- Nelayan di Pulau Lanjukang, Makassar panen tangkapan gurita setelah ditutup selama tiga bulan
- Program buka tutup sukses meningkatkan jumlah tangkapan gurita dan pendapatan nelayan di Pulau Lanjukang serta berdampak positif terhadap kelestarian ekosistem laut.
- Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan gurita, seperti cuaca, kondisi laut, dan sampah laut.
- Selain memfasilitasi program buka tutup kawasan tangkapan, YKL Indonesia juga membantu pemberdayaan istri nelayan untuk mengolah daging gurita menjadi sambal gurita dan pelatihan literasi pengelolaan keuangan keluarga
Erwin tampak sumringah, raut wajahnya mencerminkan suasana hatinya yang senang dengan hasil tangkapan gurita yang baru mereka dapatkan seminggu sebelumnya. Setelah tiga bulan ‘puasa’ menangkap gurita di sebuah kawasan sekitar Pulau Lanjukang, Makassar, Sulawesi Selatan, kini mereka panen hasil.
“Tak jauh beda dengan sebelum-sebelumnya. Ada yang dapat Grade A, B dan C, dan tak ada yang D. Kita puas meskipun masih jauh dari harapan,” katanya, di Makassar, Senin (4/11/2024).
Erwin (47) adalah salah seorang nelayan gurita di Pulau Langkai, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Tiga tahun terakhir, difasilitasi Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, mereka telah menggagas program buka-tutup kawasan selama tiga bulan di area tertentu di perairan Pulau Langkai dan Lanjukang yang berdekatan.
Menurutnya, ada beberapa kendala kenapa hasil kali ini kurang maksimal. Pertama, faktor cuaca. Dengan kondisi laut yang berombak tinggi menyebabkan air keruh sehingga sulit memantau gurita di kedalaman. Selain itu, gurita juga susah mengenali umpan yang diberikan. Hal lain adalah juga faktor sampah laut yang menyebabkan gangguan di lokasi-lokasi penangkapan.
“Situasi ini tak jauh beda dengan yang terjadi didaerah-daerah lain sekitar, semuanya mengalami penurunan karena faktor-faktor cuaca dan kebersihan laut ini,” katanya.
Baca : Buka-Tutup Kawasan Tangkap Gurita di Makassar Sukses. Bagaimana Keberlanjutannya?
Menurut peta sebaran lokasi tangkapan gurita yang telah mereka buat, lokasi buka-tutup kali ini berada di sekitar Pulau Lanjukang, tepatnya di Taka Biring Kassi dengan luasan 6,8 hektar. Dua periode buka-tutup sebelumnya dilakukan pada lokasi yang sama namun dengan titik koordinat dan luasan berbeda. Pada buka-tutup ke-3, 22 Maret -23 Juni 2023 seluas 55,2 hektar. Sementara pada buka-tutup keempat, 16 September – 17 Desember 2023 seluas 30 hektar.
Lokasi buka-tutup ini sendiri dilakukan di Wilayah Pencadangan Konservasi Daerah Pulau Lanjukang, berdasarkan Perda No.3/2022 tentang RTRW Sulsel tahun 2022-2041, dengan luas kawasan 1.654, 38 hektar.
Hasil Tangkapan dan Pendapatan Nelayan Naik
Menurut Alief Fachrul Raazy, manajer program di YKL Indonesia, mereka belum input dan analisis data untuk hasil buka-tutup kelima ini, namun jika mendengar cerita nelayan, ia merasa optimis hasilnya tak terlalu buruk.
Jika merujuk pada data sebelumnya, pada bulan Januari 2023 total tangkapan gurita sebesar 876 kg dan pada bulan Februari 2023 mengalami peningkatan menjadi 939 kg. Pada bulan Maret 2023 hingga Juni 2023 total tangkapan gurita cenderung mengalami penurunan dari 919 kg menjadi 752 kg. Pada bulan Juli 2023 total tangkapan kembali naik menjadi 844 kg. Terjadi lonjakan yang signifikan pada total tangkapan bulan Agustus 2023 dan September 2023 yakni sebesar 1471 kg dan 1433 kg.
Jika dilihat dari hasil pendapatan nelayan, Alief menggambarkan, pada tahun 2023 total pendapatan dari hasil penjualan gurita dari Januari 2023 hingga September 2023 sebanyak Rp412.717.500,-.
