JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan, menyoroti polemik wacana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati yang mencapai 250% dan menuai protes sejumlah warga.
Menurutnya, kebijakan ini merupakan dampak dari persoalan struktural dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Irawan menjelaskan, bahwa dalam peraturan perundang-undangan, besaran pajak tidak diatur secara spesifik, melainkan hanya berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Namun, ia memahami kondisi daerah yang berupaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) karena keterbatasan ruang fiskal.
“Saya memahami apa yang dipikirkan Pak Bupati. Belanja pegawainya besar dan macam-macam. Tapi ruang kepala daerah untuk membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan PAD sangat kecil karena yang besar-besar sudah diambil pemerintah pusat,” kata Irawan, Jumat (8/8/2025).
Ia menyebutkan, pemerintah daerah saat ini dituntut untuk mandiri secara fiskal, namun ruang pendapatan yang tersisa hanya dari sektor retribusi parkir, PBB, dan sejenisnya.
“Di satu sisi mereka diminta mandiri secara fiskal. Tapi yang tersisa hanya retribusi parkir, PBB. Yang lain sudah diambil pusat,” imbuhnya.
Irawan menyoroti ketimpangan pada sektor pangan. Menurutnya, daerah penghasil pangan tidak mendapatkan bagi hasil dari hasil bumi, berbeda dengan sektor tambang dan migas yang memang memiliki skema pembagian pendapatan.
“Kalau bicara ketahanan pangan, ya bicara hasil bumi. Tapi itu tidak ada hasilnya ke pemerintah daerah. Misalnya di Karawang, Sidrap, atau Sulsel, mereka bisa hasilkan 1 juta ton beras, tapi tidak ada bagi hasilnya. Yang ada hanya bagi hasil tambang dan migas,” jelasnya.