- Ketika kerusakan bumi dampak aksi industri skala besar terjadi di berbagai penjuru bumi, termasuk Indonesia, ada orang-orang atau kelompok masyarakat maupun komunitas yang beraksi melindungi alam. Mereka inilah pahlawan-pahlawan sesungguhnya bagi kelestarian bumi.
- Di Kalimantan Timur, ketika pembangunan mega proyek Ibukota Negara Nusantara (IKN) menggerus dari hutan, kebun, lahan pertanian sampai mangrove pesisir, ada Arman Jais, pemuda Suku Balik, yang menggalang warga untuk tanam pohon di Gunung Parung. Gunung ini masuk dalam deliniasi IKN. Ada sekitar 12 gua yang disakralkan Masyarakat Adat Suku Balik di hutan adat mereka. Ada batu peninggalan sejarah tersimpan di gua-gua itu. Kini mereka dorong hutan adat ini jadi ekowisata.
- Di Langkat, Sumatera Utara, kelompok masyarakat berupaya pemulihan dan penyelamatan hutan mangrove yang banyak berubah jadi kebun sawit atau ditebang jadi arang. Hingga kini, mereka masih terus berjuang menjaga hutan mangrove agar tak terus tergerus. Masyarakat sadar, hutan mangrove harus terjaga agar kampung mereka terhindar dari bencana abrasi dan mudah mencari biota laut yang jadi sumber pencarian.
- Adalah Opyor Jhenner Kalami, pemuda Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Papua Barat Daya, jadi penggerak mengelola hutan agar tetap terjaga dan bisa jadi sumber pencarian bagi masyarakat. Kampung itu pun membentuk Kelompok Sadar Wisata Malagufuk dengan menawarkan paket-paket keindahan alam sampai bird watching.
Ketika kerusakan bumi dampak aksi industri skala besar terjadi di berbagai penjuru bumi, termasuk Indonesia, ada orang-orang atau kelompok masyarakat maupun komunitas yang beraksi melindungi alam. Mereka inilah pahlawan-pahlawan sesungguhnya bagi kelestarian bumi.
Di Kalimantan Timur, ketika pembangunan mega proyek Ibukota Negara Nusantara (IKN) menggerus dari hutan, kebun, lahan pertanian sampai mangrove pesisir, ada Arman Jais, yang menggalang warga untuk tanam pohon di Gunung Parung. Gunung ini masuk dalam deliniasi IKN.
Arman, pemuda adat Suku Balik di Sepaku, mengatakan, sudah penanaman pohon sejak lama. Awal tahun ini, dia bersama empat pemuda lain menginisiasi penanaman pohon melibatkan lebih 30 orang.
“Kalau pemuda, (seperti) aku dan teman-teman yang lain itu sudah sering karena kebiasaan kita masyarakat adat itu kalau libur sekolah, larinya ke hutan. Pasti jalan-jalan di hutan.”
Lokasi penanaman terletak di hutan adat yang disakralkan para tetua leluhur Suku Balik, di sekitar 12 kilometer dari Logdam, Kampung Adat Suku balik, tempat Arman tinggal.
Aksi penanaman pohon tahun ini harus menginap selama lima malam, meski tak semua yang menginap dengan durasi sama. Mereka harus menginap karena akses ke lokasi penanaman sulit.
Jalan sulit, terjal, dan perlu jalur khusus karena banyak belukar.
Jenis bibit yang mereka tanam pun bermacam-macam, dari tanaman kapur, ulin, meranti, dan beragam pohon buah-buahan.
Pria yang sehari-hari menghabiskan waktu di kebun itu sadar kalau tempat yang mereka tanami itu masuk kawasan IKN. Dia tak tahu akan seperti apa nasib hutan adat itu ke depan.
Hutan adat itu sendiri sudah sejak lama dikelilingi konsesi hutan tanaman industri (HTI). Dulu, luas sekitar 7.500-an hektar, menyusut jadi 5.800 hektar.
Kondisi ini, membuat Arman khawatir kalau Masyarakat Adat Suku Balik akan makin terpinggirkan.