Jika dirinci per tiga bulan, dari Januari – Maret 2023 total pendapatan dari hasil penjualan gurita meningkat dari Rp31.036.100 menjadi Rp38.412.000,-. Bulan April – Mei 2023 terjadi penurunan dari Rp34.232.700 turun menjadi Rp31.606.800,-. Pada Bulan Juni 2023 kembali mengalami kenaikan hingga bulan September 2023 dari Rp33.971.500,- naik menjadi Rp84.069.700,-
“Mungkin tak jauh dari hasil yang barusan saya jelaskan ini,” katanya.
Dari segi harga, berdasarkan grade, harga saat ini gurita per kg untuk Grade A adalah Rp63,000,-, Grade B Rp50.000, Grade C Rp42.000, Grade D Rp25,000,-, dan tanpa grade atau harga lokal Rp20.000,-
Meski harga ini masih lebih tinggi dibanding daerah lain, namun jika dibandingkan tahun 2022 dan 2023 lalu, harga ini masih tergolong rendah. Sebagai pembanding bisa dilihat pada harga Grade A pada tahun 2022 pada kisaran Rp80.000,- Rp.95.000,. Harga tertinggi Rp95.000,- terjadi di bulan Maret 2022. Sementara di tahun 2023, rata-rata harga pada kisaran Rp80.000,- – Rp84.000,-. Harga tertinggi Rp84.000,- terjadi di bulan Juni 2023.
Baca juga : Program Pengelolaan Gurita ternyata juga Lindungi Spesies Terancam Punah di Perairan Makassar
Dalam beberapa tahun terakhir terjadi tren penangkapan gurita di banyak daerah di Indonesia, khususnya di Indonesia timur, termasuk Makassar. Hal ini membuat overfishing di mana nelayan kemudian menangkap gurita tanpa mempertimbangkan size dan grade.
“Dulu semuanya ditangkap saja kalau ada tanpa melihat grade-nya. Tapi setelah dikasih penjelasan kami mulai memilih-milih besar gurita yang akan ditangkap. Termasuk melakukan pembatasan penangkapan di waktu-waktu tertentu,” ungkap Daeng Jala, salah seorang nelayan dari Pulau Lanjukang.
Pembatasan yang dimaksud Daeng Jala adalah program buka-tutup kawasan selama waktu tertentu, biasanya tiga bulan, sama halnya dengan praktik sasi dai Maluku dan Papua. Untuk mendukung program ini, mereka pun membentuk kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) dan memberdayakan kelompok yang sudah ada.
“Pengawasan ini penting jika ingin hasilnya maksimal namun kadang kami menghadapi situasi ketika bertemu nelayan dari luar yang menangkap ikan di wilayah yang dibatasi,” jelasnya.
Pemberdayaan Perempuan
Gurita hasil tangkapan nelayan tak selamanya dalam kondisi bagus. Luka ataupun tentakel yang terpotong akan mengurangi harga. Biasanya nelayan akan menjualnya dengan harga berapa saja yang diberikan pengepul.
Kelompok perempuan di Pulau Langkai, Makassar, yang merupakan istri-istri nelayan ternyata punya ide tersendiri memanfaatkan gurita rusak atau afkir tersebut. Dengan sedikit pelatihan yang telah diberikan lembaga pendamping, mereka mengolah daging gurita tersebut menjadi sambal gurita. Rasanya gurih dan tahan lama.
“Ini bisa bertahan berbulan-bulan di dalam botol kemasan jika tak dibuka, rasanya gurih karena masih ada potongan gurita diantara sambalnya,” ungkap Nurjannah, ketua kelompok Merpati Putih, pada Oktober 2024 silam.
Kelompok yang dibentuk dua tahun silam ini memang memiliki progres yang luar biasa. begitu dibentuk mereka langsung tancap gas, belajar membuat sambal gurita dan abon ikan, dua produk yang masih bertahan sampai sekarang.
Produk kelompok ini mendapat pujian dari Philippa Armstrong, Deputy Consul-General, Konsulat-Jenderal Australia di Makassar, yang berkunjung Juni 2024 silam. Ia mengatakan sangat senang melihat progres dari kelompok usaha yang dilakukan oleh perempuan Pulau Langkai dan bagaimana kelompok ini terberdayakan dan terorganisir dengan baik.
