Konstitusionalitas UU TNI: Menyelami Internal Morality dalam Aspek Prosedural dan Substantif Pembentukan UU TNI

1 month ago 24

Opini , Jurnalis-Kamis, 31 Juli 2025 |22:18 WIB

 Menyelami Internal Morality dalam Aspek Prosedural dan Substantif Pembentukan UU TNI

Pengajar Hukum Tata Negara dan Ahli Legislasi Sudirman (foto: dok ist)

JAKARTA - Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang kini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 kembali menempatkan hukum sebagai pilar utama dalam pembangunan institusi pertahanan nasional.

Lebih dari sekadar perubahan redaksional atau administratif, revisi ini merupakan manifestasi dari usaha negara untuk menghadirkan kerangka hukum yang sejalan dengan kebutuhan zaman tanpa kehilangan akar moralitas dan konstitusionalitasnya.

Sebagian pihak mungkin mempertanyakan keabsahan formil pembentukan UU TNI ini. Tuduhan seputar minimnya partisipasi publik dan transparansi seringkali dijadikan landasan untuk mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi deliberatif, sah atau tidaknya sebuah hukum tidak hanya diukur dari kacamata legal-formal semata. Di sinilah pentingnya kita mengadopsi pendekatan moralitas internal hukum sebagaimana dirumuskan oleh Lon L. Fuller—bahwa hukum yang baik harus disusun secara adil, transparan, stabil, dan partisipatif.

Dalam konteks revisi UU TNI, catatan historis menunjukkan bahwa proses legislasi ini jauh dari kata tertutup. Pemerintah menginisiasi serangkaian Focus Group Discussion (FGD) dan uji publik sejak awal 2023, melibatkan lembaga strategis seperti Lemhannas, akademisi, praktisi hukum, serta organisasi masyarakat sipil. Bukti partisipasi itu bukan isapan jempol, terbukti dengan diserahkannya 52 dokumen resmi kepada Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk keterbukaan proses.

Secara prosedural, revisi ini pun mengikuti jalur yang sah. UU TNI telah masuk dalam Prolegnas sejak 2010 dan berlanjut dalam periode 2020–2024. Mekanisme carry over pembahasan antarperiode legislatif pun sesuai dengan Pasal 71A UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, revisi ini bukan produk politik dadakan, melainkan hasil dari proses legislasi yang panjang dan penuh pertimbangan.

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|