Arti 'Ramu Coffee 1966', Kafe Milik Mantan Teroris Umar Patek. (Foto: SCMP)
MANTAN pelaku bom Bali Umar Patek mencari kesempatan kedua lewat bisnis kafe kopi. Nama kafe yang dibangunnya adalah 'Ramu Coffee 1966'.
Ramu Coffee 1966 digambarkan sebagai sebuah kafe yang tenang di Surabaya. Dikutip dari South China Morning Post (SCMP) Kamis (5/6/2025), Umar Patek berencana meluncurkan bisnis kopinya yang bernama “RAMU Coffee 1966 by Umar Patek”, sebagai simbol dari peralihan hidupnya setelah bertahun-tahun hidup dalam pelarian, bersembunyi, dan di penjara.
"Sekarang saya meracik rasa, dan meracik perdamaian. Dulu, kepahitan menghancurkan, sekarang kepahitan (kopi) menyembuhkan," ujarnya sambil duduk di kafe Hedon Estate, yang akan menjadi tempat pertama menjual biji kopi buatannya, baik dalam bentuk utuh maupun bubuk.
“Dulu saya meracik bom, sekarang saya meracik kopi,” ujarnya.
Arti Nama Ramu
Terkait merek Ramu yang diusungnya juga memiliki makna mendalam. Di mana kata Ramu diambil dari nama depannya dan jika dibalik urutannya menjadi 'Ramu'. Dalam bahasa Indonesia ramu berarti 'meracik'.
Patek mengaku kepada This Week in Asia bahwa ia kesulitan mencari pekerjaan setelah bebas dari penjara karena statusnya sebagai mantan narapidana.
Namun, setelah ia menyebutkan impiannya memiliki bisnis sendiri dalam sebuah wawancara dengan sebuah media di Indonesia, lalu pemilik kafe Hedon Estate menghubunginya. Kafe di Surabaya itu akan menjadi tempat peluncuran usahanya yang ia harapkan bisa tumbuh menjadi jaringan distribusi nasional dan mengubah hidupnya.
“Saya diberi peralatan yang dibutuhkan untuk membuat kopi, dan mereka bilang akan menjual produk saya di kafe itu,” katanya.
“Saya rasa ini sangat manusiawi dari mereka, terutama karena pemilik kafe itu bukan Muslim. Saya berharap bisnis baru ini bisa sukses dan saya bisa mandiri lagi.”
Namun bagi mereka yang hidupnya hancur akibat pengeboman itu, upaya Patek untuk memulai hidup baru justru membuka kembali luka lama – dan menimbulkan keraguan atas niatnya.
“Setelah 23 tahun, saya mencoba menghapus ingatan tentang kejadian pengeboman dari pikiran saya,” kata Sandra Thompson, seorang ibu asal Australia yang kehilangan putranya, Clint, dalam wawancara dengan This Week in Asia.
Clint, 29 tahun, adalah pedagang anggur merek Wolf Blass, pemain Rugby League berbakat, dan presiden tim rugby Coogee Dolphins. Ia pergi ke Bali bersama rekan setimnya untuk liburan akhir musim. Enam dari mereka tak pernah kembali.
“Apakah orang ini sudah benar-benar bertobat? Apakah dia masih merasa bahwa yang dia lakukan dulu itu benar secara moral? Atau dia hanya menjalani hukuman dan kemudian lanjut hidup begitu saja?” tanya Thompson, meragukan ketulusan Patek.
“Dua ratus dua nyawa plus satu bayi yang belum lahir dan para penyintas yang masih menderita akibat luka-luka mereka. Apakah dia sudah membayar untuk itu semua? Tidak, kalau dia tidak punya rasa penyesalan,” ujarnya.
Patek bersikeras bahwa dia telah meminta maaf berkali-kali, baik secara publik maupun pribadi, meskipun dia memahami bahwa memaafkan bukan hal yang mudah.
“Kalau saya minta maaf, orang bilang saya pura-pura dan manipulatif,” katanya. “Kalau saya tidak minta maaf, orang bilang saya sombong dan tidak peduli. Jadi apa pun yang saya lakukan selalu dianggap salah.”
“Ini bukan sekadar soal kopi,” tambah Patek. “Ini soal perubahan. Ini tentang saya memilih hidup yang baru.”
Patek memenuhi syarat untuk pembebasan lebih awal setelah menjalani 11 tahun penjara, sesuai kebijakan remisi di Indonesia bagi narapidana berkelakuan baik. Ia juga telah mengikuti program deradikalisasi nasional dan terlibat dalam berbagai inisiatif untuk mencegah orang lain terjerumus ke dalam ideologi ekstrem.
Dr Julie Chernov Hwang, profesor ilmu politik di Goucher College, AS, dan penulis buku Why Terrorists Quit: The Disengagement of Indonesian Jihadists, mengatakan kepada This Week in Asia bahwa upaya reintegrasi Patek menunjukkan harapan.
“Dengan mendirikan usaha sangrai kopi dan kafe, Umar Patek sedang membangun jaringan barunya – dengan dukungan keluarga, teman baru, rekan bisnis, dan para mentor yang mengajarinya cara menjalankan usaha,” ujarnya.
“Mereka membantu dia membangun identitas pasca-jihad sebagai pengusaha kopi. Masa depannya tampak cerah, dan ia bisa menjadi panutan bagi orang lain.”
Namun bagi Thompson, luka kehilangan anaknya masih terasa dan gagasan tentang penebusan masih sulit diterima. Clint adalah anak kedua dari enam bersaudara laki-laki dan satu perempuan. Keluarga mereka tak pernah sama lagi sejak kepergiannya.
“Dia [Patek] bukan orang yang penting dalam hidup saya,” kata Thompson. “Saya pikir saya sudah memaafkan, tapi kemudian ada lagi yang diizinkan hidup normal. Hidup yang dia ambil dari semua keluarga itu. Hidup saya tidak pernah sama lagi.”