Sertifikasi Yurisdiksi di Tengah Banyak Masalah Sawit di Seruyan

1 day ago 13
  • Koalisi masyarakat sipil mengungkap sejumlah praktik perkebunan sawit bermasalah di Seruyan, Kalimantan Tengah, di tengah kabupaten itu menyusun dokumen sertifikasi yurisdiksi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO baru saja pertemuan di Bangkok, Thailand 11-13 November lalu.
  • Kartika Sari, Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Progress, menyarankan,  perhatian utama pemerintah seharusnya memastikan dulu masyarakat lokal benar-benar menerima haknya. Dengan begitu, sertifikasi RSPO berbasis yurisdiksi tidak jadi formalitas saja, tetapi mampu membawa perubahan bagi kesejahteraan masyarakat.
  • Catatan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia terkait konflik industri perkebunan sawit di Kalimantan Tengah dalam dua dekade terakhir (2003-2024), ada sekitar 300-an kasus.
  • Komitmen SPKS, membawa semua anggota mereka masuk dalam sertifikasi ini sebagai upaya perbaikan tata kelola sawit rakyat. Juga memperkuat lembaga ekonomi petani dan meningkatkan kesejahteraan para petani sawit.

Koalisi masyarakat sipil mengungkap sejumlah praktik perkebunan sawit bermasalah di Seruyan, Kalimantan Tengah, di tengah kabupaten itu menyusun dokumen sertifikasi yurisdiksi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO baru saja pertemuan di Bangkok, Thailand 11-13 November lalu.

Dalam laporan koalisi yang terdiri dari Progress, Walhi Kalteng, Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), Yayasan Barauntu Berkarya Indonesia (YBBI), dan TuK Indonesia dengan tajuk “Sertifikasi Berbasis Yurisdiksi di Seruyan untuk Siapa?” ini memperlihatkan, dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi. Temuan lain, perkebunan perusahaan sawit beroperasi di kawasan terlarang.

Kartika Sari,  Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Progress, menyarankan,  perhatian utama pemerintah seharusnya memastikan dulu masyarakat lokal benar-benar menerima haknya.

Dengan begitu, sertifikasi RSPO berbasis yurisdiksi tidak jadi formalitas saja, tetapi mampu membawa perubahan bagi kesejahteraan masyarakat.

Kartika ingat betul dalam dua-tiga tahun terakhir ini, berbagai konflik agraria antara warga dan perusahaan perkebunan sawit di Seruyan masih sering terjadi. Konflik tak ada penyelesaian hingga merugikan para pihak.  Seperti, tindakan represif aparat keamanan ke lokasi justru berdampak langsung pada masyarakat. Bahkanm warga kena tangkap luka berat, cacat permanen, bahkan ada kehilangan nyawa.

Perusahaan berkonflik pun, ada yang alami kerusakan belasan mobil, kendaraan aparat, bahkan pembakaran mes karyawan.

Dia sebutkan beberapa perusahaan sawit yang alami konflik lahan antara lain, PT Bangun Jaya Alam Permai (BJAP), PT Tapian Nadenggan-Sinarmas Group-, dan PT Hamparan Masawit Bina Persada I,  di bawah bendera Best Group.

“Ketika sebuah kepentingan tak menguntungkan semua pihak, maka pihak yang dirugikan pasti akan menuntut hak. Harusnya, kalau ada perusahaan, masyarakat bisa sejahtera. Yang terjadi malah banyak konflik, bukan bertahun-tahun, tetapi belasan, hingga puluhan tahun.”

Djayu, Koordinator Kalimantan,  Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari  (YMKL) nyatakan hal serupa. Dia bilang, sistem sertifikasi sawit sejauh ini belum efektif melindungi hak hidup masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Perampasan hak tanah dan ruang hidup serta kerusakan lingkungan masih terus terjadi,” katanya.

Perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Foto: Rendy Tisna/ Mongabay Indonesia.

Ratusan kasus

Seturut catatan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia terkait konflik industri perkebunan sawit di Kalimantan Tengah dalam dua dekade terakhir (2003-2024), ada sekitar 300-an kasus.

