaan. Suhu udara sekitar bahkan bisa menjadi 2-5 kali lebih panas dibandingkan tempat yang memiliki banyak pohon.
Lingkungan yang dibangun di perkotaan, umumnya lebih panas bila dibandingkan kawasan pedesaan. Fenomena ini disebut heat island atau urban heat island, yang dalam beberapa tahun terakhir kian terasa dampaknya, khususnya di Indonesia.
“Ada tempat berteduh saja sudah menyenangkan,” kata Kem Prima, warga Kelurahan 5 Ulu, Kota Palembang, kepada Mongabay Indonesia, Senin [28/10/2024].
Prima setiap hari harus menempuh perjalanan sejauh tujuh kilometer untuk menuju tempat kerjanya. Jarak tersebut mungkin terasa pendek. Namun di Kota Palembang yang serba macet, bagi Prima dan pekerja urban lainnya, itu adalah sebuah perjuangan besar.
Selama beberapa hari terakhir, di Palembang dan sejumlah kota-kota besar di Indonesia, suhu luar ruangan berada dikisaran 30-37 derajat Celcius dan malam hari lebih 30 derajat Celcius. Bahkan, suhu tertinggi tercatat di Majalengka [Jawa Barat] dan Bima [Nusa Tenggara Barat], mencapai lebih dari 37,0 – 37,8 derajat Celcius, dikutip dari Antara Sumsel.
“Kulit terasa terbakar jika terpapar sinar matahari langsung. Energi habis di perjalanan. Di rumah, kipas angin berfungsi 24 jam,” kata Prima yang tinggal di rumah panggung sekitar 100 meter dari Sungai Musi.
“Dulu, angin sejuk yang berembus. Sekarang, angin panas dan mendadak kencang. Aneh cuaca sekarang, mungkin dampak perubahan iklim,” terangnya.
Dengan luas hampir 40.000 hektar dan jumlah penduduk mendekati dua juta jiwa, Palembang adalah sebuah kota yang dibangun di lahan basah. Pada 1919, lahan rawa di Palembang mencapai 80 persen.
Namun pada 2010, luasannya tersisa sekitar 25 persen [Sagala dan kolega 2013]. Data terakhir, luas rawanya sekitar 5.834 hektar pada 2014, atau sekitar 15 persen dari luas total Palembang.
Dalam skala provinsi, berdasarkan data HaKI [Hutan Kita Institut], Sumatera Selatan diperkirakan memiliki sekitar tiga juta hektar lahan basah. Sekitar 1.123.119 hektar berubah fungsi. Sebanyak 17 perusahaan HTI menguasai sekitar 559.220 hektar dan 70 perusahaan sawit menguasai 231.741 hektar. Sekitar 332.158 hektar dijadikan permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.
Penelitian Wu dan kolega [2021] menjelaskan, sepanjang tahun di wilayah tropis, lahan basah cenderung mendinginkan suhu udara di sekitarnya. Hal Ini dikuatkan dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa, suhu permukaan tanah di muara Sungai Minjiang [China] meningkat selama periode kerusakan lahan basah [1993–2013], dan menunjukkan efek pendinginan pada lahan basah tanpa kerusakan.
“Hasil kami menunjukkan bahwa sangat penting untuk mempertimbangkan secara komprehensif dampak restorasi lahan basah di berbagai wilayah untuk mewujudkan potensi manfaat iklim di masa mendatang,” tulis penelitian tersebut.
Baca: Waspada, Gelombang Panas Bakal Kerap Sambangi Asia Tenggara
Prof. Dr. Ing. Wiwandari Handayani, Guru Besar Bidang Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Dipenegoro mengatakan, pada dasarnya setiap wilayah yang dibangun memiliki potensi untuk melepaskan panas. Kota Palembang yang dibangun di atas lahan basah, mungkin punya proses pelepasan panas yang berbeda dengan Pulau Jawa, begitu sebaliknya.
“Yang jelas, fenomena peningkatan suhu panas di sejumlah kota besar, khususnya di Indonesia, diperkirakan akan terus terjadi kedepannya,” katanya, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [31/10/2024].
Dua penyebab utamanya, pertama, perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan emisi antropogenik dan gas rumah kaca lainnya, merupakan efek jangka panjang dengan potensi untuk mengubah intensitas, pola temporal, dan tingkat spasial peningkatan panas di wilayah metropolitan.
