Setiap 16 Oktober, masyarakat dunia memperingati Hari Pangan Sedunia (Word Food Day). Peringatan kali pertama pada 1979 untuk mempromosikan kesadaran menjaga kehidupan bumi dan bijak dalam mengelola pangan. Pemilihan 16 Oktober ini bertepatan dengan pembentukan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1945 di Kota Quebec, Kanada.
Persoalan pangan tak terlepas dari hak dasar atau hak asasi setiap manusia. Hak atas pangan (right to food) dijamin dalam Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).
Di Indonesia, hak atas pangan juga diatur dalam Pasal 28H UUD 1945 tentang hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir batin. Hal serupa disebutkan juga dalam UU No.18/2012 tentang Pangan dan UU No.11/2005 tentang Pengesahan (ratifikasi) Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Ada tiga pilar utama yang jadi dasar pelayanan negara untuk pemenuhan hak atas pangan yang tercantum dalam General Comment No. 12/1999 on the. right to adequate food oleh Committee on Economic, Social and Cultural Rights. Yaitu, ketersediaan, aksesibilitas dan kelayakan. Pilar ketersediaan berarti sumber pangan harus tersedia dari sumber alami seperti produksi pangan, penggarapan lahan atau cara lain seperti berburu dan meramu. Selain itu, sumber pangan juga harus tersedia di toko atau pasar.
Pilar aksesibilitas berarti akses sumber ekonomi untuk memperoleh sumber pangan harus terjamin. Tiap individu masyarakat harus mampu membeli pangan layak tanpa mengorbankan kebutuhan dasar lain. Selanjutnya, pilar kelayakan berkaitan dengan pemenuhan pangan berdasarkan kebutuhan seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan hingga kondisi hidup tiap individu.
Badan Pusat Statistik mencatat, Indonesia memiliki desa yang berada di sekitar dan dalam kawasan hutan 46,76% dan 3,97%. Artinya, sebagian besar masyarakat tak terlepas dari hutan dalam aktivitas keseharian, termasuk soal pangan.
Karena itu, menjadi penting bagi merefleksikan hak atas pangan masyarakat sekitar hutan termasuk hubungan dengan ekonomi restoratif. Dua pilar yang dapat terurai yaitu soal ketersediaan sumber pangan dan aksesibilitas ekonomi masyarakat dari hutan, serta masalah dan tantangan.
Ketersediaan sumber pangan dari hutan
Hutan sebagai sumber pangan acapkali jadi perbincangan dan tentu sudah banyak penelitian mengukuhkan itu. Misal, Ickowitz dkk pada 2016 terhadap empat lokasi di Indonesia antara lain, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Riau dan Kalimantan Barat menunjukkan, terdapat hubungan positif antara keanekaragaman pangan terutama sumber zat gizi mikro terhadap keberadaan hutan. Tingkat konsumsi pangan seperti sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, hingga daging banyak ditemukan pada masyarakat di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat, dengan ciri bentang alam berupa hutan alam dan agroforestri.
Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) juga pernah menerbitkan brief paper pada 2021, yang menyebutkan, hutan dan agroforestri menyediakan pangan beragam dan bergizi seperti kacang-kacangan, minyak, sayuran —dari akar, daun, bunga—, buah-buahan, daging hewan liar, ikan, herbal, jamur, umbi-umbian dan pakan ternak. Hutan juga memberikan layanan ekosistem sangat penting untuk pertanian khusus produksi pangan.
Namun keberadaan hutan terancam karena kebijakan pembukaan skala besar untuk kebun tanaman industri, perkebunan sawit, pertambangan hingga food estate. Terbaru, rencana penebangan hutan alam di Merauke seluas 2 juta hektar. Kebijakan ini mulus melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.15/2024 yang Presiden Joko Widodo teken tentang Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke.
Kebijakan itu berpotensi mengancam ketersediaan sumber pangan dari bagi Orang Papua. Tambah lagi, jarang sekali Orang Papua dapat tempat berpartisipasi penuh dalam penentuan kebijakan di tanah mereka sendiri.
Mereka harus jauh-jauh berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkan tanah ulayat dengan proses cukup panjang. Seperti yang Suku Awyu dan Moi lalukan tempo waktu dengan aksi damai di Mahkamah Agung. Mereka menyerukan penyelamatan hutan adat Papua.