Abdul Haris,  Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK mengatakan, konflik berulang dengan melibatkan aparat kepolisian, pemerintah, dan perusahaan perkebunan sawit di Seruyan.

Dia pun mempertanyakan manfaat sertifikasi berbasis yurisdiksi RSPO. ”Apakah langkah yang sudah diambil benar-benar untuk masyarakat, atau sekadar memenuhi kepentingan pasar?”

Belum lagi soal peran lembaga keuangan dalam mengawasi pembiayaan yang berisiko terhadap lingkungan dan hak asasi manusia. Kalau dilakukan tanpa pengawasan memadai, sektor perkebunan sawit berpotensi memperburuk perubahan iklim, memicu kasus serupa seperti di Seruyan.

Perusahaan pembeli besar seperti Nestle, Unilever, P&G, Fuji Oil, dan para pembeli minyak sawit lain, katanya, harus lebih selektif agar tak mendukung pelanggaran karena dapat sawit dari sumber bermasalah.

“Ujicoba sertifikasi berbasis yurisdiksi yang baru-baru ini diinisiasi RSPO di Kabupaten Seruyan dinilai mengabaikan peran serta masyarakat,” katanya.

Janang Firman Palanungkai, Manager Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalimantan Tengah (Kalteng), khawatir kalau sertifikasi RSPO berbasis yurisdiksi keluar, berbagai konflik di Seruyan kemungkinan dianggap selesai.

Dia tegaskan, agenda sertifikasi berbasis yurisdiksi jangan sampai jadi alat menghapus dosa atau sekadar greenwashing bagi perusahaan yang diduga melanggar hukum.

Untuk itu, penting melihat kajian dan fakta-fakta lapangan dalam menyikapi sertifikasi ini. Jadi, katanya, tak hanya berpatokan pada dokumen atau kebijakan, juga mempertimbangkan keadaan yang terjadi di lapangan.

“Pendekatan yang bijaksana perlu agar sertifikasi tidak menjadi alat menutupi persoalan yang belum terselesaikan.”

Dia memperlihatkan data dari luas Kalteng 15,2 juta hektar, sekitar 72,28%  dikuasai konsesi kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

Kondisi ini, katanya, menunjukkan sebagian besar wilayah telahsudah berizin pengelolaan hingga sedikit tersisa petani atau masyarakat.

Belum lagi, katanya,  jika dikurangi kawasan konservasi yang juga membatasi penggunaan lahan hingga makin menyempitkan ruang gerak masyarakat yang ingin memanfaatkan kekayaan alam sekitar. Kondisi ini, mengkhawatirkan keberlanjutan masyarakat adat maupun komunitas lokal di kelompok lokal itu sendiri.

Selain itu, katanya, ketika Pemerintah Seruyan sedang mengurus sertifikasi RSPO ini, pada aspek sosial banyak tenaga kerja perkebunan sawit berstatus buruh harian lepas, tanpa kontrak atau status karyawan tetap.

Dengan begitu, katanya, hak-hak mereka mendapatkan upah layak, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) tidak akan terlindungi sepenuhnya.

Petani sawit di Kalimantan Tengah. Foto: Rendy Tisna/Mongabay Indonesia

Libatkan para pihak?

Budi Purwanto,  Ketua Kelompok Kerja Sertifikasi RSPO Yurisdiksi di Seruyan, , dalam diskusi bertema “Mendorong Perluasan Pendekatan Yurisdiksi 11 November lalu mengatakan, pendekatan sertifikasi RSPO skala kabupaten itu sudah mulai sejak 2015.

Pendekatan berdasarkan pengalaman belajar dari skala kecil, seperti kelompok tani. Mulai dari pembentukan dan penguatan kelembagaan hingga menjadi anggota dan mendapatkan sertifikasi berkelanjutan dari RSPO.

“Dari proses itu, kami belajar,  pendekatan lebih efektif jika pendampingan dalam skala lebih besar, karena sertifikasi berbasis kelompok membutuhkan pendampingan intensif, biaya tinggi, dan waktu lebih panjang,” katanya.