Kedua, fenomena urbanisasi yang umum terjadi di sejumlah negara berkembang di Asia, khususnya Indonesia.
“Sayangnya, pertumbuhan kota-kota besar ini tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan terbuka hijau dan biru, yang berfungsi untuk mengontrol iklim mikro, hingga mengatur siklus air,” katanya.
Sebagai informasi, merujuk prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG] Provinsi Sumatera Selatan [Sumsel] pada September lalu, musim hujan di seluruh wilayah Sumsel akan terjadi pada bulan Oktober.
Prediksi ini mungkin benar mengingat hujan mulai terjadi di wilayah dataran tinggi Sumatera Selatan, seperti Semende. Pertumbuhan awan hujan secara merata di Sumatera Selatan dikabarkan BMKG baru akan terjadi pada akhir Oktober hingga awal November 2024.
Baca: Sisi Lain Perubahan Iklim, Cuaca di Kota di Jabar Makin Panas
Kesehatan Masyarakat Perkotaan
Mengutip katadata.com, Badan Pusat Statistik [BPS] memperkirakan, sebanyak 56,7 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2020. Persentase tersebut diprediksi meningkat menjadi 66,6 persen pada 2035.
Bank Dunia juga memperkirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Jumlah itu setara dengan 70 persen dari total populasi di Indonesia.
Ironinya, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kota sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk tinggali. Bahkan, berbagai efek panas perkotaan berkontribusi pada beragam masalah kesehatan masyarakat.
Krisna Gunawan, pemuda yang menetap di Kota Palembang dan berkerja di perusahaan ojek online menyatakan, saat ini ia lebih memilih aktif menerima orderan malam hari karena cuaca panas ekstrim siang hari.
“Dulu sempat ngojek siang hari, keluar dari pagi sampe sore. Besoknya langsung sakit, kepala tiba-tiba migrain. Hampir semua teman yang ngojek mengeluhkan hal yang sama,” terangnya, Selasa [29/10/2024].
Di Amerika Serikat, seperti dijelaskan Hsu dan kolega [2021], sejumlah penelitian menyebutkan bahwa mortalitas terkait panas, telah menyebabkan lebih banyak kematian [sekitar 1.500 per tahun] daripada peristiwa cuaca buruk lainnya.
“Paparan panas juga dikaitkan dengan beberapa hasil kesehatan yang tidak fatal, termasuk sengatan panas, dehidrasi, hilangnya produktivitas tenaga kerja, dan penurunan pembelajaran.”
Baca: Hadapi Krisis Iklim Peneliti Kembangkan Padi Tahan Cuaca Panas
Di Indonesia, menurut Arifwidodo dan kolega [2019] yang melakukan penelitian studi kasus di Bangkok [Thailand] dan Bandung [Indonesia], lebih dari 80 persen responden mengalami kesulitan tidur di malam hari karena terlalu panas.
“Responden melaporkan bahwa mereka melakukan lebih sedikit pekerjaan rumah tangga di sore hari. Lebih dari 80 persen responden memiliki masalah gangguan panas di tempat kerja, dan lebih dari 70 persen responden kurang berolahraga karena terlalu panas,” tulis penelitian tersebut.
Selain itu, peningkatan suhu panas di wilayah perkotaan juga meningkatkan konsumsi energi rumah tangga. Penelitian yang sama menyebutkan, terganggunya aktivitas harian harus diimbangi dengan menyalakan AC atau kipas angin saat melakukan tugas-tugas tersebut.
“Dan hampir 100 persen responden memerlukan penggunaan AC atau kipas angin untuk membantu mereka tidur di malam hari karena terlalu panas.”
Mirisnya lagi, sejumlah penelitian menunjukkan, masyarakat berpendapatan rendah atau masyarakat terpinggirkan lainnya, mungkin mengalami tingkat intensitas panas yang lebih tinggi secara tidak proporsional.
Penelitian Park dan kolega [2018] menemukan bahwa 37 dari 51 negara yang diteliti [termasuk Indonesia] menunjukkan “poverty exposure bias” [PEB] positif [artinya, orang miskin lebih terpapar suhu tinggi daripada rata-rata]. Khusus di Indonesia, hasil PEB menunjukkan kurang dari nol, yang artinya orang miskin kurang terpapar.