Baca juga : Gurita dan Tantangan Tata Kelola Perikanan Skala Kecil di Makassar
Dinas Koperasi Kota Makassar juga telah memberi atensi besar melalui fasilitasi untuk mendapatkan nomor induk berusaha (NIB) dan branding produk. Bahkan ke depan, Muhammad Rheza, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar telah menjanjikan untuk membantu baik dari branding maupun pemasaran produk, diintegrasikan dengan program dinas.
Pilihan gurita sebagai bahan sambal, berawal dari keresahan perempuan nelayan, di mana hasil tangkapan suami mereka sering ditolak pengepul karena rusak. Padahal di musim-musim tertentu hasil tangkapan tak banyak, harga pun tak selamanya bagus. Gurita dengan Grade A yang bisa sangat besar memang punya masalah tersendiri saat penangkapan, sehingga kadang nelayan bergelut dengan gurita yang melilit, sehingga mau tak mau harus melukai gurita untuk melepaskan lilitan.
“Kita coba olah gurita yang ditolak, agar harganya tidak terlalu murah, padahal ukurannya besar-besar. Di awal memang telah disepakati bahwa gurita yang diolah adalah yang tertolak, dan bukan karena ukuran kecil yang sengaja ditangkap,” ujarnya.
Mereka punya produk abon ikan, di mana mereka mengolah tiga jenis ikan, yaitu tenggiri, tuna dan gembung, tergantung pada jenis apa yang sedang melimpah.
“Dengan dibuat abon harga bisa lebih mahal dan tahan hingga 6 bulan jika dikemas dengan baik,” jelas Adi Zulkarnaen, koordinator networking di YKL Indonesia, yang telah mendampingi kelompok ini sejak awal.
Untuk pemasaran mereka memiliki brand Indo Sea. Indo sendiri berarti ‘ibu’ sementara ‘sea’ adalah ‘laut’. Secara filosofis, ujar Adi, ini menjelaskan bagaimana kuatnya keterikatan perempuan dengan laut.
Tantangan Peningkatan Produk
Meskipun sudah mandiri dan produksi terus meningkat, namun ada tantangan tersendiri untuk pengembangan produk ini lebih jauh. Pertama pada keterbatasan modal, kedua pada akses dari pulau ke daratan atau sebaliknya. Ketiga, terkait keterbatasan infrastruktur listrik pulau sehingga penyimpanan produk dan bahan produk tidak bisa maksimal.
“Sempat memang ada yang menawarkan investasi, namun jika akan diproduksi lebih besar akan sulit jika dari pulau yang jauh dari daratan. produksi bisa dilakukan namun sulit dalam skala besar.”
Selain di Pulau Langkai, YKL juga memberdayakan perempuan di Pulau Lanjukang, yang telah membentuk kelompok. Hanya saja jenis produknya berbeda, yaitu olahan ikan mairo.
“Kemarin kan sempat ada limpahan hasil tangkapan mairo di nelayan sehingga harga turun dan terpaksa harus dijual dengan harga rendah. kalau diolah menjadi produk makanan maka harganya bisa lebih besar dan akan tahan lama.”
Baca juga : Cipo dan Si Manis: Harapan Baru Alat Tangkap Gurita Ramah Lingkungan
Untuk mengembangkan produk gurita di Pulau Lanjukang agak sulit karena infrastruktur listrik yang terbatas, hanya mengandalkan genset. Beda dengan Pulau Langkai yang telah memiliki mesin genset besar dan akan dinyalakan di malam hari.
“Tetapi kedua kelompok ini saling bekerja sama. Jika perempuan di Pulau Langkai membuat produknya, maka perempuan di Pulau Lanjukang yang menjualnya ke pengunjung Pulau Lanjukang, yang memang selama ini telah menjadi salah satu objek bahari di Makassar.”
Menurut Adi, pemberdayaan kelompok perempuan sangat penting karena perannya yang vital dalam keluarga. Kehadiran kelompok olahan ini juga penting tidak sekedar mendapatkan keuntungan ekonomi hasil penjualan produk namun juga pada literasi keuangan pada keluarga nelayan.
“Suami mungkin yang menghasilkan uang, namun urusan domestik ada di istri, sehingga sangat perlu literasi keuangan ke ibu-ibu, bagaimana mereka mengatur keuangan, hanya membeli hal-hal yang dibutuhkan. pendampingan ini adalah sekaligus mengajarkan literasi keuangan ini, selain terkait produk dan bagaimana mengemasnya,” pungkasnya. (***)
Pengelolaan Gurita Berkelanjutan: Kisah Sukses Nelayan di Sulawesi (1)