“Dari dulu, tanpa ada biaya (bantuan) pemerintah kami tetap merawat hutan, karena jadi kebutuhan kami juga hutan itu,” ucap Arman.
Masyarakat Adat Suku Balik juga memandang hutan sebagai sumber pengetahuan. Pengetahuan inilah yang dia bilang harus lanjut turun menurun.
Dorong ekowisata
Ada sekitar 12 gua yang disakralkan Masyarakat Adat Suku Balik di hutan adat mereka. Ada batu peninggalan sejarah tersimpan di gua-gua itu.
“Di dalam (gua) itu ada yang namanya Batu Putri, ada Batu Raja dan sebagainya, Batu Panglima, banyak. Dia (Gua) ada batu di dalam, yang dipercaya oleh Masyarakat Adat Balik itu raja yang pada masa lalu dikutuk menjadi batu. Cuma nggak semua juga bisa dikunjungi sama orang,” katanya.
Arman pun terdorong membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Hutan Adat Suku Balik Sepaku. Dia mengelola dengan konsep ekowisata.
“Kami bikinkan ini Kelompok Sadar Wisata daerah yang berbasis hutan, kunjungan alam. Itu agar hutan tetap ada.”
Pokdarwis ini termaktub dalam Surat Keputusan Dinas Pariwisata Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) 28 Maret 2024. Arman dan kelompoknya, kini mengharapkan pengakuan tertulis juga dari Otorita IKN dalam waktu dekat.
Jalur pendakian menuju gua-gua itu juga sudah kelompok ini buatkan. Pembukaan jalur tanpa merusak alam, karena mereka sudah paham akan kondisi hutan adat.
“Terkadang bagi orang-orang yang nggak paham di hutan, tumbuhan yang bagi kami bermanfaat itu bagi mereka nggak tahu, ya mereka singkirkan. Kita nggak bisa salahkan juga, karena mereka nggak tahu,” kata Arman.
Pokdarwis ini termaktub dalam Surat Keputusan yang dikeluarkan Dinas Pariwisata Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) pada 28 Maret 2024. Arman dan kelompoknya, kini mengharapkan pengakuan tertulis juga dapat dilakukan Otorita IKN dalam waktu dekat.
“Yang kita takutkan, kita lakukan penanaman, capek-capek ternyata nggak diberikan hak pengakuan, ya jadi sia-sia. Kita takut yang kita tanam, lantas orang lain yang nggak ngerti tentang hutan, malah ditiadakan hutannya,” kata Arman.
Perawatan terhadap bibit pohon yang mereka tanam April lalu terus dilakukan. Setiap Sabtu dan Minggu mereka melakukan pengawasan pohon.
Namun, katanya, ada kendala lain yang mereka hadapi. Minggu lalu, ketika melakukan pengawasan, ada beberapa bibit tidak bertahan.
“Ternyata yang bibit meranti itu cenderung nggak tahan, ada beberapa pohon mati. Kalau bibit ulin bagus, kapur juga bagus,. Sama rayap sih, kalau aku lihatnya, ternyata karena banyak kayu-kayu tumbang dulunya.”
Tantangan lain hadir dari pendatang yang menebangi pohon secara serampangan untuk jadi balok kayu bahan baku rumah. Tak jarang, Arman dan kelompoknya mendapati langsung para penebang itu. Mereka memberikan pemahaman dan informasi soal hutan adat yang mereka jaga.
Apabila ketahuan lagi menebang di sana, Arman dan kelompoknya tak segan-segan melaporkan ke pihak berwenang.
Arman dan teman-teman terus berupaya untuk memulihkan kembali kawasan yang selama ini mengalami perubahan lanskap. Pohon-pohon besar hilang mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar dan pertumbuhan pohon-pohon buah hutan yang menjadi sumber pakan satwa.
Harapannya, dengan pemulihan ini juga akan mengembalikan satwa endemik seperti beruang madu, owa, rusa, trenggiling, landak, ayam hutan dan burung enggang pernah ada di dalam hutan itu. Saat ini, sulit menemui enggang di hutan adat Balik.
