Nelayan Aceh Semakin Sulit Mendapatkan Gurita, Mengapa?

8 hours ago 3
  • Gurita masih menjadi tangkapan andalan nelayan tradisional Aceh. Alasan utamanya adalah harga jualnya yang tinggi dan juga untuk kepentingan eksp
  • Umumnya, nelayan menangkap gurita menggunakan pancing khusus, atau menyelam menggunakan kompresor.
  • Gurita menjadi komoditas perikanan yang mulai dilirik nelayan selain lobster, dikarenakan permintaan pangsa pasar untuk kepentingan ekspor. Di Kecamatan Alafan, Kabupaten Simeulue misalnya, masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan sangat bergantung pada gurita.
  • Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, Mohd Tanwir menjelaskan, sejak Januari-Mei 2024, nilai ekspor gurita dari Aceh mencapai Rp 35,7 miliar.

Gurita masih menjadi tangkapan andalan nelayan tradisional Aceh. Alasan utamanya adalah harga jualnya yang tinggi dan juga untuk kepentingan ekspor.

Umumnya, nelayan menangkap gurita menggunakan pancing khusus, atau menyelam menggunakan kompresor.

“Kami menangkap gurita di karang-karang dangkal yang kedalamannya kurang dari 50 meter,” ujar Sulaiman, nelayan di Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, Kamis [7/11/2024].

Umunya, nelayan memancing gurita menggunakan perahu kecil bermesin 20-30 PK.

“Awalnya, nelayan di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, hanya menjaring ikan. Namun, ketika harga gurita mencapai Rp60 ribu per kilogram, nelayan mulai tertarik mendapatkannya,” ujarnya.

Jalaluddin, nelayan tradisional di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar,  mengatakan, gurita mulai sulit ditemukan.

“Beberapa tahun lalu, sehari melaut, kami bisa menangkap sekitar 20 kilogram gurita. Sekarang, untuk mendapat 10 kilogram saja sulit,” ungkapnya, Kamis [7/11/2024].

Sebelumnya, gurita dapat ditemukan di kedalaman sekitar 20-30 meter. Saat ini, hingga kedalaman hingga 50 meter dan terkadang nelayan rugi modal.

“Sebagian nelayan mulai kembali mancing ikan, seperti marlin, tuna, dan ikan karang,” paparnya.

Baca: Pengelolaan Gurita Berkelanjutan: Kisah Sukses Nelayan di Sulawesi (1)

Nelayan perempuan terlihat mencari gurita di terumbu karang di Desa Kadoda, Tojo Una-Una, Togean, Sulawesi Tengah. Gurita semakin sulit didapatkan karena dampak perubahan iklim. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, Mohd Tanwir menjelaskan, sejak Januari-Mei 2024, nilai ekspor gurita dari Aceh mencapai Rp 35,7 miliar.

“Jumlahnya mencapai 315,2 ton dan diekspor ke delapan negara melalui Pelabuhan Belawan, Provinsi Sumatera Utara. Negara tersebut adalah Jepang, Singapura, Australia, Italia, Malaysia, Vietnam, Libanon dan Albania,” ujarnya, dikutip dari Aceh Trend, Kamis [11/7/2024].

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Aliman, dikutip dari media yang sama mengatakan penangkapan gurita paling banyak dilakukan di Kabupaten Simeulue, Aceh Singkil, dan Aceh Besar.

“Dari tiga kabupaten ini, gurita dikumpulkan pengepul dan dibawa ke Sumatera Utara,” terangnya.

Baca: Nasib Nelayan Gurita Sulawesi: Antara Ancaman Iklim, Kelestarian dan Ekonomi (2)

Gurita yang memiliki kemampuan berkamuflase. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Penelitian Gurita

Tiga dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, T. Amarullah, Syarifah Zuraidah dan Mohamad Gazal dalam penelitiannya menyatakan bahwa nelayan kecil Kabupaten Simeulue menangkap gurita sesuai musim.

“Saat musimnya, nelayan kecil akan mencari gurita dengan cara menyelam. Mereka menggunakan alat tangkap tradisional untuk menangkap gurita yang biasanya bersembunyi di batuan karang,” jelas Amarullah dan kawan-kawan di Jurnal Perikanan Tropis Universitas Teuku Umar pada tahun 2020.

Gurita menjadi komoditas perikanan yang mulai dilirik nelayan selain lobster, dikarenakan permintaan pangsa pasar untuk kepentingan ekspor. Di Kecamatan Alafan, Kabupaten Simeulue misalnya, masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan sangat bergantung pada gurita.

“Alasannya, gurita mudah didapat dan harga jualnya tinggi.”

Para peneliti mengatakan, gurita mempunyai prospek bagus untuk dikembangkan di Simeulu. Misalnya, area penangkapan masih dekat, pasar tersedia, harganya relatif tinggi, dan dapat menampung tenaga kerja.

“Namun ada ancaman yang harus diperhatikan, seperti pemakaian alat tangkap tidak ramah lingkungan, serta masuknya armada dari luar Simeulu yang menangkap gurita tanpa memperhatikan keberlanjutan gurita dan kelestarian lingkungan,” jelas laporan tersebut.

Baca juga: Benarkah Gurita Berasal dari Luar Angkasa? Bukti dan Kontroversi Teori Panspermia

Nelayan tradisional ini menangkap gurita di perairan Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Sulawesi Utara. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Juliadi, nelayan Kabupaten Simeulue, saat ini penangkapan gurita mulai berkurang disebabkan rusaknya terumbu karang yang merupakan habitatnya.

“Terumbu karang rusak karena penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, seperti bom, racun, atau setrum,” jelasnya, Jumat [8/11/2024].

Perairan Simeulue dan Pulau Banyak, Kabupaten Singkil, merupakan wilayah perairan yang sering dirusak oleh kapal tangkap ikan dari Sibolga, Sumatera Utara.

“Mereka datang menangkap ikan menggunakan peledak, sehingga banyak terumbu karang rusak. Ini sangat berpengaruh pada kami, yang menangkap gurita menggunakan alat pancing atau menyelam.”

Menurut Juliadi, nelayan tradisional Aceh memiliki aturan adat dalam hal mencari ikan, seperti hari pantang melaut. Tujuannya, agar ikan bisa berkembang biak.

“Tapi kapal besar dari luar, termasuk dari Aceh sendiri, banyak melanggar aturan. Selain tidak mematuhi hari pantang melaut, ada juga yang menangkap ikan dengan merusak terumbu karang,” paparnya.

Gurita dan Cumi-cumi, Apakah Jenis yang Sama?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|