Kalau melihat laju deforestasi, hutan alam Papua menyusut sekitar 663.443 hektar sepanjang 2001-2019. Sebanyak 29% deforestasi pada 2001-2010 dan 71% pada 2011-2019. Tiap tahun, rata-rata deforestasi sekitar 34.918 hektar, dengan tertinggi pada 2015 yang menghilangkan 89.881 hektar hutan alam.
Belum lagi dengan laju deforestasi di delapan provinsi lain yang menyimpan 80% hutan alam di Indonesia (forest-rich provinces) seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Aceh.
Kalau delapan provinsi itu menghadapi masalah sama seperti Papua dan mengancam ketersediaan sumber pangan dari hutan, bagaimana negara bisa menjamin pemenuhan hak atas pangan masyarakat?
Manfaat ekonomi hutan
Hutan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat secara langsung. Selain jadi sumber tenaga kerja untuk produksi hasil kayu, hutan juga memberikan manfaat ekonomi melalui hasil bukan kayu dari pengelolaan agroforestri dan bisnis wisata alam. Peningkatan ekonomi bagi masyarakat berbanding lurus dengan peningkatan dan perbaikan konsumsi pangan rumah tangga.
Sejak 2016, Indonesia menerapkan kebijakan perhutanan sosial yakni, memberikan akses legal bagi masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan. Masyarakat memiliki kesempatan mengelola kawasan hutan tanpa rasa was-was karena khawatir dianggap mengambil hasil hutan tanpa izin. Hingga akhir Oktober 2024, ada sekitar 8 juta hektar kawasan hutan dengan izin perhutanan sosial dari target 12,7 juta hektar.
Penelitian Latifah dkk tahun 2023 menunjukkan, akses legal pengelolaan hutan oleh masyarakat memberikan peluang dalam peningkatan ekonomi keluarga melalui peningkatan kapasitas produksi, pendapatan, penyerapan tenaga kerja, serta pengembangan peluang dan kemitraan usaha. Selain itu, manfaat sosial berupa peningkatan pengetahuan mengenai pengelolaan hutan, mengubah perilaku masyarakat seperti membuka hutan tanpa bakar, dan memperkuat budaya gotong-royong.
Dalam kasus lain, penelitian Nihayah dkk tahun 2023 juga merekam, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan meningkatkan taraf ekonomi kelompok tani hutan di Boyolali. Hal ini karena ada peningkatan kapasitas produksi terutama komoditas minyak kayu putih (eukaliptus).
Meskipun begitu, kebijakan perhutanan sosial juga memiliki beberapa catatan yang harus diperbaiki. Misal, dalam penelitian Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) tahun tahun 2023 menunjukkan, ada kesenjangan pengelolaan perhutanan sosial antara satu lokasi dengan lokasi lain. Penelitian ini menyoroti beberapa aspek antara lain, pendampingan, pemanfaatan dan keberlanjutan ekologi.
Pada aspek pendampingan, terlihat kesenjangan berupa intervensi pasca izin tak sebaik ketika pra izin. Intervensi pemerintah cukup intens ketika pra izin untuk percepatan penerbitan surat keputusan (SK) namun berkurang pasca izin.
Kapasitas kelembagaan penerima surat keputusan masih rendah dalam aspek pemanfaatan, dan merupakan efek domino dari minimnya pendampingan. Lalu kesenjangan dalam aspek keberlanjutan ekologi karena ada kerusakan ekologi karena pelanggaran di lokasi perhutanan sosial. Kerusakan ekologi banyak terjadi ketika masyarakat belum menerima surat keputusan.
Ekonomi restoratif untuk pemenuhan hak atas pangan
Ekonomi restoratif dapat menjadi pilihan bagi pemangku kebijakan untuk peningkatan ekonomi nasional sambil merestorasi lingkungan dan ekosistem. Menurut CELIOS, ekonomi restoratif adalah model pendekatan ekonomi terbaru untuk memastikan keberlanjutan kehidupan dunia.
Ekonomi restoratif bertujuan memulihkan ekosistem terdegradasi untuk mendapatkan kembali fungsi ekologis dan menyediakan barang serta jasa bernilai bagi masyarakat. Proyeksi manfaat ekonomi , sebesar US$7-US$30 setara Rp112.000-Rp480.000 pada setiap Rp16.000 uang yang terinvestasi untuk merestorasi lahan.