“Dulu, di setiap musim buah, masih bisa kita ketemu enggang dalam satu hari paling tidak satu jam sekali. Sekarang, paling ketemunya itu sore sama pagi.”
Mereka pun tanam pohon kramu, yang jadi sumber pakan enggang.
Jaga mangrove dari sawit
Aksi masyarakat tak hanya di Kalimantan Timur, di belahan pulau lain di nusantara ini, warga pesisir Lubuk Kertang, Langkat, Sumatera Utara, juga lakukan penyelamatan hutan mangrove.
M Rohman, salah satu penggerak menyadari betapa penting ekosistem mangrove. Di bawah naungan Kelompok Tani dan Nelayan Lestari Mangrove Lubuk Kertang, Rohman patroli rutin jaga mangrove.
Perjalanannya mulai saat 2006 ketika hutan mangrove gundul seperti landasan pesawat bandara. Sedikitnya, 1.200 hektar mangrove berubah menjadi tanaman sawit.
Rohman dan warga lain bersama beberapa organisasi masyarakat sipil maupun Dinas Kehutanan protes dan melawan ketika hutan mangrove jadi kebun sawit.
“Kita melawan karena kondisi hutan mangrove porak poranda sudah terang benderang,” katanya kepada Mongabay.
Upaya perlawanan mulai dari persuasif sampai menyita eskavator perusahaan dibantu Dinas Kehutanan Sumatera Utara.
Perlu waktu empat tahun bagi Rohman untuk mengembalikan hutan yang rusak dan tanam kembali dengan mangrove. Sekitar 700 hektar hutan mangrove rusak kembali hijau pada 2009.
Bukan hal mudah lakukan itu. Rohman kerap mendapat ancaman pembunuhan.
“Isi terornya kalau Roman mati jangan ada yang datangi, tidak dibenarkan dikubur ke pemakan sini, sampai-sampai ke sana terornya,” jelasnya.
RohmanDia bersyukur karena mendapat dukungan Dinas Kehutanan. Dari 100 keluarga di sana, hanya tiga yang mendukung perjuangannya.
“Alhamdulillah terusir lah mereka. Saat mau melawan buat laporan ke Dinas Kehutanan, Alhamdulillah, respon dan langsung turun, benar benar mem-backing kita,” katanya.
Namun, katanya, setelah 15 tahun, para perusak datang lagi. Hutan mangrove yang sudah berhasil ditanam itu kembali rusak.
“Sekarang mangrove porak-poranda lagi, hasil rehabilitasi kelompok kita, dengan luasan 700 hektar kemarin 2021-2023 mereka babat untuk buat arang,” katanya sedih.
Roman kesal dengan orang yang tega merusak ekosistem pesisir ini. Padahal, mangrove merupakan tumpuan hidup masyarakat pesisir.
Padahal, katanya, banyak manfaat kalau hutan mangrove terjaga antara lain, sebagai tameng alami mencegah bencana alam seperti abrasi sampai habitat beragam biota laut dan lain-lain.
“Mangrove ada, ya di situ bisa cari nafkah, bisa nangkap kepiting, udang, ikan….”
Rohman pun melaporkan kerusakan ini ke Kapolda Sumut. Polisi bergerak menghancurkan dapur-dapur pembuatan arang.
Hasil dari patroli rutin setiap hari, pelaku penebang tetap tumbuh subur seperti jamur walau banyak yang sudah ditangkap.
“Setiap malam dengan perahu, kita keliling masuk masuk ke paluh. Kami berhasil tangkap dan ada dua orang dibawa ke Dishut kemudian dipenjara,” katanya.
“Ironisnya satu kita tangkap bukan malah berhenti malah makin bertambah.”
Di daerah Kuala Serapuh, Tanjung Pura, Langkat, pun sama, hutan mangrove jadi kebun sawit.
Samsir, Ketua Kelompok Tani Nipah, masih rutin patroli dan tidak henti menanam pohon mangrove. “Kita aktif sejak 2016, dan ada 242 hektar luasan mangrove, sekitar 60 hektar berubah jadi sawit,” katanya.
Mata pencaharian penduduk Desa Kuala Serapuh dari tangkap biota laut. Kalau hutan mangrove hilang, tidak ada lagi penopang hidup mereka.
