- Baru-baru ini, Pemerintah Indonesia membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah lebih dari 20 tahun dilarang. Kalangan organisasi masyarakat sipil menuding kebijakan kontroversial itu hanya untuk mengakomodir kepentingan pengusaha dan para oligarki.
- Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), mangatakan, ekspor pasir laut akan berisiko menciptakan pengangguran di kawasan pesisir. Industri ini cenderung padat modal bukan padat karya.
- Muhammad Karim, Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, mengatakan, eskpor pasir laut sebelumnya dilarang karena dampak sangat signifikan. Bukan hanya terhadap komunitas pesisir dan laut, juga pada ekosistem dan sumber daya laut. Kebijakan ini melahirkan dua model perampasan, yakni, perampasan ruang laut dan sumber daya.
- Center of Economic and Law Studies (Celios), sudah kajian menguji klaim pemerintah terkait potensi peningkatan ekonomi dari kebijakan ini. Kajian yang rilis 4 Oktober lalu itu menyimpulkan, potensi pemasukan negara kecil tak sebanding besaran kerugian dari kebijakan ini.
Baru-baru ini, Pemerintah Indonesia membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah lebih dari 20 tahun dilarang. Kalangan organisasi masyarakat sipil menuding kebijakan kontroversial itu hanya untuk mengakomodir kepentingan pengusaha dan para oligarki.
Kebijakan buka keran ekspor itu tertuang dalam Permendag Nomor 20/2024 tentang perubahan kedua atas Permendag 22/2023 tentang Barang yang Dilarang Ekspor, serta Permendag Nomor 21/2024 tentang perubahan kedua atas Permendag 23/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Kebjakan itu sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi di Laut .
Parid Ridwanuddin, Manajer Kelautan dan Pesisir Walhi Eksekutif Nasional mengatakan, langkah pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut itu kian menegaskan watak hanya berorientasi jangka pendek.
“Hanya ingin untung cepat, tanpa memikirkan dampak jangka panjang,” katanya.
Ada banyak cerita bagaimana tambang pasir laut yang terjadi 20 tahun lalu berdampak terhadap masyarakat pesisir dan nelayan. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat atau Galesong, Sulawesi Selatan, , para nelayan harus melaut lebih jauh karena area tangkapan mereka rusak karena tambang pasir laut.
“Itu kalau dihitung, nilai kerugian jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang dibayangkan pemerintah.”
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), mangatakan, ekspor pasir laut akan berisiko menciptakan pengangguran di kawasan pesisir. Industri ini cenderung padat modal (capital intensive) bukan padat karya (labor intensive).
Dia menyebut, tidak ada korelasi ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing. Data historis sebelumnya memperlihatkan, pada 2001-2009, ada korelasi negatif antara peningkatan ekspor pasir laut dengan produksi perikanan tangkap.
Celios juga sudah kajian menguji klaim pemerintah terkait potensi peningkatan ekonomi dari kebijakan ini. Kajian yang rilis 4 Oktober lalu itu menyimpulkan, potensi pemasukan negara kecil tak sebanding besaran kerugian dari kebijakan ini.
Simulasi Celios menemukan dampak negatif pada produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp1,22 triliun, dan pendapatan masyarakat akan menurun sampai Rp1,21 triliun.
Estimasi pendapatan negara hanya Rp170 miliar dengan mengkomparasikan dampak tidak langsung ke sektor terdampak dari kebjakan ini.
“Narasi penambangan pasir laut akan mendorong ekspor dan penerimaan negara secara signifikan tidaklah tepat. Penerimaan negara dari pajak tidak mampu menutup kerugian keseluruhan output ekonomi yang berisiko turun Rp1,13 triliun,” kata Nailul Huda, penyusun kajian itu dalam keterangan tertulisnya.
Studi juga menunjukkan, setiap peningkatan ekspor pasir laut berisiko mengurangi produksi perikanan tangkap. Karena ada ekspor pasir laut 2,7 juta M³, ada penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan sekitar Rp1,59 triliun. Dampak turunannya, pendapatan nelayan hilang mencapai Rp990 miliar dan lapangan pekerjaan berkurang 36.400 orang.