Selayaknya, pemerintah menerapkan pendekatan ekonomi restoratif secara masif dalam segala lini kebijakan. Transformasi sosial-ekologis dalam masyarakat akan meningkatkan kemandirian hingga dapat meningkatkan taraf hidup.
Terutama bagi kabinet pemerintahan yang baru dilantik 20 Oktober lalu, kebijakan pembukaan hutan alam di Merauke yang kini berjalan dapat ditinjau ulang demi kemaslahatan orang Papua. Meskipun pembukaan hutan alam itu itu untuk food estate, tetapi proyek serupa di berbagai wilayah Indonesia ini belum ada yang menunjukkan keberhasilan signifikan.
Food estate tidak dapat merealisasikan kewajiban negara dalam pemenuhan hak atas pangan bagi masyarakat.
Pilihan ekonomi restoratif jadi relevan karena dapat memenuhi dua bahkan tiga pilar hak atas pangan sekaligus. Ketersediaan sumber pangan dari hutan terjamin melalui pemulihan dan pelestarian hutan. Peningkatan ekonomi masyarakat dari hutan juga bisa didorong melalui pemerataan dan peningkatan kualitas akses kelola terhadap kawasan hutan.
Penulis: Bambang Tri Daxoko, Staf di Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Alumnus Program Studi Ilmu Gizi IPB University. Tulisan ini merupakan opini penulis.
Sumber rujukan:
https://www.ohchr.org/en/documents/general-comments-and-recommendations/ec1219995-general-comment-no-12-right-adequate-food
https://www.bps.go.id/id/publication/2020/06/29/ee925d3cdebd389299c8de78/identifikasi-dan-
Ickowitz A, Rowland D, Powell B, Salim MA, Sunderland T (2016) Forests, Trees, and Micronutrient-Rich Food Consumption in Indonesia. PLoS ONE 11(5): e0154139. doi:10.1371/journal. pone.0154139
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4871346/pdf/pone.0154139.pdf
Gitza V, Pingaulta N, Meybecka A, Ickowitzb A, McMullinc S, Sunderland T, Vincetie B, Powellf B, Termotee C, Jamnadassc R, Dawsonc I, Stadlmayr B. 2021. Contribution of forests and trees to food security and nutrition. Brief Paper. CGIAR: April 2021, Issue 5. DOI: 10.17528/cifor/008006
https://www.researchgate.net/publication/351164835_Contribution_of_forests_and_trees_to_food_security_and_nutrition
https://katadata.co.id/indepth/opini/66a35622e987b/jalan-baru-paradigma-ekonomi-restoratif
https://betahita.id/news/detail/10633/merauke-menolak-babak-belur-karena-food-estate.html?v=1729118191
https://auriga.or.id/cms/uploads/pdf_id/report/7/1/deforestasi_dan_pelepasan_kawasan_hutan_di_tanah_papua_id.pdf
Gerbens-Leenes PW, Nonhebel S, Krol MS. Food consumption patterns and economic growth. Increasing affluence and the use of natural resources. Appetite. 2010 Dec;55(3):597-608. doi: 10.1016/j.appet.2010.09.013. Epub 2010 Sep 18. PMID: 20854862.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20854862/
https://gokups.menlhk.go.id/public/home
Latifah S, Yonariza, Purwanto. Study of Community Forest Management (HKm) on Socio- Economic Sustainability in Several Regions of Indonesia. Earth and Environmental Science. 1188 012026. doi:10.1088/1755-1315/1188/1/012026
https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/1188/1/012026
Nihayah, A., Kistanti, N., Putri, P., & Ayuntavia, A. (2023). The Impact of Social Forestry Utilization Permit (IPHPS) Towards the Community Income. Efficient: Indonesian Journal of Development Economics, 6(1), 33-45. https://doi.org/10.15294/efficient.v6i1.65706
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/efficient/article/view/65706
Veriasa TO, Daxoko, BT, Imron NA, Santosa A, Kosar M. Memperbaiki Kinerja Perhutanan Sosial Menuju Keberlanjutan Hutan Jawa. Policy Brief Pertanian, Kelautan, dan Biosains Tropika, Vol. 5 No. 4 (2023). https://doi.org/10.29244/agro-maritim.0504.760-771
https://journal.ipb.ac.id/index.php/agro-maritim/article/view/52413
https://celios.co.id/reports/17?link=17
******