Hutan bakau yang berubah jadi sawit menimbulkan kekhawatiran warga. Pada 2018, air laut sempat merambat naik ke desa.
Perlawan warga mulai dibantu dinas terkait hingga penyitaan eksavator perusahaan. Lewat kekuatan warga di desa– diawali dari almarhum ayahnya, Samsir bergerak memulihkan hutan bakau dengan menanam secara swadaya.
Bibit mangrove dia ambil dari Lubuk Kertang dengan mobil sewaan. “Pada 2018 terbit izin skema kemitraan dari kementerian,” katanya.
Hutan bakau yang sudah tumbuh rimbun, mampu menopang pendapatan warga di delapan desa. Anggota Petani Nipah tidak lagi merantau, karena fokus mencari nafkah di area yang sudah hijau.
Samsir bilang, masih menghadapi gangguan di hutan mangrove mereka. Area itu berdekatan dengan kebun sawit seluas 60 hektar dan selalu bersinggungan dengan pekerja perusahaan.
“Sampai detik ini mereka masih kelola sawit itu dengan dalih terlanjur tanaman. Kami masih bergesekan terus namun kami dengan teman-teman kelompok tani tidak hiraukan itu,” katanya.
Samsir mengatakan, perjuangan memulihkan dan menjaga hutan mangrove kurang mendapat dukungan dinas terkait. Meski begitu, mereka terus bergerak mandiri dengan sekitar 58 orang rutin berpatroli.
Dia pun berpesan bagi warga yang hidup di pesisir, agar menjaga hutan mangrove sebaik-baiknya. Berkaca dari kondisi di desa tetangga mereka, Tapak Kuda Lama, saat ini sudah rata dengan air laut, tidak ada lagi pemukiman karena tergenang.
“Saya tidak ingin desa saya seperti desa tetangga. Di sana dari bibir pantai mengalami abrasi. Saya ajak temen temen khusus yang hidup di area pesisir mohon peduli dengan lingkungan sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Ekowisata warga di Papua
Bukan hanya di Kalimantan, dan Sumatera Utara, para pahlawan lingkungan itu juga ada di Papua. Adalah Opyor Jhenner Kalami, pemuda ini pulang ke Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Papua Barat Daya, untuk menjaga hutan.
Awalnya, dia pun keinginan mengelola wilayahnya yang kaya batubara, minyak bumi, bahkan emas. Ini sejalan dengan pendidikannya, Sarjana Tambang dari Universitas Sains dan Teknologi Jayapura.
Kini, semua itu pikiran itu dia kubur berganti kegelisahan akan kelangsungan alam ke depan.
Kesadaran itu tak muncul dengan sendirinya. Berkat kesempatan belajar dan bekerja pada lembaga-lembaga lingkungan dan konservasi, dia mendapat ide-ide baru. Dia juga bergabung dengan Gerakan Pemuda Malaumkarta (GPM).
“Jadi pengalaman itu yang saya coba bawa masuk bagaimana hutan tetap dijaga dan menjadi sumber ekonomi besar dari jaga hutan itu,” katanya.
Menjaga hutan bukanlah sesuatu yang sulit bagi masyarakat di Malagufuk. Secara turun-temurun mereka telah menjalankan konservasi tradisional yang mereka sebut egek.
Egek adalah larangan mengambil tempat di lokasi tertentu untuk jangka waktu tertentu. Praktik ini untuk menjaga keseimbangan sumber daya alam, mengelolanya agar tidak diambil secara berlebihan.
“Itu sudah dari moyang. Konservasi tradisional kita terapkan dari dulu. Itu bagian yang sudah menjadi darah daging bagi kita.”
Sejak 11 November 2024, Kampung Malagufuk menahbiskan diri menjadi Kampung Wisata. Hanya berjarak dua jam dari Kota Sorong, setiap wisatawan yang datang ke Kampung Malagufuk bisa menikmati bird watching.
