Ojol hingga Kurir Digital Butuh Aturan Berbasis Data dan Realitas Ekonomi

7 hours ago 3

Feby Novalius , Jurnalis-Kamis, 22 Mei 2025 |10:04 WIB

Ojol hingga Kurir Digital Butuh Aturan Berbasis Data dan Realitas Ekonomi

Ojol hingga Kurir Digital Butuh Aturan Berbasis Data dan Realitas Ekonomi. (Foto: Okezone.com?MPI)

JAKARTA – Aksi sejumlah mitra pengemudi ojek online (ojol) dan kurir digital di berbagai daerah perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pasalnya, kebijakan yang nantinya diputuskan akan berdampak besar terhadap jutaan mitra pengemudi dan pengguna layanan.

Oleh karena itu, Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) menegaskan bahwa setiap kebijakan harus disusun berdasarkan data dan realitas ekonomi.

“Kami memahami keresahan mitra, namun solusi harus berpijak pada realitas ekonomi, bukan sekadar wacana politik. Ekosistem ini terbukti menjadi bantalan sosial saat krisis. Oleh karenanya, kebijakan yang mengaturnya harus berpijak pada data dan mempertimbangkan dampak jangka panjang,” ujar Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, dalam keterangannya, Kamis (22/5/2025).

Menanggapi wacana penerapan komisi tunggal sebesar 10 persen untuk seluruh platform, Agung menilai bahwa kebijakan tersebut tidak mencerminkan dinamika industri saat ini. Menurutnya, tiap platform memiliki model bisnis yang berbeda, tergantung pada jenis layanan, segmen pasar, dan strategi pemberdayaan mitra masing-masing.

Agung menambahkan, penyeragaman komisi justru dapat menghambat inovasi, mengancam layanan di daerah dengan margin rendah, serta memaksa efisiensi berlebihan yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pelayanan kepada konsumen.

Ia juga menyoroti wacana reklasifikasi mitra pengemudi menjadi pegawai tetap, yang menurutnya bisa berdampak besar terhadap lapangan kerja dan perekonomian nasional. Berdasarkan kajian Svara Institute (2023), perubahan status ini berpotensi menghilangkan 70 hingga 90 persen pekerjaan di sektor tersebut, serta menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 5,5 persen, atau setara dengan sekitar Rp178 triliun.

“Ketika niat melindungi justru membuat jutaan mitra kehilangan akses kerja fleksibel, kita perlu berhenti dan bertanya: siapa sebenarnya yang terlindungi?” ujar Agung.

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|