Lebih lanjut penambangan pasir laut menyebabkan degradasi ekosistem yang berdampak pada perikanan tangkap. Penambangan pasir laut juga berdampak pada kerusakan habitat yang sulit diperbaiki.Masyarakat pesisir, terutama nelayan, terancam kehilangan mata pencaharian karena penurunan hasil tangkapan ikan.
Indonesia juga akan kehilangan potensi blue carbon dan ekosistem ekonomi biru kalau eksploitasi pasir laut lanjut. Dari perkiraan, Indonesia punya potensi 17% karbon biru dari seluruh dunia, setara 3.4 Giga ton.
Celios mendesak pemerintah mencabut kebijakan itu dan menghentikan seluruh proses penerbitan izin ekspor pasir laut.
“Pembangunan pesisir dan kelautan secara berkelanjutan jauh lebih menguntungkan dibandingkan praktik ekspor pasir laut yang merusak ekosistem ekonomi biru,” kata Huda.
Dalih pemerintah
Saat kebijakan keluar, Presiden Joko Widodo menyebut keran ekspor hanya bisa untuk material sedimentasi. “Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya, yang dibuka, adalah sedimen. Sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal,” katanya, dikutip dari media pemerintah.
Pengaturan ekspor hasil sedimentasi berupa pasir laut untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir dan laut, juga kesehatan laut. Ekspor hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 16/2024 tentang dokumen perencanaan pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Dalam dokumen ini, tercatat ada tujuh wilayah perairan pesisir untuk penambangan pasir laut. Ketujuh wilayah ini mencakup luasan 588.615,76 hektar dengan volume 17,6 miliar M³. Pemerintah memperkirakan potensi penerimaan negara dari sektor ini mencapai Rp2,5 triliun lebih.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mempertanyakan basis data menetapkan tujuh wilayah yang jadi sasaran pengerukan pasir laut versi–pemerintah sedimentasi—itu. Terutawa perairan Natuna yang berkontribusi 51% dari total 17,6 miliar M³ volume pasir laut yang akan dikeruk.
Hasil analisa peta betimetri, kata Susan, perairan Natuna tidak memiliki sedimen sebanyak itu. “Dari total 17,6 miliar M³ kubik pasir laut yang akan dikeruk itu, separo lebih ditetapkan di perairan Natuna. Pertanyaannya, apa iya sedimentasi di Natuna sebanyak itu, sedangkan analisa betimetri tidak menunjukkan demikian?”
Dia menduga, tingginya volume pasir laut dari Natuna lantaran lokasi paling dekat dengan Singapura. Maklum, sebelumnya negara ini jadi sasaran paling besar ekspor pasir laut asal Indonesia. “Maka, narasi sedimen semata hanya sebagai kamuflase supaya masyarakat dan nelayan tidak protes,” katanya.
Berikutnya Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Menurut Susan, Demak masuk dalam rencana pengambilan sedimen justru memperparah situasi.
Pesisir Demak jadi wilayah abrasi paling parah di antara beberapa daerah pesisir di utara Pulau Jawa. Beberapa desa pesisir kabupaten ini kini sudah tenggelam.
Bagi Susan, Demak sebagai lokasi pengambilan pasir laut kian menegaskan ketidakpedulian pemerintah terhadap apa yang dialami warga. Demak yang sebagian wilayah pesisir tenggelam oleh air laut memerlukan mitigasi lebih kuat menghadapi situasi itu. Yang terjadi justru sebaliknya.
“Kita bisa membayangkan, Demak yang pesisirnya sudah tenggelam itu, akan alami abrasi yang makin parah ketika pasir yang ada itu disedot,” kata Susan.
Politik dan bisnis?
Parid melihat ini sebagai politik balas budi. “Bohong saja kalau kebijakan ini dinarasikan untuk menyehatkan laut,” katanya.