“Kami menemukan bahwa rumah tangga miskin cenderung berlokasi di lokasi yang lebih panas di seluruh dan di dalam negara, dan individu miskin lebih cenderung bekerja di pekerjaan dengan paparan yang lebih besar terhadap unsur-unsur tidak hanya di seluruh tetapi juga di dalam negara,” tulisnya.
Para peneliti juga menemukan beberapa bukti yang menunjukkan bahwa sebagian dari dampak negatif [dan regresif] perubahan iklim dapat diimbangi fakta bahwa, di bagian dunia yang dingin, populasi miskin cenderung tinggal di lingkungan yang lebih marjinal [lebih dingin].
Wiwandari Handayani menambahkan, dampak penyakit akibat paparan panas sebenarnya bisa diatasi dengan melakukan sejumlah adaptasi, misalnya menggunakan topi, baju lengan panjang, dan lain sebagainya.
“Namun, masih banyak orang yang tidak menyadari perubahan ini, sehingga potensi terkeda dampak paparan panas, hingga penyakit bisa menjadi lebih tinggi,” katanya.
Baca juga: Krisis Iklim Global: Tahun 2023 Mencatat Rekor Suhu Laut Terpanas
Langkah Mitigasi
Salah satu langkah mitigasi penting untuk mengurangi efek panas perkotaan adalah dengan memperbanyak ruang terbuka hijau dan biru di lanskap perkotaan. Hal ini merujuk pada penelitian di Jakarta, yaitu beberapa daerah dengan ruang terbuka hijau memiliki suhu permukaan lebih rendah sekitar 3,2 derajat Celcius.
“Fakta ini mengungkapkan efektivitas hutan kota dalam menurunkan suhu permukaan,” tulis penelitian Rushayati dan kolega [2016].
Riset Ettinger dan kolega [2024] menunjukkan, pentingnya peran pohon di lanskap perkotaan yang memanas. Suhu udara sekitar bahkan bisa menjadi 2-5 kali lebih panas ketimbang tempat yang memiliki banyak pohon.
“Hal ini juga menyoroti perlunya meningkatkan tutupan pohon karena perubahan iklim terus memperburuk tekanan panas di musim panas, terutama lingkungan sekitar yang mengalami ketidakadilan termal,” tulisnya.
Wiwandari Handayani mengatakan, masih banyak kota di Indonesia yang kekurangan ruang terbuka hijau dan biru. Selain menjaga iklim mikro, ruang-ruang ini juga dapat menjaga siklus air, sehingga mengurangi potensi banjir.
“Selain itu, pemerintah bisa didorong untuk mengembangkan program inovasi vertical garden, roof garden, urban farming dan lainnya. Intinya we need more greenery untuk berbagai kebutuhan, bukan sebagai peneduh saja,” tegasnya.
Referensi:
Arifwidodo, S. D., Chandrasiri, O., Abdulharis, R., & Kubota, T. (2019). Exploring the effects of urban heat island: A case study of two cities in Thailand and Indonesia. APN Science Bulletin.
Ettinger, A. K., Bratman, G. N., Carey, M., Hebert, R., Hill, O., Kett, H., Levin, P., Murphy-Williams, M., & Wyse, L. (2024). Street trees provide an opportunity to mitigate urban heat and reduce risk of high heat exposure. Scientific Reports, 14(1), 3266.
Hsu, A., Sheriff, G., Chakraborty, T., & Manya, D. (2021). Disproportionate exposure to urban heat island intensity across major US cities. Nature Communications, 12(1), 2721.
Park, J., Bangalore, M., Hallegatte, S., & Sandhoefner, E. (2018). Households and heat stress: estimating the distributional consequences of climate change. Environment and Development Economics, 23(3), 349–368.
Rushayati, S. B., Prasetyo, L. B., Puspaningsih, N., & Rachmawati, E. (2016). Adaptation Strategy Toward Urban Heat Island at Tropical Urban Area. Procedia Environmental Sciences, 33, 221–229. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.proenv.2016.03.073
Sagala, S., Yamin, D., Lutfiana, D., & Wimbardana, R. (2013). Alih Fungsi Lahan Rawa dan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana Banjir: Studi Kasus Kota Palembang. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.2763.1206
Wu, Y., Xi, Y., Feng, M., & Peng, S. (2021). Wetlands cool land surface temperature in tropical regions but warm in boreal regions. Remote Sensing, 13(8), 1439.