Ketua Umum Puspadaya Perindo Sri Agustina Nadeak. (Foto: Partai Perindo).
JAKARTA – Ketua Umum Puspadaya Perindo Sri Agustina Nadeak menegaskan bahwa anak-anak harus ditempatkan sebagai prioritas utama dalam kebijakan dan budaya masyarakat, bukan sebagai pelengkap atau beban sosial. Penegasan ini disampaikan seiring momen peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada Rabu, 23 Juli 2025.
“Anak bukan pemilik masa depan semata. Mereka adalah bagian dari masyarakat hari ini yang harus dijamin hak dan rasa amannya. Ketika negara dan masyarakat gagal memberikan perlindungan, kita tidak hanya melukai satu generasi, kita mengancam masa depan bangsa,” ujar Sri Agustina dalam keterangan resminya, Selasa (23/7/2025).
Sri Agustina mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah menegaskan sejumlah hak dasar anak yang wajib dipenuhi negara, keluarga, dan masyarakat. Hak dasar tersebut mencakup hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, hak atas perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, eksploitasi dan penelantaran.
Berikutnya yakni hak atas pendidikan, kesehatan, dan pengasuhan yang layak; kemudian, hak atas identitas, informasi, dan partisipasi dalam kehidupan sosial. Kemudian, hak memperoleh bantuan hukum dan pemulihan bila menjadi korban.
Sayangnya, kata Sri, banyak hak tersebut belum sepenuhnya diwujudkan dalam sistem hukum, pelayanan publik, maupun kesadaran kolektif masyarakat.
Jika Hak Tidak Dipenuhi, Ancaman Serius Mengintai
“Ketika anak mengalami kekerasan fisik, psikis, atau seksual dan hak mereka diabaikan, dampaknya bisa jangka panjang - dari trauma mental, putus sekolah, hingga tumbuhnya generasi yang tidak percaya pada hukum dan keadilan,” tutur dia.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ribuan kasus kekerasan terhadap anak dilaporkan setiap tahun, dengan tren yang meningkat di lingkungan rumah tangga dan sekolah. Namun, angka tersebut diyakini hanya puncak gunung es, mengingat masih banyak kasus tidak terlaporkan karena budaya diam dan lemahnya mekanisme aduan.