Kenapa Kakorlantas Polri Minta Media Tak Pakai Istilah ODOL? Ini Alasannya (Foto : Istimewa)
JAKARTA - Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Agus Suryonugroho mengimbau seluruh media massa untuk tidak lagi menggunakan istilah Over Dimensi dan Over Load atau ODOL dalam peliputan dan pemberitaan terkait pelanggaran angkutan barang.
Sebab, istilah tersebut tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan dan tidak memiliki dasar hukum untuk digunakan dalam konteks penegakan aturan lalu lintas.
Hal tersebut dsampaikan dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian PU, Kementerian Perdagangan serta perwakilan pelaku usaha angkutan, kaitannya tindak lanjut penanganan penegakan hukum pelanggaran kendaraan Over Dimensi dan Over Load, Jakarta, Sabtu (24/5/2025).
“Media berperan besar membentuk pemahaman publik. Penggunaan istilah yang tidak diatur dalam undang-undang, seperti ODOL, justru dapat menimbulkan kebingungan dan salah kaprah,” ujar Agus.
Ia menegaskan, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pelanggaran terhadap kendaraan barang diklasifikasikan secara tegas. Over dimensi (modifikasi dimensi kendaraan yang tidak sesuai spesifikasi teknis) merupakan kejahatan lalu lintas berdasarkan Pasal 277 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ), karena merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang di sengaja dan membahayakan keselamatan.
Sementara over load atau muatan melebihi kapasitas yang diizinkan, termasuk pelanggaran lalu lintas berdasarkan Pasal 307 undang-undang LLAJ, dapat ditindak melalui penegakan administratif dan sanksi sesuai aturan.
Dengan klasifikasi tersebut, pihaknya meminta media menggunakan istilah resmi dan sesuai undang-undang, seperti pelanggaran dimensi kendaraan atau modifikasi ilegal kendaraan dan kelebihan muatan, agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat tepat sasaran dan tidak menyesatkan.
“ODOL bukan istilah hukum. Over dimensi adalah kejahatan, over load adalah pelanggaran. Masing-masing ada pasal dan sanksinya. Maka, media kami harapkan tidak lagi menyamakan keduanya di bawah istilah tunggal yang tidak sah secara hukum,” tuturnya.