Kesan kebijakan ini mengakomodir kepentingan pengusaha nampak jelas dari ada undangan verifikasi oleh Dirjen Pengelolan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPRL-KKP) kepada para pengusaha yang mengajukan izin ekspor pasir laut. Undangan itu dibuat jauh ada permendag itu.
Permedag ini baru Menteri Perdagangan keluarkan Agustus lalu, beberapa bulan setelah pertemuan antara DKPKRL dengan pemohon ekspor pasir laut.
“Ini bahwa setelah ada orang-orangnya, siapa saja yang mengajukan, baru Permendag dibuat untuk membuka keran ekspor itu,” kata Parid.
Mongabay mendapatkan salinan surat undangan dengan nomor: B.926/DJPKRL.4/TU/330/IV/2024 tertanggal 26 April 2024 itu. Total ada 66 perusahaan pemohon yang DJPRL undang untuk mengikuti verifikasi dan evaluasi permohonan izin pemanfaatan pasir laut yang berlangsung di Tuscany Bouteque Hotel Intermark, Kota Tangerang.
Dari surat undangan itu, terungkap beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan orang-orang di lingkaran kekuasaan turut mengajukan izin pemanfaatan pasir laut. Salah satunya, PT Rejeki Abadi Lestari (RAL) dan PT Gajamina Sakti Nusantara (GSN) yang sama-sama berkantor di Jakarta.
Profil perusahaan dari AHU Kemenkum HAM 10 Oktober lalu, RAL adalah perusahaan milik petinggi Partai Gerindra juga adik kandung Presiden Prabowo, Hasjim Djojohadikusumo. Relasi Hasjim di Rejeki Abadi Lestari melalui perusahaan miliknya, PT. Arsari Pradana Utama yang menggenggam mayoritas saham di RAL perusahaan 247.500 dari 300.000 lembar saham.
Ada juga nama putranya, Aryo Puspito Setiaki Djoohadikusumo, yang masuk dalam struktur perusahaan ini. Aryo merupakan politisi Partai Gerindra ini tercatat sebagai komisaris perusahaan dengan koleksi saham 2.500 lembar. Ada juga nama R. Ari Lumaksono, direktur di Arsari Grup yang menjabat sebagai direktur.
Dokumen undangan evaluasi dan verifikasi KKP kepada RAL memperlihatkan, perusahaan ini menggandeng Bumi Marine & Engineering Pte Ltd, serta PT. Boskalis International Indonesia sebagai mitra dredger. Sedangkan sebagai calon pembelinya PT Bina Karya (Persero), PT. Sumber Batu Jayamakmur, dan PT. Satria Laut Mas.
Keluarga Hasjim bukanlah satu-satunya pihak di lingkaran pemerintahan yang turut berebut pasir laut. Penelusuran Mongabay juga menemukan nama Menteri Hukum dan HAM sekaligus pendiri Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra melalui PT Gajamina Sakti Nusantara (GSN).
Di perusahaan yang baru berdiri pada April 2023 itu, Yusril sebagai komisaris dengan kepemilikan 4.000 lembar saham. Ada juga nama putrinya, Kenia Khairunnisa, selaku direktur utama dan putranya, Yuri Kemal Fadlullah sebagai direktur dengan koleksi masing-masing 500 lembar saham.
Perusahaan ini menggandeng Hock Keng Heng Pte Ltd , perusahaan kontruksi asal Singapura sebagai calon pembelinya.
Singapura, negara kecil di selat Malaka ini terkenal sebagai pemburu pasir untuk membangun sejumlah infrastruktur dan memperluas negaranya. Setiap tahun, luas Singapura terus bertambah berkat upaya reklamasi yang bersumber dari pasir laut. Hanya dalam beberapa dekade, luas Singapura bertambah 20%.
Pada 1960, luas Singapura 581,5 kilometer persegi, menjadi 725,7 kilometer persegi pada 2019. Negara berjuluk Singa Putih ini berambisi menambah luas daratan menjadi 766 kilometer persegi pada 2030.
