Evolusi Tak Terduga: Capung Batu Selandia Baru Mengubah Warna akibat Deforestasi

2 weeks ago 18

Siapa sangka, deforestasi tidak hanya merusak habitat tetapi juga memicu perubahan evolusioner yang tak terduga pada capung batu Selandia Baru. Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Science mengungkap bagaimana deforestasi telah mendorong perubahan warna pada capung batu asli Selandia Baru (genus Zelandoperla) dengan kecepatan yang mengejutkan. Studi yang dilakukan oleh para peneliti di Universitas Otago ini mengamati 1.204 spesimen capung batu dari 19 habitat berbeda di hutan Beech di South Island, Selandia Baru – 9 habitat berhutan dan 10 habitat yang telah terdeforestasi antara 550 hingga 750 tahun yang lalu.

Mimikri dan Strategi Bertahan Hidup yang Berubah

Di habitat hutan alami, capung batu Zelandoperla telah mengembangkan warna peringatan yang meniru spesies capung batu beracun lainnya, Austroperla cyrene. Mimikri ini melindungi Zelandoperla dari predator, karena burung-burung pemangsa mengasosiasikan warna gelap dengan racun yang dihasilkan A. cyrene.

Namun, deforestasi telah menghilangkan habitat A. cyrene dan predatornya. Hilangnya A. cyrene di daerah terdeforestasi dikonfirmasi melalui analisis genetik yang menunjukkan tidak adanya alel ebony pada populasi Zelandoperla di daerah tersebut. Alel ebony bertanggung jawab atas produksi melanin yang menyebabkan warna tubuh gelap pada capung batu.

Austroperla cyrene. Capung batu Zelandoperla telah mengembangkan warna peringatan yang meniru spesies capung batu beracun lainnya, Austroperla cyrene | Foto oleh Leon Perrie CC BY 4.0

Akibatnya, Zelandoperla di daerah yang gundul tidak lagi memiliki model untuk ditiru. Tanpa tekanan dari predator, strategi mimikri menjadi tidak relevan. Studi ini menemukan bahwa Zelandoperla di daerah yang terdeforestasi telah berevolusi menjadi warna yang lebih terang, meninggalkan warna gelap yang sebelumnya berfungsi sebagai mekanisme pertahanan. Perubahan warna ini terjadi karena produksi melanin yang berlebihan menjadi tidak menguntungkan di lingkungan yang terbuka, di mana kamuflase lebih penting untuk menghindari predator.

Baca juga: Capung, Lahan Basah, dan Helikopter

Mengapa Evolusi Ini Tak Terduga?

Evolusi perubahan warna pada capung batu Zelandoperla ini terbilang “tak terduga” karena beberapa alasan.

  • Kecepatan Adaptasi

    • Pertama, kecepatan adaptasi Zelandoperla terhadap deforestasi sangat mengejutkan. Perubahan warna yang signifikan terjadi hanya dalam waktu 550-750 tahun, jangka waktu yang relatif singkat dalam skala waktu evolusi. Umumnya, proses evolusi membutuhkan ribuan bahkan jutaan tahun untuk menghasilkan perubahan yang signifikan. Namun, capung batu ini menunjukkan plastisitas fenotipik yang luar biasa, yaitu kemampuan untuk mengubah sifat fisiknya sebagai respons terhadap perubahan lingkungan dengan cepat.

  • Paradigma Lama Terbantahkan

    • Kedua, temuan ini menantang paradigma lama yang menganggap bahwa evolusi warna pada serangga terutama dipengaruhi oleh faktor genetik dan seleksi alam dalam jangka waktu yang lama. Studi ini menunjukkan bahwa perubahan lingkungan yang cepat akibat aktivitas manusia, seperti deforestasi, juga dapat menjadi pemicu utama evolusi. Hal ini menyiratkan bahwa manusia memiliki peran yang jauh lebih besar dalam mempengaruhi arah evolusi spesies lain dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya.

