Zen Teguh
, Jurnalis-Senin, 26 Mei 2025 |17:59 WIB
Jenderal TNI (Purn) Subagyo HS (kiri) dan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto semasa aktif di Kopassus. (Foto: IG Prabowo) Subianto
JAKARTA – Rabu, 12 Juni 1946. Pasangan Yakub Hadisiswoyo dan Sukiyah asal Desa Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menanti kelahiran buah hati ketiga mereka. Menurut penanggalan Jawa, hari itu Rabu Kliwon. Layaknya warga desa, proses persalinan akan lazimnya dukun.
Waktu menjelang kelahiran semakin dekat. Sayangnya, dukun belum datang. Walhasil, jabang bayi lebih dulu lahir. Untung orok merah itu lahir selamat meski usus melilit di lehernya. Menurut kepercayaan, bayi yang lahir dengan usus membelit leher menunjukkan pertanda kemujuran hidup. Konon, bayi itu juga akan terlihat tampan.
“Bayi laki-laki dengan bobot cukup besar itu diberi nama Subagyo. Su berarti lebih dan Bagyo artinya bahagia. Dari namanya terkandung harapan agar bayi kelak hidup lebih bahagia daripada orangtuanya,” tulis Carmelia Sukmawati dalam buku ‘Subagyo HS, KASAD dari Piyungan’, dikutip Senin (26/5/2025).
Masuk Akmil
Meniti karier sebagai tentara menjadi cita-cita Subagyo sejak kecil. Tak heran usai tamat pendidikan menengah, dia bulat mendaftar ke Akademi Militer. Alasan Bagyo menjadi prajurit TNI sangat sederhana.
Pertama, masuk sekolah tentara tidak perlu membayar. Sebaliknya, siswa malah mendapat uang saku. “Kedua, setelah lulus bisa langsung mendapat pekerjaan.” Begitu tertulis dalam buku ‘Jenderal TNI Subagyo HS: KASAD di Bawah Tiga Presiden’ yang disusun tim Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat.
Terdapat cerita menarik seputar keinginan Subagyo menjadi tentara. Semula remaja lulusan SMA BOPKRI 1 Yogyakarta itu berniat masuk Akademi Angkatan Laut (AAL) dan Akademi Angkatan Udara (AAU). Tapi, ayahnya ternyata tidak setuju jika putranya gabung AL. Kenapa?