Kepala Bappedalitbang ini mengatakan, alasan Seruyan pilih pendekatan yurisdiksi. Pendekatan ini dia yakini dapat mengurangi dampak negatif dari industri sawit, karena dalam proses melibatkan berbagai pihak dan memungkinkan monitoring bersama implementasinya.

Pendekatan ini, katanya,  juga menawarkan insentif bagi petani di tingkat komunitas desa dan ekosistem.

Di bawah arahan langsung Bupati Seruyan, kata Budi, capaian tahap kedua sertifikasi RSPO berbasis yurisdiksi sudah berjalan lebih 70%.

Beberapa komponen yang tercapai itu antara lain,  ada berbagai regulasi seperti pengendalian deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Juga, pembentukan entitas yurisdiksi bernama “Asosiasi Bapakat Sawit Berkelanjutan,” melibatkan 11 anggota, terdiri dari perusahaan sawit, petani, hingga organisasi non pemerintah.

“Strategi Seruyan dalam melakukan tujuan berkelanjutan ini yang pertama adalah mendorong pendekatan sertifikasi yurisdiksi untuk multi komunitas, hingga prinsip pendekatan tidak hanya untuk sawit juga komunitas lain,” katanya.

“Lantas jika yurisdiksi sertifikasi RSPO di Seruyan sudah terealisasi, tapi konflik masih saja terjadi, siapa yang harus di komplain dalam kerangka RSPO?” tanya Carlo Nainggolan anggota Sawit Watch.

Tahapan sertifikasi yurisdiksi

Budi menjawab kalau itu terjadi, mereka akan selalu menyarankan mengembalikan kepada regulasi yang menetapkannya. Seperti pada Kementerian Pertanian, Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sampai Dinas Lingkungan Hidup.

Dia mengakui hingga sekarang, pendekatan sertifikasi RSPO berbasis yurisdiksi di Seruyan hanya model. Otomatis masih tidak ada aturan atau regulasi yang mengaturnya.

“Kami di Seruyan berupaya memaksimalkan posisi itu, hingga bisa menawarkan dengan beberapa kondisi itu. Mudah-mudahan itu disetujui, karena itu kan model. Jika tidak,  kita akan mengatur model yang lain.”

Mahatma Windrawan Inantha,  Wakil Direktur RSPO Indonesia menjelaskan, dalam proses pengurusan sertifikasi RSPO apabila masih muncul masalah konflik, harus diselesaikan terlebih dahulu, meskipun mungkin tak bisa sepenuhnya.

Namun, ada tahap-tahap yang disepakati bersama. Tantangan utama dalam proses ini, katanya, adalah menyelesaikan konflik dengan cara benar, tanpa kekerasan.

Singkatnya,  saat proses verifikasi berlangsung, konflik harus sudah berada dalam tahap penyelesaian yang jelas, agar sesuai persyaratan sertifikasi.

Tangkapan kamera di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Foto: Rendy Tisna/ Mongabay Indonesia.

Apa kata serikat petani?

Data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)  sampai 2023, sudah ada 73 kelompok atau lembaga yang memperoleh sertifikasi RSPO di Indonesia. SPKS, memiliki delapan koperasi yang bersertifikasi RSPO/ISPO dengan sebaran tiga kelompok di Riau, dua di Sumatera Barat, dan masing-masih di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sumatera Utara.

“Kami belajar banyak dari proses yang kami lakukan selama tiga tahun terakhir dari delapan koperasi ini. Pertama pasti kami menemukan itu biayanya sangat mahal,” aku Sabarudin, Ketua Umum SPKS.

Dia memberikan gambaran biaya sertifikasi dengan pendekatan kelompok kecil perlu sekitar US$170 per petani, atau Rp2.688.890 dengan kurs Rp15.817. Sebaliknya, pendekatan yurisdiksi hanya memerlukan biaya US$50, atau Rp796.742 per petani, membuat lebih terjangkau bagi petani kecil.

Komitmen SPKS, membawa semua anggota mereka masuk dalam sertifikasi ini sebagai upaya perbaikan tata kelola sawit rakyat. “Juga memperkuat lembaga ekonomi petani dan meningkatkan kesejahteraan para petani sawit.”

•••••••••

Koalisi Dorong Moratorium Sawit, Apa Urgensi dan Manfaatnya?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|