Lucky, menjadi pemuda yang getol mempromosikan kampungnya. Dia diajar banyak hal oleh Charles Ronning, seorang pemandu wisata yang kerap membawa tamu di Papua dan Sulawesi. Charles mendorong mereka mengelola Kampung Malagufuk sebagai kampung wisata.
Ada banyak spesies burung bisa ditemukan di wilayah ini antara lain, cendrawasih kuning kecil (Lesser bird-of-paradise), magnificent riflebird (Ptiloris magnificus), dan golden myna (Mino anais). Ada juga, rufous bellied kookaburra (Dacelo gaudichaud), moustached treeswift (Hemiprocne mystacea), Papuan hornbill (Rhyticeros plicatus) dan lain-lain.
Untuk mengelola kawasan ini, mereka bentuk Kelompok Sadar Wisata Malagufuk. Ia terdiri dari orang tua, perempuan, dan pemuda. Lucky sebagai Koordinator Publikasi dan Dokumentasi.
“Promosi untuk menjual potensi wisata juga promosi bagaimana kita menjaga hutan.”
Lucky dan kelompoknya menggunakan semua platform media sosial untuk mempromosikan keindahan wilayahnya. Mereka juga mendorong media datang untuk mempromosikan tempat itu.
Ekowisata ini terbukti menambah penghasilan warga Malagufuk yang sebelumnya hanya mengandalkan penjualan hasil kebun dan hutan.
Tak ada kesulitan bagi Lucky dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Malagufuk dalam mengelola kampung mereka. Tantangan justru datang dari luar, dari proyek pemerintah dan pemburu liar.
Pemerintah hendak membuat Bendungan Warsamson untuk jadi pasokan air dan pembangkit tenaga listrik ke kabupaten-kabupaten di sekitar Kota Sorong.
Dia khawatir, bendungan menggenangi Malagufuk dan menenggelamkan area bird watching yang jadi andalan kampung wisata ini. “Kalau mereka bendung, pasti naik sampai ke kami punya titik spot-spot itu,” kata Lucky.
Pemerintah juga berencana membentuk Kabupaten Malamoi. Wilayah dataran Kalso akan menjadi pusat kabupaten ini. Suku Moi yang mendiami wilayah ini Lucky sebut menolak rencana ini.
Perusahaan sawit pun akan masuk ke wilayah ini. Perusahaan ini sudah membuka lahan dari Klamono dan akan masuk ke wilayah mereka.
Belum lagi dengan rencana Presiden Prabowo mendatangkan transmigran ke Papua. Rencana ini membuat warga Malagufuk khawatir.
Lucky memperkirakan, Lembah Warsamson ini kemungkinan pemerintah gunakan untuk program ini.
Tantangan lain, kehadiran pemburu liar. “Mereka tidak hanya tembak burung, tembak binatang juga ambil tumbuh-tumbuhan seperti anggrek dan jenis tumbuhan lain,” kata Lucky.
Untuk mengatasi tantangan ini, Lucky dan warga Malagufuk sudah menyampaikan penolakan secara terbuka. Untungnya, ada kebijakan Bupati Sorong mencabut izin-izin sawit yang membuat masyarakat lega.
Selain itu, dalam mengatasi pemburu liar, mereka sudah memasang tanda larang di berbagai titik. Pokdarwis juga bekerjasama dengan TNI dan Polri untuk mengamankan anggota mereka yang melanggar aturan di wilayah ini.
“Sudah buat perjanjian kalau ada anggota mereka yang melanggar langsung lapor. Itu langsung jabatannya dilepas,” ucap Lucky.
Dia menyadari perkembangan Kampung Malagufuk sebagai kampung ekowisata tidak lepas dari peran banyak orang terutama masyarakat Malagufuk. Mulai dari orang tua, perempuan, pemuda bahkan anak-anak, semua berupaya secara bersama untuk menyatukan pikiran dan dan mencari cara membangun kampung.
“Kalau mama [hutan] tidak ada, sudah pasti ko akan mati kelaparan. Mari kita sebagai pemuda melihat hal-hal baru untuk menjaga iklim dunia ini lebih khusus jaga hutan agar mendatangkan sumber ekonomi dari situ untuk kasi sejahtera kita.”
*******