Ilustrasi
Meriam besar Sapujagat jadi saksi kesewenang-wenangan Sultan Amangkurat I penguasa Mataram. Meriam itu menjadi penanda 'eksekusi' oleh Sultan Amangkurat I ke orang-orang yang dinilainya bersalah, padahal tak ada kesalahan apapun di orang itu.
Memang saat berkuasa, Sultan Amangkurat I konon memerintahkan dengan sewenang-wenang. Sang raja kerap kali konon menghukum mati orang-orang yang tak bersalah. Konon ada suatu tanda ketika sang raja mengeksekusi para warga tak bersalah itu.
Sultan memerintah agar anak buahnya bersama empat orang kepercayaan yakni Raden Mas, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Kiai Ngabei Wirapatra, menyelidiki nama, keluarga, dan alamat para pemuka agama itu. Hal ini dianggap agar mereka semua dapat dibunuh dengan sekali pukul.
Sultan juga menyiasati untuk tidak memperlihatkan diri di luar keraton. Tetapi ia menyuruh sidang-sidang peradilan yang diadakan setiap minggu terus berlangsung di dalam keraton, padahal semestinya sidang diadakan Sitinggil.
Hal ini untuk biasanya agar ia bisa bertindak dengan amat teliti. H.J. De Graaf mengisahkan pada "Disintegrasi Mataram : Dibawah Mangkurat I", setelah memperoleh semua keterangan yang diperlukan, diberikannya perintah - perintah terakhir kepada orang-orang kepercayaannya.
Selanjutnya mereka bertindak sebaik-baiknya dan membunuh semua orang laki-laki, wanita, dan juga anak-anak yang tidak bersalah. Isyarat untuk pembantaian besar-besaran itu adalah bunyi tembakan yang konon dari meriam besar Sapujagat atau Pancawara di istana.
Sultan pun mengamankan dirinya dengan pengawal-pengawal pribadi yang tangguh di bawah pimpinan orang-orang yang paling dipercaya. Belum setengah jam berlalu konon setelah terdengar bunyi tembakan, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.