Perkembangan Industri alat berat dan pertambangan di dunia. (Foto: Okezone.com/T50 Asian Forum)
JAKARTA – Industri alat berat dan pertambangan di Indonesia terus menunjukkan perkembangan, meskipun dihadapkan pada tantangan geopolitik dan perang dagang global. Hal ini tercermin dari pasar peralatan konstruksi Indonesia yang saat ini tengah mengalami ekspansi pesat.
Ukuran pasar diperkirakan akan mencapai 25.430 unit pada 2030, didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat, terutama dari sektor infrastruktur, energi, ketenagalistrikan, urbanisasi, dan pertambangan.
Bahkan, menurut data Asosiasi Pakar Alat Berat Indonesia, pada tahun 2024 Indonesia menguasai 39,53% pangsa pasar peralatan konstruksi di kawasan ASEAN.
“Indonesia sekitar 40 persen dari ASEAN market share,” ujar Regional Chairman Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia (PERTAABI), Deni Rafli, Kamis (18 September 2025).
Nilai pasar konstruksi Indonesia tercatat sebesar USD25 miliar pada 2020, dan menurun menjadi USD19,96 miliar pada 2024. Di sisi lain, sektor pertambangan justru menunjukkan tren positif dengan nilai mencapai USD141 miliar, tumbuh rata-rata 5,2 persen per tahun. Dalam lima tahun ke depan, pasar ini diproyeksikan menembus angka USD200 miliar.
“Komoditas utama seperti batu bara dan nikel tetap menjadi pendorong utama. Keduanya akan terus memainkan peran strategis dalam mendukung perekonomian nasional,” tambah Deni.
Selain itu, program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo turut mendukung pertumbuhan industri alat berat. Salah satunya adalah program swasembada pangan dengan target pembukaan 2 juta hektare lahan food estate.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal T50 Asian Forum, Jack Zhang, juga menilai bahwa Indonesia telah menjadi salah satu pendorong utama dan basis kuat bagi industri mesin konstruksi dan pertambangan di kawasan.
Berdasarkan data penjualan dan pendapatan peralatan tambang pada tahun fiskal sebelumnya, total pendapatan dari 50 produsen mesin tambang terbesar dunia mencapai USD76,655 juta pada 2024, turun 4,0 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Kelima puluh perusahaan tersebut berasal dari 15 negara berbeda, di antaranya:
11 dari Amerika Serikat
4 dari Jepang
13 dari Tiongkok
3 dari Swedia
2 dari Finlandia
7 dari Jerman
2 dari Inggris dan masing-masing 1 dari Austria, Australia, Belarus, Belgia, Kanada, Denmark, Polandia, serta Afrika Selatan.