  • Kompleksitas Interaksi Ekologis

    • Ketiga, evolusi ini mengungkapkan kompleksitas interaksi ekologis di alam. Hilangnya satu spesies akibat deforestasi, dalam hal ini A. cyrene, ternyata berdampak signifikan pada evolusi spesies lain yang berinteraksi dengannya. Ini menunjukkan bahwa perubahan pada satu bagian ekosistem dapat menyebabkan efek berantai yang sulit diprediksi pada komponen lainnya.

Dampak Manusia pada Interaksi Ekologis

Studi ini menyoroti bagaimana tindakan manusia, khususnya deforestasi, telah mengganggu interaksi ekologis yang rumit yang telah berevolusi selama jutaan tahun. Ekosistem hutan merupakan jaringan kehidupan yang saling terhubung, di mana setiap spesies memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Hilangnya satu spesies saja, seperti A. cyrene, dapat memicu efek domino pada spesies lain dan menimbulkan konsekuensi yang luas dan tak terduga.

  • Perubahan Jaring Makanan: A. cyrene, sebagai predator puncak dalam jaring makanan hutan, berperan dalam mengontrol populasi serangga herbivora. Hilangnya A. cyrene dapat menyebabkan peningkatan populasi serangga herbivora yang tidak terkendali, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kerusakan pada vegetasi hutan.

  • Gangguan Dinamika Predator-Mangsa: Selain itu, hilangnya A. cyrene juga dapat mempengaruhi dinamika predator-mangsa spesies lain. Burung pemangsa yang semula memangsa A. cyrene mungkin akan beralih ke mangsa lain, sehingga meningkatkan tekanan predasi pada spesies tersebut.

  • Potensi Gangguan Penyerbukan: Meskipun belum ada bukti langsung, ada kemungkinan bahwa A. cyrene juga berperan dalam proses penyerbukan beberapa jenis tanaman di hutan beech. Hilangnya A. cyrene dapat mengurangi efektivitas penyerbukan dan mempengaruhi keberhasilan reproduksi tanaman tersebut.

  • Fragmentasi Habitat: Deforestasi tidak hanya menyebabkan hilangnya spesies, tetapi juga menyebabkan fragmentasi habitat, yaitu pemecahan habitat hutan menjadi bagian-bagian kecil yang terisolasi. Fragmentasi habitat ini dapat mengurangi aliran gen, meningkatkan kompetisi antar spesies, dan membuat spesies lebih rentan terhadap kepunahan.

Secara keseluruhan, studi ini menekankan bahwa tindakan manusia dapat menyebabkan dampak yang luas dan kompleks pada interaksi ekologis. Memahami dampak ini sangat penting untuk mengembangkan strategi konservasi yang efektif dan menjaga keseimbangan ekosistem hutan.

Baca juga: Inilah Hewan dengan Umur Terpendek di Dunia. Mengapa Hidup Mereka Begitu Singkat?

Ketahanan dan Konservasi

Meskipun studi ini menyoroti dampak negatif aktivitas manusia, ia juga menawarkan secercah harapan. Kemampuan capung batu untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan menunjukkan ketahanan beberapa spesies asli.

Dr. Graham McCulloch, salah satu penulis studi tersebut, menekankan pentingnya temuan ini bagi upaya konservasi. Memahami kemampuan adaptasi spesies dapat membantu dalam mengembangkan strategi konservasi yang efektif. Melestarikan keragaman genetik dan memfasilitasi proses adaptasi alami adalah kunci untuk melindungi spesies dari dampak perubahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia.

Studi ini juga menunjukkan pentingnya mempertahankan habitat asli dan meminimalkan fragmentasi hutan. Dengan mengurangi laju deforestasi dan memulihkan hutan yang rusak, kita dapat membantu melestarikan interaksi ekologis yang penting dan memberikan kesempatan bagi spesies seperti capung batu untuk beradaptasi secara alami terhadap perubahan lingkungan.

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|