“Lahan reklamasi menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi kita. Infrastruktur seperti Bandara Changi, Pelabuhan Tuas, dan Pulau Jurong semua dibangun di atas lahan reklamasi laut,” tulis pemerintah Singapura di laman resmi mereka 8 Oktober lalu.
Semula, reklamasi Singapura dengan mengandalkan pasokan pasir dalam negeri. Sebut saja reklamasi Pantai Timur yang banyak menggunakan material dari perbukitan Siglap dan Tampines. Setelah sumber daya habis, Singapura mengimpor pasir laut.
Catatan laporan keberlanjutan pasir Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2019, Singapura menjadi importir pasir terbesar dunia selama 20 tahun terakhir. Total impor pasir laut Singapura mencapai 517 juta ton dari negara-negara tetangga.
Singapura meyakini, pertumbuhan ekonomi negaranya sangat bergantung perluasan lahan. Karena itu, Singapura akan terus mendorong proyek-proyek reklamasi di banyak tempat. Salah satunya, proyek terminal peti kemas yang mereka sebut terbesar di dunia.
Proyek ini target selesai 2040 dan dipastikan memerlukan pasir laut dalam jumlah besar. Studi Orrin H. Pilkey dkk berjudul Vanising Sands: Losing Beaches to Mining mengatakan, untuk tahap awal proyek yang selesai pada 2021, menghabiskan 88 juta meter kubik pasir laut untuk mereklamasi lahan seluas 383 lapangan sepak bola. Kini, tahap kedua proyek sudah mulai dengan reklamasi mencapai 956 hektar.
Lin Derong (2017), sebagaimana dikutip dari laporan studi itu mengatakan, hampir semua proyek reklamasi Singapura dipimpin tiga intansi pemerintah: Housing and Development Board, Jurong Town Corporation dan Port of Singapore Authority.
Dalam praktiknya, ketiga lembaga ini kemudian mempekerjakan sejumlah rekanan. Kebanyakan dari Jepang, Belanda, Belgia dan Korea.
Muhammad Karim, Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, mengatakan, eskpor pasir laut sebelumnya dilarang karena dampak sangat signifikan. Bukan hanya terhadap komunitas pesisir dan laut, juga pada ekosistem dan sumber daya laut. Kebijakan ini melahirkan dua model perampasan, yakni, perampasan ruang laut dan sumber daya.
“Pasti penyebabkan kerusakan yang signifikan. Ketika pasir disedot, tentu ruang alami perubahan yang akhirnya berdampak pada geomorfologi kelautan. Dampaknya sangat kompleks. Arus, gelombang, dinamika oceanografi juga berubah total.”
Dari sisi sumber daya, juga akan terdampak karena ekosistem yang rusak.
Pada 2004, Karim pernah riset di Riau terkait dampak tambang pasir laut. Hasilnya, hasil tangkapan para nelayan turun lebih 50%. Dia pun heran tatkala pemerintah justru memasukkan kebijakan destruktif ini ke bagian dari ekonomi biru.
“Ini jadi tidak masuk akal karena dengan mengeksploitasi, justru melahirkan unsustainability dan ketidakadilan ruang dan sosial ekonomi.”
Klaim pemerintah material dengan katakan yang ditambang sedimentasi, dia nilai hanya retorika. Pemerintah berlindung dibalik istilah ‘sedimentasi’ untuk mengaburkan rencana eksploitasi pasir laut.
Pengajar Universitas Trilogi ini mengatakan, sedimentasi terjadi karena faktor alam dan manusia sebagai aktivitas kegiatan di darat, seperti tambang, alih fungsi lahan di daerah hulu. Karena proses oceanografi, sedimen membentuk pola tertentu, termasuk pulau-pulau kecil yang oleh masyarakat sekitar Riau disebut beting.
Kendati terkesan sepele, beting ini penting untuk menahan energi gelombang laut dan menghindarkan abrasi di pesisir. “Ini yang salah kaprah. Kalau sedimen-sedimen ini dikeruk, masyarakat pesisir potensial terdampak tatkala itu dikeruk,” kata Karim.
*******